Subliminal

Lala Novrinda
Chapter #6

Silhouette di Cermin

Imaji tentang dirinya yang sering melamun di depan cermin, mencoba memahami bayangannya sendiri, menciptakan suasana introspektif yang kuat. Cermin tersebut dapat melambangkan perjuangannya dengan identitas diri, konflik antara siapa dirinya yang sebenarnya dengan siapa dirinya yang ingin ia jadikan, serta semakin jauhnya jarak antara dirinya yang terdalam dengan citra yang ia tampilkan kepada dunia.

Tom sering kali mendapati dirinya berada di depan cermin, menatap pantulan dirinya dengan pikiran yang melayang jauh. Wajah yang dilihatnya tidak selalu seperti yang ia kenal. Dalam pandangan itu, ia menyadari, bayangan di depannya mencerminkan lebih dari sekadar penampilannya. Cermin itu, baginya, adalah portal ke dalam jiwa—tempat di mana realitas dan ilusi bertabrakan.

Setiap kali Tom memandang ke dalam cermin, ia merasakan bayangannya menegaskan eksistensinya yang semakin rapuh. Tidak hanya pernikahannya yang terasa di ujung tanduk, tapi jiwanya yang tersesat dalam rutinitas yang ia ciptakan sendiri. Sering kali, ia merenung—seolah bayangannya di cermin mengajaknya untuk berbicara, tapi ia sendiri tidak bisa memahami apa yang hendak dikatakan bayangan itu. Apakah dirinya masih utuh? Apakah dirinya masih seperti yang ia kenal dulu?

Selain itu, Tom juga mulai sering mengalami mimpi-mimpi aneh. Dalam tidurnya, ia seolah terbawa ke padang rumput yang luas dan hijau, di mana angin sepoi-sepoi membelai wajahnya. Lalu, tanpa disadari, mimpi itu berubah drastis. Ia kini berada di padang pasir yang kering dan panas, dengan angin yang membawa butiran pasir menghantam kulitnya. Perubahan lingkungan ini seperti menggambarkan betapa ia merasa terasing dalam kehidupan barunya, seperti dulu, sebelum menikah—ketika ia masih seorang pria yang bebas namun terombang-ambing, mencari makna dalam hidup.

Namun, yang paling mengganggu Tom bukanlah mimpi-mimpi ini, melainkan kenangan masa kecilnya yang tiba-tiba muncul ke permukaan, mengisi pikirannya dengan perasaan campur aduk. Kenangan yang selama ini terkubur jauh dalam alam bawah sadarnya mulai terungkap kembali.

Samar-samar, Tom ingat suatu hari di masa kecilnya. Dalam pikirannya, tergambar sosok seorang Ayah dan Ibu yang tampak sedang menggendong seorang bayi. Wajah mereka tidak jelas—seperti dilapisi kabut tebal—namun tidak sedikitpun Tom merasa asing terhadap mereka. Ada perasaan hangat dan nyaman yang membanjiri hatinya saat ia memandang mereka dari kejauhan, seperti ada keterhubungan emosional yang mendalam, meskipun ia tak benar-benar mengingat detail-detailnya. Mereka adalah orang tuanya—sosok yang pernah memberi Tom perasaan aman dan cinta di awal kehidupannya.

Namun, seiring waktu, kenangan itu berubah menjadi sesuatu yang suram. Ibu yang menggendong bayi itu, tiba-tiba saja terbaring lemas dan tak berdaya. Wajahnya yang awalnya hangat kini tampak pucat dan tak bernyawa. Di sebelahnya, sang Ayah menangis. Tangisnya terdengar lirih namun penuh kepedihan. Ayahnya, sambil memegang bayi itu dengan satu tangan, berusaha menyeimbangkan tubuh kecil itu di lengannya, sementara tangan yang lain gemetar, mencoba memeluk istrinya yang sudah tidak berdaya lagi. Gambaran ini menghantui Tom, seolah menyiratkan perasaan kehilangan yang dalam dan duka yang tak terucapkan.

Tom ingat bahwa momen itu meninggalkan luka yang tak pernah sembuh sepenuhnya. Setelah kehilangan sang Ibu, ia merasa bahwa hubungan dengan Ayahnya tak pernah sama lagi. Ada jarak yang tumbuh di antara mereka, sebuah dinding yang tak terlihat namun sangat nyata. Ayahnya berubah menjadi sosok yang dingin, penuh beban dan rasa kesepian, dan Tom, sebagai anak kecil, hanya bisa merasa bingung dan terluka.

Satu kenangan lain yang terus menghantui Tom adalah saat ia bermain bola di halaman rumah. Dengan penuh semangat, ia menendang bola sejauh mungkin, namun bola itu malah mengenai tubuh Ayahnya dari belakang. Saat itu, Ayahnya sedang berbicara dengan beberapa kerabat. Alih-alih menangkap bola dengan elegan, Ayahnya justru mengamuk. Amukan Ayahnya membuat Tom takut dan bingung. Bola itu memang tak sengaja mengenai pakaian Ayahnya, tetapi respons yang diberikan begitu berlebihan. Ayahnya berteriak, memarahi Tom dengan suara keras, membuat hati kecilnya retak. Tom ingat, ia menangis, namun di dalam tangisannya itu, ia mengepalkan tangan—sebuah tanda bahwa ia menyimpan perasaan terluka yang dalam, yang tidak bisa ia lepaskan.

Malamnya, Tom teringat samar-samar bahwa Ibunya mendatanginya. Dalam bayangannya yang setengah sadar, ia melihat sosok Ibunya duduk di tepi tempat tidurnya, mengelus wajahnya dengan lembut. Kehangatan sentuhan itu begitu nyata, seolah memberikan rasa nyaman yang sudah lama hilang. Namun, saat Tom membuka matanya, sosok itu menghilang. Ia tidak tahu apakah itu mimpi atau kenyataan, tetapi sejak saat itu, perasaan kehilangan yang begitu dalam mulai mengendap dalam dirinya.

Kenangan masa kecil Tom adalah cermin lain yang menunjukkan betapa rumitnya perasaan dan trauma yang ia bawa sepanjang hidupnya. Kehilangan Ibunya di usia muda, dan hubungan yang jauh dengan Ayahnya, membentuk fondasi emosional yang rapuh dalam dirinya. Kehidupan pernikahan yang tampak bahagia di luar hanyalah lapisan tipis yang menutupi luka-luka lama yang belum sembuh.

Ketika Tom memandang dirinya di cermin, ia tidak hanya melihat seorang pria dewasa yang sedang bergumul dengan pernikahannya, tetapi juga seorang anak kecil yang pernah terluka, seorang anak yang kehilangan cinta dan keamanan di awal kehidupannya. Pandangan itu semakin menekannya—membuatnya mempertanyakan segala sesuatu dalam hidupnya. Apakah dia bisa menjadi suami yang baik? Apakah dia bisa mencintai Nina dengan tulus, ataukah masa lalu yang menghantuinya akan terus merongrongnya?

Lihat selengkapnya