Suatu Ketika Musim Bahagia Milik Kita

Aksan Taqwin Embe
Chapter #1

Musim Pertama

Helena untuk Destina

“Aaahh…, diam. Bodoh kalian!” ucap lo.

Gue nggak tahu harus bilang apa sama lo, selain berterima kasih dan tercengang dengan wajah yang pasi. Sedari gue masuk kelas, seluruh teman baru menertawakan gue. Gue pun tidak tahu apa yang mereka tertawakan pada diri gue. Sejatinya wajah akan mendadak terlihat bodoh jika ditertawakan yang gue sendiri tidak tahu asal muasal keanehan pada diri gue. Menghargai adalah mutlak sikap yang hakiki. Lantas?

“HARGAI TEMAN BARU!” sambung lo dengan nada meninggi.

Sepertinya lo benar-benar kesal dengan situasi semacam itu. Suasana yang riuh, dan saling merundung, memojokkan seseorang dengan cara keroyokan. Keroyokan? Emangnya lagi tasyakuran—makan bareng di kosan? Satu hal yang masih gue tangkap adalah kata “Bodoh”. Lo begitu lugas dan fasih mengatakan kata itu. Duh, mengapa dulu gue hanya diam dan tercengang? Memang, gue sangat terlihat bodoh ketika itu. Karena sikap mereka. Hah...

Kebodohan itu hanya milik orang yang tidak merasa bahwa dirinya salah, padahal salah. Dirinya bodoh, padahal memang dia goblok. Dirinya cinta sama seseorang, namun bersikap jual mahal dan gengsi, akhirnya diembat orang, nyesel. Nyeselnya dipikirin terus, berhari-hari. Kemudian memaki-maki orang yang dicintai, dan orang yang mencintai. Kebodohan yang paling hakiki adalah plagiasi. Banyak sekali di luar sana mengakui karya orang lain menjadi karya miliknya. Kalau mengakui pacar orang lain? Nah ini yang menarik. Kebodohan yang di atas plagiasi. Namun kebodohan ini akan mendadak berubah menjadi pintar jika pacar orang yang diakui itu terwujud menjadi pacar yang sebenarnya. Bagaimana bisa? Bisa saja. Misalnya, pacar seseorang yang lo aku-akui pacar itu tiba-tiba ketahuan selingkuh. Momen yang tepat ketika lo mengakui bahwa dia pacar lo, ia akan mencoba membuka jalan buat lo. Mulus dan lurus banget jalan itu. Lo kenalan, menghibur, jadian. Sesimpel itulah kebodohan.

           Lo akan terlihat bodoh, jika lo tidak merasakan kebahagiaan yang dikirim Tuhan buat lo. Lo rileks aja hidup itu. Santai dan tenang. Ketika lo santai, mikir pun jadi enak. Hati pun jadi redam. Namun kalau lo gelisah, cemas, dan lo merasa bahwa Tuhan tidak memberi lo kebabahagiaan, itu salah. Padahal segala penyakit atau kegilaan pada diri seseorang itu tergantung dirinya sendiri. Jika lo melulu gelisah dan marah ketika tertimpa masalah, pilihannya cuma dua; pasrah dan berdoa atau melamun hingga gila. Ah, ngeri juga kalau sampai gila. Eh, tapi konon, cara praktis menebas atau menunda sakit jiwa adalah dengan dua cara; bercerita atau menulis. Bercerita kepad orang yang lo percaya dong. Kalau masih tidak sanggup, tulis saja. Dengan begitu lo akan perlahan tenang dan bahagia. Apakah lo masih sering cemas dan gelisah, Destina?

Jikalau lo berada di Jakarta pada tahun 2001, lo akan menemui sebuah peristiwa yang menarik dan mengejutkan. Gue yakin lo bakal bahagia. Tapi bahagia ini mutlak tidak bisa lo perdebatkan. Karena setiap orang memiliki pandangan masing-masing. Misalnya sekelompok pengamen yang melantunkan lagu band terbaik di masanya dengan riang, ada badut lalu lalang, bocah-bocah jalanan yang kegirangan ketika ada orang baik mendekat memberikan sebungkus nasi padang. Semua itu bahagia menurut gue, tapi jadi konyol bagi lo. Semua itu kan tergantung bagaimana seseorang berpikir toh. Kalau energi yang lo keluarin positif, sekecil itu akan terlihat bahagia. Namun jika negatif semua itu bakal lo maki-maki atau lo tangisin. Tapi biasanya memaki-maki itu mengarah ke orang yang terkungkung berbagai masalah, terus perlahan akan menjadi sakit jiwa. Mangkanya lo bahagia saja.

Malam minggu. Jakarta sangat indah dengan gemerlap lampunya. Meski macetnya tidak bisa gue ceritakan, lo akan merasai sebuah kehangatan dari apa yang gue ceritakan. Kehangatan di sini lo akan bertemu dengan orang-orang yang merasai kebahagiaan, meninggalkan cerita-cerita bahagia, ya, meski bahagia itu sesaat bagi mereka, gue harap lo bisa merasakan. Bukankah letak kebahagiaan adalah berlapang dada melihat orang merasai kebahagiaan? Memang tidak semua orang bisa merasakan.

Dari kejauhan, sekitar 300 meter dari kampus swasta di Jakarta, ada sekelompok gadis yang sedang tertawa sangat lepas. Kalau di kampung, gadis tertawa lepas dan sampai suaranya terdengar lantang ke mana-mana, pasti akan dimarahin ibunya. Jodohnya jauh, katanya. Nggak baik, masak perempuan tidak menunjukkan tingkah laku yang baik dan santun di depan orang-orang.

Gue beruntung kisah dan kepercayaan itu telah terputus semenjak gue SMA di Jakarta. Bapak gue pindah tugas di kantor pusat yang ada di Jakarta. Naik jabatan, katanya. Tentu saja, gue diboyong dan pindah sekolah. Di SMA itu gue kenal lo, kan? Sewaktu gue masuk sekolah pertamakali, lo adalah orang pertama yang mendekati gue. Lo tidak peduli kondisi gue kayak bagaimana. Kata temen-temen lain penampilan gue najis. Gue bingung, nginjek kotoran kagak, mandi lumpur juga kagak, tapi penampilan gue dikatain najisin. Di situ lo datang seperti peri yang menyelamatkan segala kecemasan gue dari kebodohan mereka. Gue masih inget. Meski lo sedikit ketawa dengan kacamata gue. Tapi gue bersyukur punya teman, meski hanya lo.

“Hei, gue Destina!”

Meski saat itu muka lo sedikit mengejek, tapi gue tetap berpikiran positif, bahwa lo ikhlas menyapa gue. Ibu, bapak gue selalu mengajarkan bagaimana menghadapi seseorang; dengan hati tulus dan lapang dada.

Lihat selengkapnya