Awal Perjumpaan Sho dan Jihan Di Malam Gelap, Di Bawah Hujan, Berlari dari Kejaran Para Pemburu
===
Malam begitu dingin, awan gelap memuntahkan hujan yang mengguyur seluruh tubuh, basah kuyup dari ujung hijab sampai ujung sepatu. Tas kuliah lima langkah di belakang, isinya sudah tak beraturan, laptop dibeli dari hasil menjual padi tempo hari terbelah jadi dua. Makalah untuk besok hancur, tintanya meluber mewarnai kertas putih. Gadis di gelap malam sedang berjuang memegang anak lelaki yang mengudara di bawah jembatan, tangan kiri gadis itu bertumpu di pembatas, kedua kakinya berpijak begitu kuat, dia menahan rasa sakit di kepala merasakan darah mengalir dari sana. Sedangkan Air sungai di bawah bergejolak seolah siap menerkam siapa saja. Yang paling sial dari seluruh situasi menyebalkan itu, moncong senjata terarah tepat di kepala gadis belia itu.
“Siapa namamu anak baik?” Suara tersebut terdengar dingin di antara gemuruh petir dan guntur.
Gadis itu terdiam sejenak, menimbang dan berpikir apabila ia sedikit basa-basi sampai sejauh mana pembicaraan akan berlangsung. Tetapi di situasi ini, keadaan tak memberikannya tempat untuk menolak menjawab “Ann Jihan!” ucapnya hampir tersedak air hujan. Anak lelaki yang dipegangnya berusia berkisar dua belas tahun sudah tidak berdayah dan terkulai lemas. Sedangkan pegangan Jihan mulai melemah, kekuatannya hampir habis dimakan luka, tangan anak lelaki itu semakin licin di basuh hujan.
Siapa anak ini? Siapa yang memburunya? Kenapa pula Jihan harus terlibat dengan urusan orang tengah malam begini? Salahkan Pute di sela-sela mengerjakan tugas dengan anak-anak lain, malah memberi ide menyebalkan, mengunjungi rumah hantu yang diadakan fakultas teknik. Tiba di sana teman-teman menggandeng pasangan masing-masing, meninggalkan Jihan sendiri. Kesal di awal namun ia malah menikmatinya sampai mencoba tiga kali, kadang-kadang ia jadi setan bergabung dengan penyelenggara, sampai rumor tersebar, jumlah setan bertambah, makin takutlah semua orang, termasuk penyelenggara sendiri.
“Anjing?”
“Ann Jihan!” Gadis itu berteriak, “namaku Ann Jihan, bukan Anjing! Siapa kalian? Apa kalian tidak malu sama otot kalian yang sebesar gajah, mengeroyok anak kecil dan seorang gadis. Memalukan sekali. Ganti kelamin sana!”
“Hei, lihat posisi mu, bodoh!” Pria besar itu mengeram, mendorong senjata kepala Jihan, “Serahkan anak itu! Tunjukkan di mana plakatnya!”
“Mana saya tahu! Saya cuma orang lewat!” Jihan terdiam, seketika ia menyadari sesuatu. Sedangkan pria bersenjata itu masih kekeh menginginkan jawaban seolah benda itu begitu berharga dan tatapan matanya tak mampu berbohong, memaksa melotot seolah saling kejar-mengejar dengan seseorang.
“Oke, dengar baik-baik. Saya hanya akan mengatakannya sekali. Tetapi sebelum itu, bantu saya tarik anak ini dulu, barulah saya bisa menyerahkan plakatnya”
Mereka saling terdiam sejenak. Lawan bicara Jihan menimbang.