Suatu Hari di Penghujung Juli

Devichy
Chapter #6

Bab 6. Sawah dan Obrolan Senja

LANGIT hampir temaram saat ilalang melambai-lambai di pematang sawah, mengucapkan salam perpisahannya. Kawanan burung berbaris pulang setelah berkelana seharian. Petani memikul cangkul di sepanjang jalan, berebut lintasan dengan anak-anak yang berlari lantam mengejar layang-layang. Ombak berlomba menghantam karang yang bayangannya hampir pudar. Namun aku dan bapak masih terjebak di jalan panjang membelah persawahan, tidak bisa pulang.

Mungkin motor butut ini harus remuk dulu baru bapak sadar untuk berhenti mengendarainya. Body-nya rapuh dan renta, sedikit-sedikit meronta. Mengemis rehat untuk perlintasan yang tidak seberapa. Knalpot berkarat dan roda-roda usang kehilangan daya cengkram. Stiker motor juga sudah hampir tidak ada.

"Dorong lagi, Ri! Sebentar lagi sampai!" Suara bapak memekik menakutkan. Guratan keningnya menonjol dengan gigi yang terus mengerang, menahan tekanan.

Dengan sekuat tenaga aku mendorong motor rongsok itu. Derasnya keringat telah menembus kening dan leherku. Otak memanas, darah mendidih. Aku kumpulkan segala alasan kemarahan dalam hati, berharap memberi sinyal kekuatan pada kedua lenganku.

Tidak usah tanya seberapa banyak alasanku untuk marah. Terlantar berjam-jam di Rumah Sakit tanpa kejelasan. Disambut dengan segala intimidasi dan ancaman langsung dari seorang pengacara. Aku yang tadinya biasa saja, sekarang ikut geram seperti bapak. Untuk terakhir kali, ku paksakan otot kaki berpijak kuat pada aspal untuk mendorong roda.

Setelah melewati tanjakan, akhirnya kami sampai di jalanan datar. Bapak menggenjot pedal motor itu berkali-kali. Namun masih tidak ada hasil. Aku menelan ludah beberapa kali agar tenggorokanku tidak mengering.

Kami akhirnya menyerah dan duduk sejenak di pinggir jalan. Dengan payah aku mengusap wajahku yang lelah. Peluh keringat di badan bapak, menembus sampai kemeja satu-satunya yang ia pakai. Baju paling bagus, setidaknya agar kami tidak dipandang sebelah mata oleh pegawai Rumah Sakit.

"Sudah harus diganti, pak," kataku sambil menata napas.

Bapak mengangguk tipis. "Bapak sudah mengumpulkan tabungan. Sebentar lagi cukup untuk beli motor baru."

Ku tarik napas dalam-dalam lalu ku paksakan bibir untuk tersenyum. 'Sebentar' bagi keluarga kami adalah beberapa tahun lagi. Menunggu atap rumah tidak bocor lagi, atau sampai aku tidak membayar biaya sekolah lagi. Perjalanan yang cukup panjang untuk dikatakan sebentar.

Aku mengumpulkan kerikil-kerikil kecil di pinggir jalan untuk mengusir bosan. Membersihkan sepatuku yang kotor terkena jerami kering. Kupandang wajah bapak yang tiba-tiba terdiam memandang langit di atas persawahan, tempat berkumpul mega-mega gegana yang lambat berjalan. Aku tahu banyak hal yang dipikirkan bapak saat ini.

"Kita mau bagaimana, pak? Tentang Rumah Sakit."

Pertanyaanku seakan menghentikan waktu. Jalanan di persawahan pesisir pantai ini sepi. Awan gelap juga hampir berkumpul di atas kami. Hanya terdengar suara ujung padi yang tertiup angin, beserta ombak yang tidak lelah menghantam pantai pasir.

"Kamu masih belum mengerti, Ri?"

Aku menengok nanar, "Mengerti apa?"

"Tidak mungkin mereka mengancam jika ini bukan masalah serius. Apalagi sudah melibatkan pengacara."

Lihat selengkapnya