Suatu Hari di Musim Gugur

Ellara Rosethorne
Chapter #5

CHAPTER V

MELIHAT LANGIT YANG SAMA

====

Rumah panggung tua berdiri kokoh berjarak sekitar sepuluh meter dari aliran sungai. Rumput hijau terpangkas rapi. Terhitung tiga hari sejak kedatangan Niels dan Nilo di rumah tua itu, membuat dipan bambu di halaman rumah lebih ramai dari biasanya. Bermain. Bereksperimen. Seolah membawa warna baru, mempertontonkan keajaiban, membuat anak tetangga tergelak takjub, di bawah langit malam.

Niels memperbaiki posisi kecamatanya, memberikan kata yang mampu menghipnotis pendengarnya, kata-kata yang khas, bahkan dihafal oleh anak-anak itu, kalimat pembuka tanda keajaiban akan di mulai, “Lihatlah, perhatikan baik-baik, jangan sampai ada yang terlewat.” setelah minyak goreng, air, pewarna, vitamin c larut di campur, lalu senter uv dinyalakan dari bawah gelembung warna terlihat bercahaya, membuat mereka serentak berseru.

Nilo tertawa, bajunya berantakan, wajah anak-anak itu persis sama dengannya ketika pertama kali menyaksikan bagaimana hasil eksperimen Niels berhasil. Tawa Nilo hanya sekejap. anak-anak itu mulai merengek minta pertunjukan di ulang, menuntut diberi pertunjukan baru, seketika memulihkan ingatan Nilo-ia benci anak kecil.

Keributan itu berhenti ketika sorot mobil menerpah kelompok kecil itu yang lagi ribut memperebutkan Niels.

“Ini rumah Ann Jihan Mallarangeng?” Seorang wanita berambut bondol, baju semi batik, rok hitam span, mata bulatnya menatap Niels. Disusul pria gempal, berusia berkisar empat puluh tahun, dengan kamera bergelantung di lehernya. dan satu pria lagi duduk di kursi sopir, wajahnya tak tampak jelas dari balik kaca mobil.

“Kalian siapa?” Nilo maju, tubuhnya waspada, tangannya memberi isyarat untuk Niels membawa anak-anak menjauh.

“Kalian tidak perlu takut. Apaje mukamu itu kayak mak lampir!” Ucap pria beruban itu, logatnya sangat kental, sangat khas dengan masyarakat setempat, bahasa indonesia yang diberi imbuhan, Je. 

“Basri, jaga kau punya mulut.”

“Saya Basri, temannya Jihan dari kota. Ini Unga. Jangan mi takut. walaupun mukanya begini, baik ji orangnya. Kalo tidak salah ka. kalian si kembar Niels Nilo, lagi nikmati liburan setalah ujian nasional, kan?”

Nilo menatap tajam, “Kalian ada urusan apa dengan kakak?”

“Ada.” Unga menjawab.

“Apa?” Nilo ngotot mau tahu.

Basri meminta Unga untuk mundur. Memaklumi reaksi Nilo dan anak-anak itu adalah respon normal setelah banyaknya peristiwa. Dan mereka benar, tim kecil ini membawa masalah baru. Wajar Si Kembar waspada, wajar menolak kedatangan Basri dan kawan-kawannya. Namun Basri tak punya pilihan lain. 

“Kak Jihan lagi ada tamu.” Niels berseru sembari memeluk tiga anak kecil itu, airmukanya lebih lembut jika dibandingkan dengan Nilo, tubuhnya lebih kurus, rambutnya pendek berkisar satu cm, bajunya rapi, penampilan yang berbanding terbalik.

“Nak..”

“Kami izinkan satu orang masuk, Basri? benarkan? Nilo, tanggalkan kameranya. Cek apakah ada perekam atau sejenisnya, hp singkirkan, pastikan tidak ada senjata tajam.” Ia menaikkan kecamata yang sedikit merosot.

Unga tertawa kecil, “Kenapa kalian lebih ketat dari petugas?” gadis itu tidak habis pikir dengan kata-kata yang keluar dari mulut bocah kurus itu. “Oke, aku menunggu di sini.” ucapnya saat Unga menyadari bocah berkacamata itu tidak sedang bernegosiasi. 

Niels mengantar Basri menaiki rumah panggung itu diikuti tiga perintilannya. 

Suara Jihan mulai terdengar, perlahan semakin jelas, “Bapak Saya mengerti, Bapak tersinggung, Anda marah. tetapi apakah melapor akan menyelesaikan masalah? Tidak. hasilnya akan sama. Berakhir damai di kantor polisi. Kita juga tidak tahu siapa yang merusak pagar bapak atau jangan-jangan respon alami dari alam, pak. Setiap orang bisa saja menuduh, pertanyaannya apa punya bukti? ada saksi? saya kembalikan ke bapak, mau melapor silahkan, petugas juga akan memproses laporan bapak kok. Sama seperti sebelum-sebelumnya.”

Lihat selengkapnya