Subliminal

Lala Novrinda
Chapter #10

Lukisan di Langit

Tom tiba di kota lain, udara malam terasa dingin, dan suasana yang ramai di event itu membuatnya merasa lebih tenang. Setelah serangkaian rutinitas yang melelahkan, kesempatan untuk berada di luar kota memberikan ruang bagi Tom untuk merenung. Dia menyadari betapa beratnya beban yang telah dia pikul selama ini—bukan hanya dalam pekerjaan, tetapi juga dalam kehidupan pribadinya. Saat itu, Tom tidak tahu bahwa pertemuan yang sangat mengubah segalanya sedang menunggunya.

Begitu dia memasuki venue acara, dia melihat sekeliling. Orang-orang sibuk berbincang, beberapa menikmati seni yang dipamerkan, sementara yang lain tampak terlibat dalam diskusi yang serius. Tom mendekat ke salah satu stand yang menampilkan karya seni kontemporer. Tatapannya terpaku pada sebuah lukisan yang menggambarkan langit luas dengan nuansa biru pekat dan awan putih yang perlahan memudar di kejauhan. Sesuatu tentang lukisan itu menarik hatinya, seakan menyentuh sisi dalam dirinya yang paling tersembunyi.

Tiba-tiba, di sudut matanya, Tom menangkap sosok yang sangat dikenalnya—seseorang yang sudah lama tak ia temui, namun selalu berada di dalam pikirannya. Anna. Tom merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Dia ragu sejenak, tidak yakin apakah seharusnya ia mendekati wanita itu atau membiarkannya pergi begitu saja. Tapi, sebelum sempat berpikir lebih jauh, langkah kakinya sudah membawanya lebih dekat.

“Anna?” sapanya, suaranya sedikit bergetar.

Anna, yang sedang memperhatikan sebuah patung abstrak, menoleh dengan perlahan. Mata mereka bertemu, dan seketika itu, waktu seolah berhenti. Senyum tipis muncul di wajah Anna, meski ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Wajahnya tidak secerah dulu—ada bayang-bayang kesedihan yang tak bisa disembunyikan.

“Tom? Aku nggak menyangka bisa ketemu kamu di sini,” jawab Anna dengan suara yang sedikit bergetar, namun tulus. Dia merasa sedikit gugup, tetapi ada perasaan nyaman yang menyelimutinya saat melihat Tom. Seperti ada sesuatu yang hilang, namun kini kembali ditemukan.

Tom, yang tak ingin menahan diri lebih lama, dengan lembut menarik Anna ke dalam pelukannya. Pelukan itu terasa berbeda—lebih dalam, lebih berat, seolah-olah ada perasaan yang sudah lama tersimpan di antara mereka. Ketika Anna membalas pelukan itu, Tom merasakan seluruh emosi yang pernah ia rasakan terhadap Anna kembali mengalir, sekalipun ia sadar bahwa banyak hal telah berubah.

“Aku senang bisa ketemu kamu lagi, Anna,” ucap Tom sambil melepaskan pelukan mereka. Dia memandangi wajah Anna yang kini terlihat lebih tenang. Namun, tetap saja, Tom bisa melihat bahwa sesuatu sedang mengganjal hati Anna.

“Aku juga senang,” jawab Anna, suaranya lembut. “Banyak hal yang sudah terjadi, Tom. Aku… Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

Mereka memutuskan untuk pindah ke sudut ruangan yang lebih sepi, jauh dari keramaian. Setelah duduk, Anna mulai menceritakan apa yang telah terjadi dalam hidupnya. Tom mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia selalu tahu bahwa Anna adalah seseorang yang kuat dan mandiri, tapi sekarang, melihat wajahnya yang murung, dia sadar bahwa Anna sedang menghadapi salah satu masa terberat dalam hidupnya.

“Aku sedang dalam proses perceraian, Tom,” ucap Anna dengan nada datar, namun sarat emosi. “Hubungan kami sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Aku… merasa tersesat.”

Tom terdiam sesaat, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Anna. Meski ia tak terkejut mendengar kabar itu, ada perasaan berat yang mengisi dadanya. Ia tahu betapa besar pengorbanan yang pernah dilakukan Anna demi hubungan itu. Namun, mendengar bahwa semua itu tidak berakhir baik membuat Tom merasa tergerak. Ia ingin membantu, meski ia sadar tak banyak yang bisa ia lakukan.

“Aku… sangat menyesal mendengarnya, Anna,” ucap Tom perlahan. “Apa yang terjadi? Maksudku, apa yang membuat semuanya berakhir seperti ini?”

Anna menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kami berbeda, Tom. Aku pikir perbedaan itu bisa diatasi, tapi semakin lama, aku semakin sadar bahwa kami sebenarnya tidak pernah benar-benar saling memahami. Hubungan kami penuh dengan konflik yang tidak kunjung selesai.”

Mendengarkan cerita Anna, Tom merasa ada cerminan dirinya sendiri di sana. Konflik batin yang Anna hadapi mengingatkannya pada masa-masa sulit dalam hidupnya, di mana ia juga merasa terjebak dalam hubungan yang tak bisa ia pahami sepenuhnya.

“Aku merasa hancur, Tom,” lanjut Anna, suaranya mulai bergetar. “Dan saat itulah aku sadar… aku belum pernah benar-benar pulih dari semuanya, termasuk dari… perasaan yang pernah kita miliki dulu.”

Kalimat terakhir itu membuat Tom terhenyak. Ia menatap Anna dalam diam, mencoba memahami apa yang sedang ia rasakan. Di satu sisi, ia sudah lama menganggap hubungan mereka sebagai sesuatu yang sudah berlalu. Tapi di sisi lain, mendengar pengakuan ini dari Anna membuat perasaan lama yang terpendam kembali menguat.

“Aku tidak pernah berhenti memikirkanmu, Tom,” tambah Anna dengan lirih. “Ada bagian dari diriku yang selalu merasa kehilanganmu, meskipun aku berusaha keras untuk melupakannya.”

Tom menarik napas dalam-dalam. “Anna, aku juga… sering memikirkanmu. Tapi hidupku sudah berubah sekarang. Aku sudah menikah dengan Lena, dan aku punya anak-anak. Meskipun ada perasaan yang tidak bisa kuabaikan, aku harus jujur bahwa hidupku sudah berbeda.”

Anna tersenyum tipis, meski jelas hatinya sedang berperang. “Aku tahu, Tom. Aku tidak ingin merusak hidupmu. Aku hanya ingin jujur tentang apa yang kurasakan. Aku kira, mungkin dengan menceritakan semuanya, aku bisa menemukan sedikit kedamaian.”

Mereka berbincang lebih lama, saling berbagi cerita, mengingat masa-masa dulu saat mereka bersama. Seperti perjalanan melalui kabut, semakin jauh mereka melangkah, semakin jelas jejak-jejak yang mereka tinggalkan di masa lalu. Meskipun perasaan itu masih ada, keduanya tahu bahwa banyak hal sudah berubah. Mereka berdua punya pilihan untuk mengambil arah yang berbeda, tapi tidak ada yang melakukannya.

Ketika akhirnya malam itu berakhir, Tom merasa bahwa pertemuan ini adalah bagian dari proses penerimaannya terhadap apa yang telah berlalu. Anna, meskipun masih terluka, menemukan sedikit ketenangan setelah akhirnya jujur tentang perasaannya.

“Kita harus berpisah lagi, kan?” tanya Anna dengan senyum tipis saat mereka berdiri untuk pergi.

“Ya, mungkin begitu,” jawab Tom dengan nada pelan. “Tapi kali ini, kita lebih tahu apa yang kita inginkan dan butuhkan.”

Anna mengangguk pelan, lalu perlahan berjalan menjauh. Tom menatap punggungnya yang semakin menjauh, merasa bahwa ini adalah perpisahan yang jauh lebih mendalam daripada yang pernah mereka alami sebelumnya. Namun, di dalam hatinya, Tom merasa damai. Perasaannya terhadap Anna sudah diberi ruang, sudah dibicarakan, dan sekarang, ia bisa melanjutkan hidupnya tanpa beban.

Saat Tom kembali ke hotel tempat ia menginap, ia merenung tentang bagaimana kehidupan terus bergerak maju, membawa kita melalui berbagai fase. Pertemuan dengan Anna kali ini mengajarkannya bahwa perpisahan bukanlah akhir dari segalanya. Kadang-kadang, hal-hal yang hilang dari hidup kita tidak benar-benar pergi—mereka hanya berubah bentuk, menjadi bagian dari diri kita yang tak terpisahkan.

Tom menatap keluar jendela, memandang langit malam yang luas, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa segala sesuatu berada pada tempatnya. Lukisan di langit itu, dengan segala keindahannya, adalah simbol perjalanan hidupnya—penuh dengan liku, tetapi selalu ada ruang untuk merenung, menerima, dan akhirnya melangkah maju.

Di bawah Langit yang Penuh Bintang

Lihat selengkapnya