Setelah mendapatkan nomor ponsel Mentari, Naren tak henti-hentinya mengumbar senyum. Mentari terlihat unik dimata Naren, dengan mata besarnya yang jika diselami akan membuatmu tenggelam hingga ke dasar.
Mata Mentari menyiratkan kesedihan, itu yang membuat Naren ingin terus menatapnya berharap dapat mengerti semua kesedihan yang tersirat.
Pada awalnya telepon dari Naren selalu diabaikan oleh Mentari, entah sudah berapa puluh kali Naren mencoma. Bahkan untuk pesan Naren dengan alasan ingin meminta foto selfie mereka, tak pernah dibalas oleh Mentari.
Namun hal itu membuat Naren semakin penasaran. Mengapa Mentari bersikap begitu defensive, alasan apa yang ada dibaliknya. Naren harus tahu!
Pada akhirnya Mantari jengah dengan segala pesan-pesan Naren juga telepon dari pria itu. Toh tak ada buruknya juga berkenalan dengan orang baru? Apalagi Naren orang Indonesia, akan lebih leluasa baginya untuk bertukar pikiran.
Mentari lalu menyetujui ajakan Naren untuk pergi menemuinya di taman kota Rue de la Bourse, namun tiba-tiba Mentari tak ingin berada di keraiaman. Kanal didepan Quai d’Isly tampak lebih menarik untuknya hari ini.
Mentari duduk disebuah bangku, menunggu Naren yang sedang menuju kesini dari Gare Centrale. Tak lama sesosok pria yang ditunggunya berdiri dihadapannya membawa beberapa croissant ditangannya.
“Croissant bisa membuatmu lebih baik, kau belum sarapan bukan?” tawar Naren menyerahkan bungkusan croissant ke hadapan Mentari.
Mentari tersenyum, “Thanks.”
Mentari lalu mulai mengunyah croissantnya, “So? Ada apa?” tanyanya kemudian.
“Aku hanya ingin bertemu denganmu,” ucap Naren sambil tersenyum jahil.
Mentari melirik sinis Naren, “Asal kau tahu, aku orang yang sibuk.” Mentari hendak berdiri namun genggaman tangan Naren menahannya.
“Aku yakin kau tak sesibuk itu.”
“Ragaku memang tidak sibuk, tapi pikiranku selalu sibuk.” Ujar Mentari sambil berjalan menuju pagar pembatas kanal memandang air yang mengalir didalam kanal.
Naren mengikuti Mentari beranjak dari bangku taman, berjalan mendekat menuju pagar pembatas kanal.
Sehingga disinilah Naren dan Mentari, memandangi aliran air di dalam kanal dari Quai d’Isly.
“Sejak kapan kau ada disini?”
“Belum lama, satu bulang mungkin.” Ucap Mentari seraya mengedikkan bahunya.
“Mengapa kau jauh-jauh dating kesini? Meninggalkan keluargamu?” tanya Naren sambil menatap mata Mentari.
Mentari berpaling dari tatapan Naren, “Aku mengikuti kemana kakiku melangkah.”
“Patah hati?”
Mentari terkejut bagaimana bisa Naren mengetahui dengan pasti alasannya pergi jauh dari Indonesia, namun kembali ia menjawab dengan lugas, “Mencari keluarga kakek buyut ku.”
“Kau berlindung dari sebuah alasan.”
“Tahu apa kau tentang hidupku?” Mentari membalikkan badannya, menyender dipagar pembatas kanal.
Naren terkekeh, “Tatapan matamu menyiratkan semua.” Ucapnya lalu mengikuti mentari membalikkan badannya, “Kau tau? Aku pembaca perasaan yang baik.”
Mentari mengerling melihat senyuman Naren padanya, “Karena kau playboy?”
Naren tertawa, “Hahaha, nope.” Naren melanjutkan kalimatnya “Hei! Besok kau ada acara? Aku ajak kau keliling kota Mulhouse, bagaimana--”
“Aku sibuk.” Sela Mentari lalu pergi meninggalkan Naren.
Naren lalu menyusul Mentari, “Terlalu banyak sendiri tidak baik untuk kesehatanmu,” Mentari berdecak lalu Naren menghentikan langkahnya.