Suatu Hari di Penghujung Juli

Devichy
Chapter #2

Bab 2. Selimut Abu-abu

HAL yang paling aku ingat tentang ibu adalah betapa ia gemar menjadi orang ketiga. Saat mengambil nasi, mandi pagi, tidur malam hari. Semua ia lakukan urutan ketiga, setelah bapak dan aku. Ketika kami membuat mie rebus pakai telur, bapak dapat putihnya, aku dapat kuningnya, ibu sudah biasa tidak dapat apa-apa.

Ibu selalu mendahulukan kami. Membeli baju hanya lima tahun sekali. Memakai parfum murahan dari toko seberang jalan. Menjinjing tas yang itu-itu saja. Tidak ada satu perhiasan-pun di tubuhnya. Jika bersama kami, ibu akan tertawa. Tetapi jika bersedih, dia akan pendam sendiri. Kadang hanya melakukan sesi terapi dengan si Unyu, kucing rumah kami.

Ide berjualan Abon Ikan adalah ide Bapak. Sebagai pensiunan preman yang takut berlayar, mengolah ikan adalah pelarian bapak agar terhindar dari pekerjaan buruh nelayan. Namun jika bukan karena ibu, ide bapak hanya akan sekedar angan-angan.

Ibu begitu mencintai Abon Ikan Cakalang. Aku ingat setiap peluh keringat wanita itu mengaduk serat-serat ikan di atas wajan. Tersenyum simpul ke arahku. Membanggakan hasil adukannya selama satu jam penuh. Padahal pekerjaan itu sudah ia lakukan bertahun lamanya.

Ingatan tentang ibu terus menghantam bertubi-tubi dalam pikiranku. Meski terasa menakutkan untuk mengingatnya sekarang. Berharap ingatan-ingatan tentangnya tidak berhenti di sini. Dan menyesal kenapa kenangan hanya muncul saat pikiran serta hati manusia bimbang.

Sedangkan badanku hanya bisa gemetaran menahan dingin. Berlindung dibalik selimut abu-abu yang menyumpal kedua tanganku. Sejak setengah jam yang lalu aku terperangkap sendirian memeluk erat tas sekolahku. Menunggu di teras rumahku yang sepi, untuk sebuah kepastian. Memutar logika, mengotak atik kemungkinan yang kebenarannya masih mengawang.

Kisah itu berawal sore tadi. Aku baru pulang dari sekolah saat Bude Nur tiba-tiba menelfonku kalang kabut. Bicaranya tidak jelas. Semakin aku menyuruhnya tenang, ia semakin gelagapan.

"Rumah sakit."

Hanya itu yang bisa lancar bude katakan. Dan sudah cukup membuat jantungku berdegup kencang. Aku tau ada yang tidak beres sejak menginjakkan kaki di rumah kami yang kosong sore tadi.

Suara mobil yang kian mendekat membangunkan lamunanku. Sorot lampunya menyilaukan pandangan, bersamaan dengan pintu mobil yang terbuka. Bude Nur memanggilku dari dalam mobil. Tanpa pikir panjang aku langsung masuk mobil itu dan pergi ke Rumah Sakit bersamanya.

Bude Nur adalah kakak kandung ibu, tinggal tidak jauh dari rumah kami. Fajar, lelaki yang mengemudikan mobil adalah anaknya, hanya berusia tiga tahun lebih tua dariku. Sepanjang perjalanan aku tidak bertanya apa-apa. Bude Nur juga tidak bicara. Kami sama-sama bingung dan memutuskan menanggung beban di kepala masing-masing.

Bapak tidak bisa dihubungi lagi semenjak terakhir mengirim kabar. Kenyataan yang membuat raut wajah kami semakin cemas. Meski sedikit lega setidaknya bapak ada di samping ibu sepanjang waktu.

Jalanan yang kami lewati mulai sepi. Setiap detik yang dilalui terasa menyedihkan, namun penuh dengan harapan. Ketidakpastian yang seakan menempatkanku pada perjalanan paling panjang dalam hidup.

"Selimut kamu bagus, Ri."

Perkataan bude memecah keheningan. Aku menilik selimut abu-abu yang tergelar di pangkuanku sejak tadi.

Lihat selengkapnya