Suatu Hari di Penghujung Juli

Devichy
Chapter #5

Bab 5. RS Soetama Medika

TEMPAT itu bernama RS Soetama Medika. Berdiri sejak tahun 1979 dan merupakan salah satu rumah sakit terkemuka di Indonesia. Segala fasilitas dan pelayanan memiliki standar tinggi serta dijalankan oleh tenaga-tenaga profesional. Secara garis besar, kemungkinan seseorang yang berobat kesini untuk keluar hidup-hidup sangatlah tinggi.

Tidak ada yang aneh dengan Rumah Sakit lawas ini. Admin-admin belingsat melayani pendaftaran pengunjung yang tiada henti. Menumpuk data calon pasien berisi beragam bentuk keluhan yang ada. Setiap beberapa menit, bel akan berbunyi diiringi suara datar seorang wanita memanggil nomor antrian secara berurutan.

Di sudut yang berbeda, bergumul pada kawasan yang lebih kelam. Pengunjung lain masih terpenjara di kursi ruang tunggu yang berbanjar-banjar. Sesekali terdengar suara meraung dan menggerutu dari para pesakitan. Mata mereka merapu dengan harap untuk mendapat secercah kesembuhan.

Bukan rahasia lagi. Pasien gawat dirujuk ke IGD, pasien tidak terlalu gawat menunggu sedikit lebih lama untuk mendapat perawatan. Pasien yang terlihat tidak sanggup membayar, dilempar ke Rumah Sakit lain dengan alasan ruangan penuh. Sedangkan pengunjung yang bukan pasien seperti aku dan bapak, terlunta-lunta di kursi terasing sejak lima jam yang lalu.

Seakan terabaikan, kami berjam-jam hanya duduk diam melihat pengunjung yang lalu lalang. Mereka datang setelah kami, tetapi hampir semua telah dilayani. Padahal Bapak berkali-kali bertanya kepada pegawai Rumah Sakit sembari menceritakan tujuan kami kesini. Namun jawabannya selalu sama yaitu 'silahkan ditunggu dulu'.

Aku sampai hapal ruangan-ruangan serta prosedur pendaftaran Rumah Sakit ini. Jika calon pasien datang, aku rasa aku paham bagaimana melayani atau bahkan menyembuhkannya. Jujur saja, tak sampai enam menit pasien-pasien poli itu bergantian keluar dari ruangan dokter. Hanya sekejap tiba-tiba sudah pergi meninggakkan gedung.

Lamunanku buyar saat seseorang mengetuk pahaku dengan ujung botol minum. Aku terlalu lama melamun sehingga tidak sadar bapak telah kembali dari kantin Rumah Sakit. Aku meraih air dingin itu dan segera meminumnya.

Bapak terkekeh melihatku terburu-buru menenggak air. Ia memberiku tissue dan beberapa snack untuk mengganjal perut. Kami berpandangan sambil menyintas senyum, berusaha mengubur rasa bosan dan keinginan menyerah. Jujur saja, jika bukan karena semangat bapak yang masih menggebu, aku sudah merengek minta pulang sejak tadi.

Setelah menunggu satu jam berikutnya, giliran kami akhirnya tiba. Tidak dipanggil, namun langsung dihampiri oleh seorang pegawai. Ia memintaku dan bapak untuk mengikutinya. Kami berjalan sedikit jauh mengitari gedung-gedung Rumah Sakit, entah akan dibawa kemana.

Gedung bertingkat itu sepertinya Auditorium. Aku melihat area yang begitu luas dari pintu kaca. Pegawai pria itu mengarahkan kami menaiki lift ke lantai tiga. Sampai di sana, sesaat setelah pintu lift terbuka, dua orang satpam datang menyambut, seolah telah menunggu kedatangan kami.

Kami ditinggal berdua di sebuah ruangan. Ruangan itu seperti ruang tamu biasa namun dengan sofa mewah dan lantai luas dan nyaman. Sedikit berbeda dengan ruangan periksa pasien di gedung pendaftaran tadi.

Menilik ke belakang, aku masih bingung kenapa bisa terdampar bersama bapak di sini. Sejujurnya sedikit gugup dan takut juga. Tetapi untuk kesekian kalinya bapak menggenggam tanganku, seolah paham apa yang aku rasakan. Setidaknya dengan itu kami bisa mengumpulkan keberanian dan menguatkan satu sama lain.

Tak lama, seseorang masuk ruangan. Bukan seseorang, melainkan lima orang sekaligus. Bahkan aku kaget dua orang satpam ternyata belum pergi dan masih berjaga di depan ruangan. Kami semakin takut dan bingung, seakan sedang di keroyok massa. Mereka seperti komplotan geng yang mau malak.

Salah satu dari mereka, seorang pria berpakaian jas hitam mendekati kami. "Selamat siang, pak. Perkenalkan nama saya Johan, Kuasa Hukum dari RS Soetama Medika."

Aku dan bapak berpandangan sejenak, bingung kenapa ada seorang pengacara yang ikut menemui kami. Dari luar pria itu terlihat seumuran dengan bapak, lebih bersih dan rapi saja pembawaannya. Satu per satu ia memperkenalkan yang lain, sambil menyalami kami bergantian.

"Ini Dokter Arini, dokter yang menangani persalinan ibu Rahmi." Johan menunjuk seorang wanita berambut panjang dan berkaca-mata.

Di belakangnya, terlihat dua orang perempuan lebih muda yang terus menunduk. "Ini suster Madya dan suster Nilam, perawat yang menangani persalinan ibu Rahmi."

Terakhir, kuasa hukum itu memperkenalkan seorang dokter yang lebih senior, terlihat dari kerutan dan banyaknya uban di rambutnya. "Ini Dokter Gideon, dokter yang dipanggil untuk membantu operasi."

Setelah menyalami mereka semua, kami semua duduk mengerubungi meja persegi di ruang tamu itu.

Lihat selengkapnya