Suatu Hari di Penghujung Juli

Devichy
Chapter #3

Bab 3. Teori Kematian

CARA menghadapi kehilangan itu berbeda-beda. Bude Nur yang terus menangis dan berdzikir. Bapak yang mendekam di kamar dan enggan berbicara. Kucing-ku yang frustasi sampai berseteru dengan kucing tetangga. Dan aku yang sibuk termenung mempertanyakan teori-teori kematian.

Kemana ibu dan adikku dibawa setelah mati? Ber-reinkarnasi seperti di serial Kera Sakti? Atau menjadi hantu seperti film-film Suzanna? Bagaimana jika ruh mereka masih di rumah ini? Kira-kira mana dari semua itu yang termasuk teori konspirasi?

Entah kenapa dini hari itu terdengar sunyi, padahal kerabat dan tetangga berjaga semalaman di depan rumah kami. Aku tidak bisa tidur, hanya duduk melamun sendiri di atas tikar. Menatap mayat ibu dan adikku yang telah terbungkus kain kafan dan tersematkan bermacam wewangian. Ini malam terakhir mereka di rumah ini sebelum dimakamkan pagi hari.

Air mataku mungkin telah kering, atau sebenarnya aku memang lebih tertarik memikirkan teori konspirasi. Kenapa adikku diciptakan jika belum satu hari ia dimatikan lagi? Apa bocah itu salah alamat? Baru datang ke dunia, langsung pergi lagi. Mungkin ia menganggap planet bumi tidak asyik, lalu protes kepada Tuhan untuk dapat tinggal di planet lain. Aku tidak menyalahkannya, Galaksi Andromeda terlihat indah untuk ditinggali.

"Mikir apa kamu, Ri?"

Aku terpegun. Bude Nur berjalan melewatiku sambil menata piring berisi setumpuk permen di tengah tikar.

"Teori Konspirasi."

"Apa?"

Aku menggelengkan kepala, berharap Bude Nur melupakan jawaban itu. Cukup bapak saja yang aku biarkan bertingkah aneh. Minimal salah satu dari kami harus waras. Aku segera membantu bude Nur menggelar karpet-karpet di teras dan menata makanan untuk persiapan pemakaman.

Mentari mulai tinggi, tetangga bertandang satu per satu ke rumah kami untuk melayat. Sebagian laki-laki sudah ke makam untuk menggali kubur, sedangkan perempuan memasak di dapur untuk jamuan tamu. Meski banyak tamu yang menolak makan di pemakaman, entah karena apa.

Hari itu sangat ramai. Namun goresan kehampaan terus berputar di kepalaku, memaksaku melamun lagi. Melihat keranda jenazah yang disholatkan oleh banyak orang. Menunggu untuk segera dikuburkan. Para pelayat lalu lalang berjalan bagai di kondangan. Sebagian dari mereka malah temu kangen dan reuni. Tak sedikit pula yang mengajakku ber-selfie. Apa mereka benar-benar mengharapkan senyumku dalam situasi seperti ini?

Pandangan pelayat menuju ke Bapak yang akhirnya mau keluar kamar, dengan dipapah beberapa orang. Bapak harus menyolatkan jenazah sekarang, untuk terakhir kali sebelum dimakamkan. Wajah bapak kucal. Kumis dan janggutnya tidak dicukur bersih. Juga belum mandi dua hari ini. Tubuhnya bongkok, rambutnya berantakan. Benar-benar kehilangan satu sayapnya yang telah patah, yaitu ibu.

Bisa kukatakan, Bapak dan ibu adalah pasangan sejati. Mereka tidak pernah ingat tanggal anniversary, tetapi selalu ingat untuk mengobrol berdua di teras saat sore hari. Ketika ingin romantis, bapak membelikan ibu ceker pedas, bukan coklat apalagi Bunga Lili. Mereka satu paket, bak kembar siam. Jika ingin mencari bapak, tinggal cari ibu, bapak pasti ketemu. Chemistry mereka tidak main-main. Jika ibu kehujanan, bapak yang akan sakit flu. Jika ibu kebanyakan makan ceker pedas, bapak yang akan sakit perut. Setelah kupikir-pikir, mungkin memang bapak saja yang nasibnya sial.

Aku ingat betapa bahagianya ibu saat tespek kertasnya bergaris dua. Tujuh belas tahun penantian akhirnya tercapai. Ia melompat dan berteriak kegirangan sambil memeluk bapak yang kebingungan. Bingung bagaimana bisa kebobolan.

Bapak memang sedikit acuh. Katanya anak itu seperti daun kemangi. Tidak ada-pun tidak terlalu mempengaruhi lezatnya penyet ayam. Atau seperti irisan jeruk yang tertancap di gelas jus. Tidak ada yang menginginkan, tidak ada yang mengundang. Tetapi engkau ada di sana, sebagai formalitas saja.

-----♨-----

Lihat selengkapnya