Suatu Hari di Penghujung Juli

Devichy
Chapter #1

Bab 1. Abon Ikan Cakalang

BUKAN aku saja yang bosan!

Burung tekukur yang biasa mangkal juga sudah jenuh dengan Toko Abon Ikan kami yang begitu-begitu saja. Mereka memilih kabur ke ujung buana mengitari taman berwarna-warni. Menyulam jejak-jejak petualangan baru.

Kemarin dengan sombongnya tikus-tikus dapur mentertawakan komplotannya yang masih sudi singgah di kolong etalase. Di ujung tepian, semut-semut bongkahan jendela berkomplot menjadi herbivor karena muak diberi ampas ikan.

Apa masih kurang jelas saat cakalang-cakalang amis itu meronta untuk tidak dieksekusi? Meja, pintu dan pilar-pilar bangunan telah memberontak sejak lama. Bosan bersarang sampai lumutan. Mengendapkan serpihan-serpihan debu yang telah mengembara bertahun lamanya.

Sejauh mata memandang, telah kentara struktur bangunan lapuk dan pilar kayu penyangganya yang hendak pensiun. Sepanjang hari tanah kering jatuh dari atap tak berternit. Membentuk bulatan debu pada ubin tegel yang retakannya berpola akar belukar. Dan lemari kaca di samping meja kasir itu. Ingin rasanya kumiringkan empat puluh lima derajat ke tenggara, biar sekali-kali berganti gaya.

Aku tebak, tidak sampai satu bulan toko ini binasa. Apa yang bisa diharapkan dari perniagaan kecil minim ambisi ini. Toh tidak berpengaruh signifikan pada perekonomian negeri. Apalagi berjasa memberi lapangan pekerjaan untuk pemberdayaan Sumber Daya Manusia.

Toko ini hanya sebuah ideologi yang nampaknya mendatangkan profit saat di awal-awal saja. Mereka pernah di pucuk kejayaan, tetapi sekarang sudah melewati masa gemilang. Sisa angan-angan yang digerus zaman. Akhirnya hanya menjadi tempat setor muka pemiliknya, supaya nampak bukan pengangguran.

Bertaruh siapa yang paling bertahan diantara ikan segar, seafood, dan olahan ikan lain buatan istri-istri nelayan di sepanjang jalan kawasan Pasar Ikan. Terperangkap di ruang monoton dan mati rasa. Menapaki cerita berganti hari yang alurnya jalan di tempat.

Aku bahkan sudah hafal runtutan adegannya. Bapak duduk santai di meja makan, menyeduh kopi sambil memainkan kaki. Berwajah kusut dan belum mandi. Terlihat segan dan menyerah dengan hari. Mulutnya menguap sembilan detik sekali. Bertanya padaku pertanyaan yang sama setiap sarapan pagi.

"Pulang sekolah jam berapa?"

Itu bukan pertanyaan yang membutuhkan satu tahun bersemedi. Namun kebosananku membiarkan bapak membaca situasi sendiri. Untuk ke sekian kalinya aku hanya memainkan sendok dingin di depanku. Berseteru dengan menu masakan yang jauh dari per-ikan-an itu. Hasilku demo tempo hari.

"Ri?"

Aku mendesah malas. "Sama seperti kemarin."

Bapak menatap pelik setelah mendengar jawaban ketusku. "Memangnya kemarin pulang jam berapa?"

"Sama seperti sehari sebelum kemarin."

"Utari!"

"Utari! Kalau ditanya orangtua itu yang sopan jawabnya!" celetuk ibu hampir serentak dengan bapak. Seakan beradu siapa duluan yang akan menceramahiku.

Lihat selengkapnya