Anakku!
Situasi semakin berat. Pemimpin korup itu masih seenak jidat memperlakukan kita. Kau tahu, tiga puluh dua tahun dia berkuasa, hanya sengsara dan sengsara yang ayah dan ibu terima. Apalagi suara sepatu lars para koleganya serta pelindungnya. Hanya menambah rasa muak ke perut bapak dan ibu. Muak atas semua perlakuan biadabnya dan juga muak atas gincu pencitraan yang terus menerus ditampakkannya ke permukaan publik.
Dan kau tahu, apa yang lebih perih kami rasakan dari semua gejolak penderitaan ini. Ya, ketidakadilan perlakuan begitu timpang kami rasakan. Sejak kali pertama kami datang sampai hari dimana trauma demi trauma ia tinggalkan. Suara sepatu lars sombong dengan ejekan juga cacian dan makian seolah membuat hidup kami tiada guna lagi. Lebih baik aku mati, pak. Kata ibumu di suatu pagi. Peluru-peluru itu terus berdentuman tiap hari. Entah menyasar pemberontak yang mana. Entah penjahat yang mana pula. Dan kami mengenal semua itu dengan sebutan petrus atau penembakan misterius. Katanya, itu dilakukan demi membasmi penyakit masyarakat. Satu diantaranya adalah preman. Namun, ia selalu lupa dan akan senantiasa berkelakuan demikian ketika preman-preman lain ia pelihara tanpa pernah ada rasa bersalah sedikit pun bahkan menyesal pun tiada.
Ya, para begundal yang dipeliharanya untuk menakut-nakuti manusia lemah seperti kami. Untuk berlaku seenaknya saja dengan alasan asal bapak dan tuan senang. Sementara tubuh bapak dan ibu selalu saja bongkar dengan perlakuan mereka yang sangat tidak adil. Perlakuan yang pada akhirnya membawa kami pada aneka kenangan pilu yang tak kuasa untuk kami jamah entah sampai kapan.
Di sini, di ruko-ruko yang kini membisu. Bapak dan ibu menjadi saksi betapa kejahatan para begundal peliharaan negara itu nyata adanya.