Suatu Hari di Musim Gugur

Ellara Rosethorne
Chapter #2

CHAPTER II

Tidurlah Sebentar  Sebelum Kita Terjaga Sepanjang Malam

====

Jihan duduk dengan malas di sofa. Siraman rohani datang dari perempuan berniqab-duduk anggun di sofa tunggal. Marah soal jihan bolos kuliah, tidak ikut kajian dan tentang anak itu, meski demikian kemarahan Aisyah malah persis angin sepoi-sepoi menyentuh telinga. Tidak ada rasanya. Mulut Mamak di kampung jauh lebih mengerikan.

“kita bawa anak itu ke polres, Jihan. mungkin keluarganya mencarinya.” Aisyah memberi saran setelah menghela nafas panjang, “atau setidaknya sebelum Shouta membuat tetangga tambah marah.”

Pemulihan Shouta terbilang cepat, ia sudah mampu berdiri dengan kedua kakinya, berkeliling kompleks dengan kepala dibalut perban, bahkan menemukan teman bermain dengan sekejap. Jihan mengacungi jempol jiwa sosial anak itu cukup besar sampai punya tenaga berbaur. sungguh menakjubkan ia mampu beradaptasi di tempat asing, kurang dari dua puluh empat jam

“Bocah ingusan, apa yang kau lakukan dengan kosmetikku, hah? Dasar berandal.” Pute berseru marah menemukan alat tempurnya bersepah di lantai, sesaat setelah membuka pintu kamar, seolah di kepalanya ada tanduk sapi yang siap menyeruduk. 

Selain punya senyuman manis, anak itu juga punya kelakuan mematikan, apa saja yang disentuhnya berakhir berantakan.

Shouta menoleh, mengalihkan pandangannya dari rak buku. Itu milik Aisyah-korban selanjutnya. Dengan wajah polos memasang ekspresi datar tanpa dosa sembari mengunyah roti bulat yang masih tertahan di mulut. Dia melarikan diri dari ancaman sapu yang diambil Pute dari sudut ruang. gadis itu berseru-seru marah, mengejar mengelilingi sofa.

Aisyah geleng-geleng kepala.

Jihan Tertawa.

Kosmetik Pute yang rusak dan buku Aisyah yang bersepah di lantai merupakan track record terbaik Shouta hari ini. Dan yang terburuk merusak kerang air di halaman depan tetangga bersama kawan-kawannya, hampir banjir satu kompleks, Aisyah berada di lokasi saat itu berulang kali meminta maaf. 

Namun Jihan menyadari sesuatu, “Shouta!” panggilnya, anak itu seketika mendekat, duduk dengan kaki terlipat di bawah tubuh, di sofa tepat di samping Jihan. “Tidak boleh menyentuh milik orang lain tanpa izin. Dan jangan merusaknya, Paham?” anak itu menjawabnya dengan anggukan.

“Suruh minta maaf juga!”

Shouta mendengus, membuang muka dari Pute.

“Dasar anak nakal!” Sapu Pute terangkat saking sebalnya.

“Pute sudah, kamu ini tingkahmu seperti anak kecil.” Aisyah menengahi.

Pute mengeram sebal, balik badan menuju kamarnya, membanting pintu.

Jihan memperhatikannya dengan seksama, jiwa ingin tahu Shouta sangat tinggi, tangannya terus bergerak menyentuh apa saja lalu yang menakjubkan dari itu semua, keinginannya memperbaiki apa yang rusak, termasuk buku yang sobek, kerang air yang mengalir tanpa henti, tempat kosmetik Pute yang terbagi dua, sayangnya apa yang ia perbaiki justru semakin hancur dan orang-orang tidak memberinya waktu atau mendengarkan penjelasan-untuk apa ia melakukan itu semua.

Jihan mengusap ujung kepala Shouta, di dalam benak gadis itu ia bertanya-tanya apa yang membuat anak sekecil ini diburu seperti semalam? Padahal anak seusianya tidur nyenyak menikmati kedamaian dunia, bisa tumbuh dan berkembang mengasah kemampuannya, atau setidaknya berkumpul dengan keluarga di ruang tamu menikmati siaran televisi. Apa yang terjadi? Plakat apa yang dibahas para bajingan sialan itu?

Usulan Aisyah membawa Shouta ke kantor polisi memang bagus. Tapi entah kenapa instingnya mengatakan, Jangan!

Jihan menghela nafas, Shouta memahami apa yang Jihan katakan namun anak itu tidak mampu melafalkam bahasa indonesia. justru mengucapkan bahasa yang sulit dimengerti. Perkiraan sementara Jihan, Shouta adalah peranakan Nihon-Indo, fitur wajah dan tubuhnya memiliki dasar yang sempurna, bila dewasa nanti ia menjamin Shouta akan tumbuh menjadi pria tampan. Untuk sekarang masih kucel dan tidak terawat, kulit wajah, tangan dan kakinya dekil dan gelap termakan sinar matahari. 

Karena ketidakmampuan memahami penjelasan Shouta percuma bertanya terkait masalah Plakat dan apa yang terjadi semalam. Seandainya pun anak itu berinisatif memberi penjelasan Jihan tetap tidak paham apa yang anak itu maksud.

“Apapun yang aku katakan, sepertinya kamu hanya mendengar, kamu tetap melakukan apa yang kamu mau, Jihan.” Aisyah menghela nafas lagi, ia sudah terlalu lelah seatap dua gadis absurd lalu ditambah lagi satu anak ajaib, sungguh benar dunia setiap manusia yang ditemui adalah ujian “Nanti sore aku mengecek pesantren ada sedikit masalah di sana, kemungkinan aku menginap. Jika terjadi sesuatu hubungi aku secepatnya. Mengerti?”

“Apa muka ku ini, muka masalah, sampai kau bilang begitu?”

“Janji?”

Jihan sekedar mengangguk. 

Sejujurnya, Jihan sendiri tidak bisa menjamin apakah keberadaan Shouta dan tindakannya semalam bukanlah masalah yang berkelanjutan. Karena bila dilihat lebih jauh, bukan hanya satu kelompok tetapi banyak kelompok yang memburu Shouta. bagai sebuah perlombaan siapa cepat dia dapat. seolah-olah sebuah plakat jauh lebih berharga daripada nyawa seorang anak? makanya jawabannya jelas masalah telah menunggu.

Shouta berdiri di ambang pintu menatap langit cerah.

Matanya seakan mengatakan sebentar lagi.

Mereka akan datang!

"Langit akan gelap. Tidurlah sebentar, sebelum kita terjaga sepanjang malam.” Firasat buruk menghujam dada Jihan.

“Kata-kata kau ambigu banget.” Pute keluar dari kamar, aroma parfumnya semerbak menyebar seisi ruang tamu, “Mungkin aku menginap, jangan pikir aneh-aneh, kegiatan organda ada penggalangan dana di lampu merah.”

Lihat selengkapnya