Walau pada pertemuan terakhirnya dengan Naren terasa kurang nyaman dengan sikap Naren, namun Mentari sudah melupakannya. Buktinya sudah beberapa hari ini mereka berdua selalu berkirim kabar lewat pesan singkat di ponselnya masing-masing.
Mentari mengakui dengan adanya Naren, ia jadi merasa bisa berkeluh kesah dengan sikap orang-orang juga makanan di Mulhouse. Memang tak ada yang lebih nyaman disbanding ramah tamahnya orang Indonesia juga bubu rempahnya.
Naren pun sekarang tak merasa kesepian jika Aldric tak pulang ke apartemen mereka, ada Mentari yang bisa menyita waktu luangnya.
Kali ini Naren akan mengajak Mentari untuk ikut dalam perlombaan lari marathon 10k yang memang diselenggarakan oleh pemerintah pusat kota Mulhouse. Rutenya di mulai dari Place de la Reunion dan kembali berkahir disana.
Awalnya Mentari menolak ajakan Naren mentah-mentah. Bagaimana bisa ia menyelesaikan rute lari marathonnya, kalau jalan dari Gare Centrale menuju Quai d’Isly saja sudah membuat betisnya terasa kram. Biar bagaimana pun jalan kaki tak sering ia terapkan ketika masih berada di Indonesia.
Namun entah dengan rayuan apa, Naren akhirnya berhasil membujuk Mentari untuk ikut perlombaan lari tersebut.
Jadi disinilah Mentari dengan wajah pias mengenakan pakaian lari. Pikirannya berkecamuk, ia takut tersandung ditengah jalan dan jadi tontonan orang banyak, atau ia takut disusul oleh seorang lansia yang akan membuat dirinya jadi bahan cemohan.
“Rilex saja,” Naren menenangkan Mentari sambil menyerahkan race packnya.
“Pokoknya aku mau gerak jalan aja! Titik!”
Ketika garis start telah dibuka dan perlombaan dimulai Naren menarik Mentari agar segera berlari dan menyamakan langkahnya. Belum sampai satu kilometer, Mentari sudah merasa lelah. Tak jauh dari sini ia telah melihat pintu keluar rute yang bisa digunakan untuk keadaan darurat.
Mentari terengah-engah, ia berhenti sejenak menormalkan detak jantungnya, Naren yang melihat Mentari berhenti pun ikut berhenti.
“Naren kau duluan saja.” Ucap Mentari pada Naren.
“Kau tak apa aku tinggal?” tanya Naren.
Mentari memberikan kode oke lewat jari tangannya, “Aku sepertinya ingin gerak jalan saja.”
Naren tertawa, “Hahaha, baiklah. Sampai bertemu di garis finish!” ucap Naren meninggalkan Mentari dan kembali melanjutkan rutenya.
Mentari pun menepati ucapannya sampai ia tiba di pintu keluar darurat dengan berjalan kaki.
Disana juga banyak orang-orang yang memotong rute larinya, ya memang kebanyakan adalah yang sudah berusia lanjut tapi Mentari tak peduli, yang ia tahu besok ia butuh pijatan untuk kedua kakinya.
Mentari menunggu Naren di garis finish, sudah ada beberapa orang yang mencapai garis finish. Lima orang tercepat akan mendapat piagam juga hadiah, sedang lima orang lainnya hingga urutan ke sepuluh, hanya mendapat piagam.
Mentari berharap Naren bisa finish di jajaran sepuluh besar, kan lumayan ia bisa numpang berfoto diatas podium dengan piagam Naren. Namun harapannya hilang sudah, baru saja pelari ke sepuluh melewati garis finish dan itu bukan Naren.
Naren tiba di garis finish di urutan ke lima belas, ia terkejut mendapati Mentari yang sudah berdiri didekat garis finish. Dasar curang pikirnya, ia kira Mentari akan tetap menyelesaikan rute larinya namun ternyata ia memilih jalur cepat.
Mentari memamerkan giginya ketika Naren menatapnya dengat tatapan menyelidik.
“Aku pikir gerak jalan 10k akan membutuhkan waktu setengah hari, jadi lebih baik aku menyingkir saja.” Ucap Mentari disusul tawanya, “lagipula aku kan memang bukan atlet, jadi wajar saja.”
Naren hanya bisa mendengus mendengar ucapan Mentari.
Studio foto de Guille sedang sibuk-sibuknya saat ini, pasalnya orderan foto untuk pranikah sedang meningkat. Mengingat banyak pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan di saat musim panas ketika bunga sedang bermekaran. Kebanyakan dari mereka menginginkan foto outdoor di sebuah taman dengan bunga warna-warni di sekelilingnya.
Dalam sehari studio foto de Guille bisa melaksanakan foto pranikah dengan 2 pasang yang berbeda, maka dari itu Rene mebagi seluruh karyawan dalam beberapa tim agar semua jadwal pemotretan bisa terlaksana.
Mentari dan Jessi juga beberapa kali juga ikut kedalam tim yang melaksanakan foto pranikah di luar studio, namun kali ini gantian dirinya yang akan menjaga studio foto de Guille hingga jam operasional berakhir.
Rencananya lusa Mentari akan pergi ke Orleans, ketika akhir pekan tiba. Baru sekarang Mentari dapat melaksanakan pencariannya karena tanggung jawab Mentari pada pemotretan pohon kaktus telah selesai beberapa hari yang lalu sehingga ia tak perlu membutuhkan banyak istirahat di akhir pekan.
Juga saat ini Mentari sudah lebih bisa mengucapkan bahasa perancis dengan dialek yang sesuai setelah setiap hari Jessi selalu mengkoreksi ucapannya.
“Kau jadi pergi ke Orleans? Pamanku sudah menyiapkan kamar kosong untukmu di penginapannya.” ucap Jessi pada Mentrai yang sedang mengurutkan beberapa folder foto di laptopnya.
“Oui, kau tak perlu repot-repot Jessi, aku bisa langsung pulang ke Mulhouse.” Tolak Mentari halus
“Ini hadiah dariku untuk teman baru.” Jessi terkekeh
“Thank you,” Mentari benar-benar berterima kasih kepada Jessi karena sudah banyak membantunya selama ia tiba di Mulhouse.
“Sayang sekali aku tak bisa menemanimu, padahal akan aku ajak kau keliling Orleans tempat masa kecilku dulu.” Ujar Jessi menyesal.