Subliminal

Lala Novrinda
Chapter #9

Fase Baru

Ruangan sidang terasa begitu dingin dan sunyi, seolah membeku di tengah atmosfir penuh ketegangan. Nina duduk di kursi penggugat, dengan raut wajah yang tak bisa menyembunyikan kepedihan. Di sampingnya, seorang pengacara siap membela hak-haknya, sementara Tom duduk di sisi lain, juga didampingi oleh kuasa hukumnya. Wajah Tom tampak kosong, seakan sudah menerima kenyataan pahit yang akan segera datang.

Setelah dua tahun berumah tangga, Nina dan Tom kini harus menghadapi kenyataan pahit bahwa pernikahan mereka akan segera berakhir. Semua rasa yang dulu mereka bangun kini tersapu oleh badai perselingkuhan yang menghancurkan segalanya.

Puncak dari semua itu terjadi saat Maya, dengan penuh keberanian, datang ke rumah Tom. Maya berdiri di depan pintu rumah mereka, dan tanpa ragu, menceritakan seluruh kisah hubungan terlarang antara dirinya dan Tom kepada Nina. Setiap detil, setiap kebohongan, setiap pengkhianatan yang selama ini tersembunyi—semua diceritakan dengan gamblang.

Nina terdiam kala mendengarnya. Air matanya mengalir pelan, tetapi tidak disertai kemarahan yang meledak-ledak. Sebaliknya, ada kebisuan yang menyayat hati, seakan ia sudah lama mencurigai kebenaran ini namun tidak pernah memiliki keberanian untuk menghadapinya. Maya, dengan dingin, menyampaikan pengakuannya tanpa ragu, seolah ingin memastikan bahwa Tom tidak lagi punya tempat untuk bersembunyi.

Kini, di ruang sidang, tak ada lagi yang bisa diperbaiki. Perkawinan yang dulu mereka jalani dengan harapan dan cinta, kini hancur tak bersisa. Tom merasa berat, tidak hanya karena perpisahan dengan Nina, tetapi juga karena ia harus menghadapi konsekuensi dari semua tindakannya. Maya, yang dulu menjadi pelarian, kini telah menjadi penyebab kehancuran dalam hidupnya. Pengadilan perceraian ini hanyalah formalitas, namun dampaknya akan bertahan lama di hati keduanya.

Tragedi itu datang seperti badai yang menghancurkan segalanya. Setelah kedatangan Maya ke rumah mereka, dunia Nina dan Tom yang sudah rapuh runtuh sepenuhnya. Anak yang dikandung Nina, yang sudah berusia sembilan bulan, meninggal dalam kandungan akibat tekanan emosional yang luar biasa. Kehilangan itu adalah pukulan yang tidak tertanggungkan bagi mereka berdua.

Tom, yang diliputi rasa bersalah dan duka, sempat berniat membawa masalah itu ke ranah hukum. Kemarahan yang menggelegak dalam dirinya ingin mencari keadilan atas kehilangan anaknya. Namun, di tengah rasa sakit yang mendalam, Nina tetap menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Dia menahan Tom dari membuat keputusan impulsif yang mungkin akan menghancurkan lebih banyak lagi hidup mereka. Baginya, perpecahan yang telah terjadi sudah lebih dari cukup, dan menambah konflik hanya akan memperpanjang penderitaan.

Nina memilih jalan pengampunan, bukan untuk Tom, dan terlebih bukan untuk Maya, tapi untuk dirinya sendiri. Ia tahu, jika terus membiarkan amarah menguasainya, ia tak akan pernah bisa menemukan kedamaian.

Maya, di sisi lain, tidak lagi mampu menghadapi situasi yang semakin memburuk. Rasa bersalah, meski mungkin tak diakui secara terbuka, tampak dalam tindakannya. Tekanan dari lingkungan kerja dan rasa malu yang terus menghantuinya membuat Maya akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan tempat ia bekerja bersama Tom. Meninggalkan pekerjaan itu mungkin adalah salah satu cara untuk melarikan diri dari kekacauan yang ia ciptakan, tetapi tidak ada pelarian dari kenyataan yang sudah terjadi.

Bagi Tom, ini adalah akhir dari segalanya—keluarga yang hilang, karier yang terganggu, dan kehormatan yang ternoda. Tetapi bagi Nina, meski terluka parah, dia mencoba melihat ke depan, berharap waktu akan menyembuhkan luka-luka itu, dan kehidupan baru, walau berat, bisa ia mulai dari awal.

Tom akhirnya menyadari bahwa keterasingan adalah satu-satunya cara baginya untuk menemukan kedamaian yang hilang. Segala hal yang telah terjadi, dari perselingkuhannya dengan Maya hingga kehilangan anaknya, membentuk luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan dengan cepat. Ia merasa seperti orang asing di tengah hidupnya sendiri, terasing dari cinta, keluarga, dan bahkan dirinya sendiri.

Dalam keheningan, Tom mulai mencari makna di balik segala kehancuran yang dialaminya. Setiap detik yang ia habiskan dalam perenungan membuatnya semakin sadar bahwa ia tidak bisa lagi melanjutkan hidup seperti sebelumnya. Ia harus menemukan jalannya kembali—bukan dengan mencari pengampunan dari orang lain, tetapi dengan mengampuni dirinya sendiri.

Mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia yang selama ini membuatnya terjebak adalah keputusan yang ia anggap paling bijaksana. Dalam keheningan dan keterasingan, Tom berharap bisa menemukan kembali esensi dirinya, membangun hidup baru yang lebih damai, meski harus dimulai dari awal yang penuh luka.

Setiap langkah yang diambilnya kini bukan untuk kembali ke kehidupan lama, tetapi untuk mencari jalan yang lebih bermakna—jalan yang tak lagi dihantui oleh masa lalu. Dalam keterasingan ini, Tom berharap bisa bangkit dan memulai babak baru kehidupannya, dengan penuh kesadaran akan kesalahan dan kelemahannya, serta dengan harapan yang samar-samar akan masa depan yang lebih baik.

Harga yang Harus Dibayar

Tom berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya yang kini terasa asing. Waktu telah berlalu sejak perceraian dengan Nina, namun beban yang ia bawa tetap terasa berat. Ada harga yang harus dibayar untuk setiap kesalahan yang ia perbuat, dan ia menyadari, inilah saatnya ia menanggung konsekuensi dari semua itu.

Di kamar apartemennya yang sunyi, Tom merasakan kehampaan lebih dalam dari sebelumnya. Tidak ada lagi Nina, tidak ada lagi rumah yang hangat, tidak ada lagi kehidupan yang teratur. Semua itu hilang bersamaan dengan runtuhnya pernikahannya. Tapi harga terbesar yang harus ia bayar bukanlah kehilangan materi atau kenyamanan—melainkan rasa bersalah yang terus menghantuinya, terutama sejak anak mereka tak sempat lahir ke dunia.

Kematian anaknya menjadi luka yang paling dalam. Setiap kali ia mengingat saat-saat itu, perasaan bersalah membelenggunya, mengingatkan Tom bahwa pengkhianatannya tak hanya menghancurkan hubungan dengan Nina, tetapi juga mengorbankan kehidupan yang seharusnya bisa ia lindungi. Tom sadar, inilah harga yang tidak pernah bisa ia bayar lunas, tidak peduli seberapa keras ia berusaha.

Maya, yang dulu pernah menjadi sumber hasrat dan pelarian dari kebosanan hidupnya, kini juga menjadi bayang-bayang kelam dalam perjalanan hidup Tom. Dia memilih mundur dari pekerjaannya, dan Tom tidak pernah lagi mendengar kabarnya setelah itu. Mereka berdua, yang pernah terlibat dalam hubungan penuh gairah, kini hanyalah dua orang yang terpisah oleh kesalahan besar. Maya pun membayar harganya, kehilangan karier dan mungkin sebagian dari dirinya dalam proses itu.

Tom mulai merasa bahwa kebahagiaan yang pernah ia kejar dengan sembrono kini menuntut balasannya. Kebebasan yang dulu ia anggap sebagai hak, kini berbalik menjadi belenggu yang membatasi ruang geraknya. Dalam rasa bersalahnya, Tom menyadari bahwa ia harus mulai menata ulang hidupnya, bukan lagi dengan ambisi buta, tetapi dengan kehati-hatian.

Masa-masa keterasingannya mengajarinya satu hal: ada harga untuk setiap langkah yang ia ambil, dan tidak semua harga bisa dibayar dengan uang atau permintaan maaf. Beberapa luka terlalu dalam, beberapa kesalahan terlalu besar. Tapi meskipun begitu, Tom tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah belajar dari rasa sakit, dan memastikan bahwa harga yang harus ia bayar kali ini tidak sia-sia.

Dalam tiga tahun yang tenang dan penuh perenungan itu, Tom berhasil meniti jalan spiritual yang selama ini terasa asing baginya. Setiap harinya, ia mulai dengan doa dan meditasi, membiarkan kesunyian menjadi teman setianya. Ia tidak lagi tergoda untuk mencari kebahagiaan di luar dirinya; sebaliknya, ia berusaha menemukan kedamaian dalam batinnya yang selama ini terlupakan.

Tom menyadari bahwa perjalanan spiritual ini tidaklah mudah, tetapi ia berkomitmen untuk memperbaiki dirinya lahir dan batin. Dia menolak semua godaan dan kesempatan untuk mendekatkan diri dengan orang lain, bahkan ketika ada yang berusaha masuk ke dalam kehidupannya. Baginya, kedekatan emosional adalah hal yang perlu disikapi dengan bijak, dan dia belum siap untuk mengulangi kesalahan masa lalu.

Selama tiga tahun itu, Tom hidup dalam ketenangan yang solid. Rutinitas yang sederhana menjadi pelipur lara bagi hatinya yang penuh dengan luka. Ia mendalami makna kesendirian, tetapi bukan dalam arti kesepian. Kesendirian itu justru memberinya ruang untuk benar-benar merenungi hidupnya—mengapa ia jatuh, mengapa ia terluka, dan bagaimana ia bisa bangkit kembali.

Kedekatannya dengan Tuhan pun semakin mendalam. Setiap langkah yang ia ambil selalu didasarkan pada nilai-nilai yang ia pelajari melalui doa dan perenungan. Ia merasa lebih kuat, lebih stabil, dan lebih memahami makna hidup yang sejati. Tom tak lagi merasa perlu membuktikan dirinya di hadapan dunia; ia hanya ingin membuktikan bahwa dirinya mampu berubah, menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Dengan setiap tahun yang berlalu, Tom merasakan proses penyembuhan yang lambat namun pasti. Beban rasa bersalah dan penyesalan mulai memudar, digantikan oleh rasa damai yang mengisi relung hatinya. Ia mulai menerima bahwa segala yang telah terjadi adalah bagian dari perjalanan hidupnya, dan meskipun menyakitkan, itu adalah pelajaran berharga yang telah membentuknya menjadi pria yang lebih bijaksana.

Tom tidak berusaha mencari validasi dari orang lain. Ia tidak lagi mengejar kesempurnaan yang hanya tampak di permukaan. Sebaliknya, ia fokus pada perbaikan dirinya, memastikan bahwa apa yang ia bangun sekarang akan berdiri kokoh meskipun angin badai kehidupan kembali datang. Dalam keheningan perjalanannya ini, Tom belajar bahwa kedamaian sejati hanya bisa ditemukan ketika ia berdamai dengan dirinya sendiri.

Tom semakin yakin bahwa dalam perjalanan hidup ini, setiap orang membutuhkan waktu jeda—sebuah momen untuk berhenti, merenung, dan menemukan kembali jati diri. Namun, ia juga menyadari bahwa tidak semua orang diberi kesempatan atau fasilitas untuk mengambil jeda tersebut. Kehidupan seringkali bergerak begitu cepat, penuh tuntutan dan ekspektasi, sehingga banyak orang terjebak dalam rutinitas tanpa pernah benar-benar memahami diri mereka sendiri.

Menurut Tom, menjadi dewasa bukanlah sekadar proses pertumbuhan fisik atau usia yang bertambah, melainkan sebuah pilihan yang hanya sedikit orang mampu atau mau mengoptimalkan. Banyak yang mengira bahwa kedewasaan datang dengan sendirinya, namun Tom memahami bahwa tidak semua orang mencapai tingkat kedewasaan sejati, bahkan setelah melalui berbagai fase kehidupan. Menjadi dewasa berarti menghadapi kenyataan dengan jujur, bahkan ketika kenyataan itu menyakitkan, dan menerima tanggung jawab penuh atas setiap keputusan dan tindakan yang diambil.

Dia pun merenung, meskipun seseorang dilahirkan kembali dengan kesempatan baru, tetap tidak ada jaminan bahwa ia akan menjadi lebih dewasa dari sebelumnya. Kedewasaan, menurut Tom, bukan hanya soal pengalaman, melainkan soal keberanian untuk jujur terhadap diri sendiri. Dan kejujuran itu seringkali menjadi hal yang paling sulit dicapai. Banyak orang menghindari kenyataan hidup mereka, menyembunyikan kebenaran di balik topeng keberhasilan atau kebahagiaan semu. Namun, tanpa kejujuran terhadap diri sendiri, hidup akan selalu terasa hampa, meski di luarnya tampak sempurna.

Tom bertanya dalam hatinya, "Sanggupkah seseorang benar-benar menjadi jujur terhadap dirinya sendiri?" Kejujuran ini menuntut seseorang untuk mengakui kelemahan, rasa takut, dan kegagalan yang sering kali disembunyikan dari pandangan dunia. Tidak semua orang mampu menghadapi bayangan diri yang sejati, karena itu memerlukan keberanian yang luar biasa. Bagi Tom, momen jeda dalam hidupnya adalah saat di mana ia mulai belajar untuk jujur, untuk menghadapi setiap sisi dirinya—yang baik maupun yang buruk—tanpa bersembunyi.

Dalam proses perenungan itu, Tom menyadari bahwa kedewasaan adalah perjalanan yang terus-menerus, bukan tujuan akhir. Ini tentang menerima diri sendiri sepenuhnya dan menjalani hidup dengan integritas, terlepas dari apakah dunia menerima atau menolak kita.

Di tengah kesibukan pekerjaan, Tom menemukan kembali ketenangan dalam rutinitas yang pernah ia nikmati saat masih bujangan—membaca buku dan menonton film. Kegiatan ini tidak hanya menjadi pelarian dari hiruk-pikuk kehidupan, tetapi juga membuka pintu bagi Tom untuk melakukan refleksi yang lebih dalam. Melalui cerita-cerita yang ia baca dan film-film yang ia tonton, ia mulai mengaitkan pengalaman hidupnya dengan tema-tema yang ia temui: kehilangan, cinta, penyesalan, dan pertumbuhan.

Dalam momen-momen hening itu, Tom mulai menyadari satu hal yang telah lama ia abaikan—bahwa dirinya belum sepenuhnya "selesai" dengan masa lalunya. Selama ini, ia terus berusaha untuk memenuhi ekspektasi orang lain, masuk ke dalam hubungan tanpa benar-benar memahami apa yang ia inginkan. Ia menyadari bahwa kebutuhan akan hubungan, baik sebagai suami atau pasangan, bukanlah sesuatu yang benar-benar ia butuhkan pada saat itu, melainkan dorongan yang ia rasakan dari keinginan untuk menutupi kekosongan yang ia belum pahami sepenuhnya.

Tom akhirnya menerima kenyataan bahwa perasaan yang ia alami—baik dalam cinta, kerinduan, maupun rasa sakit—banyak terkait dengan inner child-nya yang selama ini terpendam. Inner child ini menyimpan luka dan ketidakpuasan yang belum teratasi, yang membentuk caranya menjalani kehidupan dewasa. Ia menyadari bahwa apa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir bukanlah sekadar masalah hubungan yang retak atau karier yang melambung, tetapi lebih kepada bagaimana ia belum benar-benar menghadapi diri sendiri. Tom menyadari bahwa banyak keputusan yang ia buat selama ini didorong oleh keinginan untuk memenuhi sesuatu yang kosong di dalam dirinya, tanpa benar-benar memahami apa yang dibutuhkan untuk mengisi kekosongan itu.

Namun, Tom juga mengerti bahwa tidak semua orang berani jujur pada diri sendiri. Mengakui bahwa ada luka masa lalu yang belum sembuh dan menghadapinya dengan terbuka adalah tindakan yang berat. Banyak orang memilih untuk menghindari kebenaran, karena harga yang harus dibayar sangat mahal—baik secara emosional, mental, maupun spiritual. Dan Tom kini menyadari bahwa dalam setiap aspek kehidupan, ada harga yang harus dibayar. Setiap kebahagiaan, setiap pencapaian, dan setiap kegagalan memiliki ongkosnya masing-masing, dan tidak semua orang bersedia membayar harga itu.

Tetapi Tom, di fase hidupnya saat ini, bertekad untuk membayar segala ongkos tersebut. Ia tahu bahwa proses ini tidak akan mudah, namun ia telah mengambil langkah pertama—berdamai dengan masa lalunya, menerima kesalahan yang telah ia buat, dan mulai menjalani hidup dengan kejujuran yang baru.

Teman - teman Baru

Tanpa Tom sadari, buku-buku yang ia baca, film-film yang ia nikmati, dan kehadiran Lena mulai membentuk lingkaran baru dalam hidupnya. Mereka menjadi teman-teman yang setia, yang tak pernah menuntut apapun darinya. Buku-buku memberikan wawasan, pelajaran, dan pemahaman mendalam tentang kehidupan, seolah-olah setiap lembar yang ia baca membawanya pada perjalanan baru, sementara film-film memberikan perspektif visual tentang dunia dan emosi yang terkadang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Di sisi lain, Lena, dengan caranya yang sederhana dan bijaksana, menawarkan kebersamaan tanpa tekanan. Dia tak pernah memaksakan apapun pada Tom, tapi selalu ada di sana untuk mendengarkan atau berdiskusi. Lena seperti sebuah cerminan dari dirinya, seseorang yang hidup tanpa beban ekspektasi, yang menerima kehidupan sebagaimana adanya.

Perlahan tapi pasti, Tom mulai merasa bahwa ia tidak lagi sendiri. Semua ini—buku-buku, film-film, dan Lena—adalah teman-teman yang, meski berbeda wujud, memiliki peran yang sama: menemani Tom melalui fase baru hidupnya, memberi ruang untuk tumbuh, dan membantu Tom menemukan kembali bagian dirinya yang hilang.

Lena adalah sosok yang penuh semangat, ceria, dan memiliki kemandirian yang memikat. Di usianya yang enam tahun lebih muda dari Tom, ia memiliki visi yang jelas tentang hidupnya: berkeliling dunia di usia muda, menjelajah setiap sudut bumi sendirian tanpa merasa takut atau terbebani. Kemandirian ini bukanlah hal yang umum ditemui, terutama di usia yang masih muda, namun Lena seolah tak terikat pada norma-norma itu.

Ketika bersama Tom, perbedaan usia mereka seakan menguap. Mereka menjadi sepasang teman yang selalu menemukan kesenangan dalam setiap diskusi. Dari membedah halaman demi halaman buku, hingga menganalisis adegan-adegan film, mereka menciptakan ruang diskusi yang mendalam namun santai. Lena tidak hanya berbagi kesukaannya terhadap karya sastra dan film, namun juga memancarkan energi positif yang memberi Tom perspektif baru dalam menjalani hidup.

Kadang-kadang, mereka mengambil inisiatif untuk membuat review film bersama, secara mandiri, tanpa harapan apa pun selain kepuasan pribadi. Mereka memilih film yang beragam—dari film indie hingga blockbuster besar—dan mengulasnya dengan sudut pandang unik yang terbentuk dari kepribadian mereka yang berbeda namun sejalan.

Lena mengingatkan Tom bahwa hidup bisa dijalani dengan lebih ringan, lebih spontan, dan penuh petualangan. Bagi Tom, Lena adalah sosok yang menyegarkan dan membangkitkan semangat, meski ia tidak menyadari dampak yang ia berikan pada Lena sendiri. Lena tumbuh dalam lingkungan kota yang modern, dikelilingi oleh kesempatan dan kemudahan. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, yang tidak hanya mendukungnya dengan stabilitas finansial, tetapi juga memberikan pendidikan yang solid sejak kecil. Lena dibesarkan dengan perhatian penuh, menjadikan ia bintang bersinar baik di dalam keluarganya maupun di lingkungannya.

Di sekolah, Lena bukan hanya murid yang cerdas, tetapi juga sosok yang menonjol di antara teman-temannya. Ia selalu menjadi pusat perhatian, baik dalam akademik maupun kegiatan ekstrakurikuler. Orang tuanya sangat bangga dengan pencapaiannya, dan teman-temannya mengaguminya karena sikap cerianya, kemampuannya untuk selalu berpikir terbuka, dan kegigihannya dalam mencapai apa yang ia inginkan.

Lingkungan yang mendukung ini membentuk kepribadian Lena yang mandiri, percaya diri, dan penuh inisiatif. Meskipun begitu, ia tidak pernah bersikap sombong atau merasa lebih unggul. Justru, ia selalu berusaha bersikap rendah hati dan selalu siap membantu orang lain. Lena dikenal sebagai seseorang yang dapat diandalkan, baik oleh teman-temannya maupun keluarganya.

Di balik semua kemewahan dan keistimewaan yang dimiliki, Lena tetap merasa bahwa hidupnya belum lengkap tanpa petualangan dan pengalaman pribadi yang lebih mendalam. Itu sebabnya, meskipun berasal dari latar belakang yang nyaman, Lena selalu mencari cara untuk menjelajahi dunia di luar zona nyamannya. Hobi membaca, menonton film, dan mengulasnya adalah bentuk dari pencarian Lena akan makna hidup yang lebih besar.

Lena pernah menjalani fase hidup sebagai seorang "budak korporat," seperti banyak orang seumurannya yang terjun ke dunia kerja formal. Dia merasakan ritme kehidupan kantoran dengan segala tuntutan, tekanan, dan aturan yang membentuk keseharian seorang pekerja. Meskipun awalnya Lena tertarik dengan stabilitas dan jenjang karier di dunia korporat, perlahan ia mulai merasa jiwanya terkekang.

Jiwa Lena yang sosial dan dermawan tidak sejalan dengan lingkungan yang serba materialistis dan berorientasi pada keuntungan semata. Baginya, bekerja tidak seharusnya hanya tentang menghasilkan uang atau mencapai kesuksesan pribadi. Dia selalu mencari arti yang lebih mendalam dalam setiap hal yang ia lakukan, sesuatu yang bermanfaat bukan hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain.

Lihat selengkapnya