Suatu Hari di Penghujung Juli

Devichy
Chapter #4

Bab 4. Kupon Abon Ikan

IKAN cakalang telah lama berkelana di pesisir pelabuhan. Menyisir samudera dan menerjang lautan tropis. Berlari dari para nelayan yang menaikkan layar dan menebar Jala. Ikan cakalang melompat nakal. Sampai ia sadar jika waktunya di dunia hanya sebentar.

Tumpukan-tumpukan ikan memenuhi perahu sang penakluk ombak. Ikan-ikan segar dipasarkan di Tempat Pelelangan Ikan. Masyarakat meramaikan Pasar Ikan. Hingga akhirnya sampai di Pabrik dan pedagang rumahan untuk diolah menjadi berbagai macam olahan ikan. Salah satunya Abon Ikan Cakalang.

Sayangnya, bagiku ia musuh bebuyutan. Permusuhanku dengannya dimulai sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu aku sudah membenci ikan. Aku tidak bisa berdekatan dengan ikan barang sejengkal.

Jujur saja, apa yang menarik darinya? mata mendelik, bau amis dan kulit berlendir, ditambah jalannya yang meliuk-liuk menakutkan. Namun sebuah ide bahwa makanan yang aku benci dirubah bentuk menjadi makanan berserat kaya bumbu rempah. Mataku langsung berbinar.

Hari pertama produksi, aku memakan Abon Ikan Cakalang sampai habis dua piring. Lagi dan lagi, mulutku tidak mau berhenti. Seperti kalap dan balas dendam karna baru tahu ada masakan namanya Abon Ikan. Bahkan setelah dua piring habis, aku merengek minta Abon Ikan lagi. Hingga akhirnya perutku kembung dan mual muntah dua hari. Bertambah lagi kebencianku pada ikan.

Itulah pengalaman pertama dan terakhir aku memakan Abon Ikan Cakalang. Mugkin hanya sekali atau dua kali saja memakannya lagi, di waktu tertentu. Entahlah, hubungan kami putus nyambung. Butuh waktu panjang untuk saling introspeksi. Karena sebagai bagian dari masyarakat pesisir yang berdampingan dengan laut, tidak banyak menu yang bisa dimakan selain olahan ikan.

Sudah ku bilang, jika ada petisi pembubaran Toko Abon Ikan ini, aku akan berada di garda terdepan. Namun seperti anak remaja di luar sana, suaraku tidak pernah didengar. Padahal, cepat atau lambat, ibu masih hidup atau tidak, toko ini pasti akan tutup.

Menyisakan alat-alat produksi yang lawas dan sebagian telah karatan. Meninggalkan beberapa bungkus saja yang masih terpajang di lemari kaca. Lima belas menit sudah aku memandangi mereka, memikirkan bagaimana menyingkirkannya.

Mungkin akan aku bagikan ke teman-teman dan tetangga, sebelum tanggal kadaluarsa. Jika dihitung, masih ada beberapa sisa untukku dan kucingku makan. Setelah habis semua, aku akan ubah toko ini menjadi gudang. Atau menyewakannya jika ada yang berminat jualan. Atau ...

"Kemana perginya Utari 3?"

Aku tersentak. Mataku melegar ke sekitar mencari sumber suara. Pandanganku kandas pada seorang pemuda yang tengah duduk jongkok menilik tanaman-tanamanku di teras rumah. Bibirnya merekah, mengiringi mata yang bersinau-sinau saat memandang mereka satu per satu.

Sesekali ia membersihkan dedaunan kering yang runtuh pada setiap pot bergores spidol—bertuliskan nama-nama tanaman itu. Utari 1 adalah tanaman sri rejeki, Utari 2 adalah sirih gading, dan Utari 4 adalah lidah mertua.

Waktu melewatiku begitu saja sampai aku tak tau kapan pemuda itu datang, tiba-tiba saja sudah muncul di sana. Beberapa langkah darinya juga telah terparkir sebuah mobil mewah. Apa aku harus menjawab? Sepertinya kutunggu saja sampai dia bertanya lagi. Aku juga tidak yakin dia bertanya padaku tadi.

Ah, seharusnya aku berhenti menuliskan namaku pada pot-pot rumah. Dilema menjadi anak tunggal. Terkadang aku membentuk persaudaraan fiktif bersama kucing dan tanaman pekarangan.

"Kemana perginya Utari 3?"

Pemuda itu menatapku lagi, sambil menanyakan pertanyaan yang sama namun satu not lebih tinggi. Suaranya berat dan penuh harap.

"Utari 3 sudah mati," jawabku.

Pemuda itu mematung seketika. Manik yang tadinya berbinar menjadi padam. Mungkin jawabanku terlalu frontal sehingga menyakiti hatinya. Kami saling mendiamkan beberapa saat.

Kulihat wajah pucat tertunduk itu, ditambah jaket tebal pakaian pesakitan yang ia kenakan. Membuatnya terlihat semakin terpuruk. Seakan Utari 3 adalah kawan lamanya yang telah berpulang. Percayalah, aku juga terpukul kehilangan tanaman batang merah itu minggu lalu.

"K-kenapa bisa mati?" tanya pemuda itu dengan bibir bergetar.

Lihat selengkapnya