Suatu Ketika Musim Bahagia Milik Kita

Aksan Taqwin Embe
Chapter #2

Musim berikutnya

Helena untuk Dito

Jakarta, 2002

Mulanya gue hanya membuka catatan-catatan kecil yang gue tulis beberapa tahun silam. Gue mendadak teringat lo. Lo sangat baik, gue mengira bakal bertahan lama baik sama gue. Sabar menghadapi gue. Ternyata lo mudah menyerah. Yaelah baru saja gue tolak dua kali. Lagian waktu itu kan gue bukan enggak mau menerima lo. Hanya saja gue ingin fokus sekolah dulu. Gue nggak mau ngecewain bapak dan ibu gue. Bukankah dengan gue mengatakan fokus sekolah untuk keberhasilan kita juga bagian gue sayang sama lo? Lo nggak bakal nyadar. Mungkin sekarang nyadar. Atau enggak sama sekali?

Di saat seperti ini gue sedih harus cerita sama siapa. Gue nggak mungkin cerita sama lo. Semenjak gue pindah ke Jakarta kita sudah putus kontak. Tapi sekarang gue inget lo. Apa yang lo ketahui tentang ingatan masa lalu? Gue kangen, lo. Gue nggak peduli lo kangen atau enggak. Kangen adalah rasa terpendam yang menjalar yang sudah tidak ada tempat dan waktu untuk padam. Duh, betapa gue ingin didekatmu. Menggenggam jemariku, dan mencium bau parfum lo. Apakah lo baik-baik saja di sana?

“Lo suka mie baso?”

Ketika itu hujan sangat deras di sekolah. Masih terlalu pagi jika gue harus berkhayal pulang kemudian memasak mie instan, telor ceplok, dan teh hangat, kemudian tidur siang. Gue yakin tak sedikit orang yang akan mengatakan kepada orang yang tidur selesai makan. Termasuk ibu gue, kalau gue lagi mager nih (baca:malas gerak), habis makan terus tidur, pasti bilang  perempuan pemalas. Mau jadi apa kaamu nanti?. Ketika gue cerita ke lo, lo malah tertawa ngakak tak henti-hentinya.

“Enggak. Gue suka mie ayam.”

Ketika gue bilang begitu, lo langsung menyeret tangan gue, mengajak ke kantin sekolah. Iya, waktu istirahat sudah berdenting lima menit yang lalu. Cuaca hari itu benar-benar sangat tidak bersahabat. Bagaimana tidak, pukul 09.50 WIB, ibarat kita, langit seperti menyimpan lebam yang parah. Ditumpahkan melalui airmata. Ah, pagi seperti sore yang sudah lebih dulu menyembunyikan matahari. Dari kejauhan, di sisi kanan gerobak kantin Pak Naryo, lo mengalirkan senyum.

Hujan masih sangat deras. Awan masih terlihat pekat. Bagaimana nasib orang-orang yang bekerja di jalanan, di tempat terbuka? Apakah langkah yang sudah disertai niat dan doa sebelum keluar rumah tiba-tiba hanyut? Ah, tidak. Hujan adalah anugerah. Rejeki bakal datang melalui apa saja. Gue turut serta berdoa agar mereka tetap baik-baik saja.

“Berdoa, lo. Hujan adalah satu dari sekian cara yang tepat untuk meminta kepada Tuhan.”

Lo mengagetkan lamunan gue. Bayangan gue berkelebat ke mana-mana ketika gue melihat riuhnya jalan raya dari kejauhan. Di sudut-sudut halte penuh orang-orang berteduh. Mobil berlalulalang. Adakah rasa gigil yang mereka rasakan sehingga harus melipat kedua tangan kemudian menempelkan ke dada?

“Iya, bapak juga sering berkata demikan sewaktu gue kecil.”

Lo meringis. Lo berlagak seakan-akan lo bapak gue sambil mengelus-elus filtrum sampai ke tepian. Padahal lo tidak memiliki kumis sehelai pun.

“Lo ngledekin bapak gue? Gue bilangin lo!”

Lihat selengkapnya