Setelah pertemuan yang penuh emosi antara Tom dan Anna, sebuah peristiwa tak terduga terjadi. Tanpa banyak bicara, Anna memberikan sebuah jurnal kepada Tom, seolah itu adalah pesan terakhir yang ingin ia sampaikan tanpa kata-kata. Tom, yang pada awalnya tak memahami sepenuhnya maksud Anna, menerima jurnal itu dengan perasaan campur aduk.
Sesampainya di rumah, Tom membuka halaman pertama jurnal tersebut. Di sana, tulisan tangan Anna yang anggun namun tegas menghiasi lembaran-lembaran kertas, penuh dengan cerita, pemikiran, dan perasaan yang pernah ia rasakan sepanjang hidupnya. Jurnal itu bukan hanya tentang Anna, melainkan tentang perjalanan hidup mereka berdua yang terukir tanpa disadari oleh Tom.
Seiring Tom membaca setiap halaman, ia mulai menyadari bahwa jurnal itu memuat lebih dari sekadar kenangan masa lalu. Itu adalah kumpulan refleksi Anna tentang cinta, kehilangan, dan pilihan hidup yang sulit. Melalui tulisan Anna, Tom menemukan hal-hal yang selama ini tidak pernah ia ketahui—tentang bagaimana perasaan Anna yang sesungguhnya, tentang pengorbanannya, dan tentang perjalanannya untuk menerima kenyataan hidup.
Tom semakin tenggelam dalam halaman demi halaman, hingga akhirnya ia sampai pada bagian yang membuatnya terhenti. Anna menuliskan perasaan terdalamnya, mengungkapkan bahwa meskipun mereka telah lama berpisah, Tom selalu menjadi sosok yang sulit dilupakan. Jurnal itu terasa seperti pengakuan terakhir Anna, sebuah warisan emosional yang menyimpan rahasia terdalam tentang hubungan mereka.
Di akhir jurnal, Tom menyadari bahwa penemuan terhebat ini bukan tentang masa lalu mereka, melainkan tentang bagaimana cinta yang pernah ada tetap hidup, meski terkadang tidak disadari atau diucapkan dengan lantang. Jurnal itu adalah cara Anna untuk menunjukkan bahwa meskipun mereka tidak ditakdirkan untuk bersama, cinta mereka telah menjadi bagian dari perjalanan hidup yang lebih besar.
Dengan penuh perasaan, Tom menutup jurnal tersebut. Di satu sisi, ia merasa hancur oleh kesadaran bahwa begitu banyak hal yang tidak pernah terucap di antara mereka. Namun, di sisi lain, ia merasa tenang karena akhirnya mengerti bahwa ada bagian dari hidupnya yang selalu akan terhubung dengan Anna, meski dalam diam.
Anna, Si Kecil yang Tangguh
Anna menulis tentang betapa sulitnya masa kecil yang ia jalani, bagaimana ia harus mandiri dan berjuang untuk menemukan pijakannya di dunia ini. Meskipun terlihat kuat di luar, Anna sebenarnya sering merasa rapuh di dalam. Ia kerap mencari tempat berlindung dari kerumitan hidup yang dialaminya, dan Tom tidak pernah tahu bahwa selama mereka bersama, Anna menganggap Tom sebagai satu-satunya tempat perlindungannya yang paling aman.
Tom terhanyut dalam cerita tentang bagaimana Anna, si kecil yang tangguh, harus belajar menyeimbangkan hidupnya yang penuh tantangan. Dia mengisahkan berbagai peristiwa yang membentuk karakter kuatnya saat dewasa. Ia menulis tentang bagaimana ia belajar untuk tidak menunjukkan kelemahannya kepada dunia luar, meski sering merasa lelah. Anna menegaskan bahwa ketangguhan bukanlah pilihan, melainkan sebuah kebutuhan agar ia bisa terus maju.
Melalui tulisan-tulisan itu, Tom melihat sisi Anna yang berbeda dari yang pernah ia kenal. Anna yang selalu ceria dan tampak tak tergoyahkan ternyata menyimpan luka dan kerapuhan yang tidak pernah ia ungkapkan. Namun, di balik semua itu, Anna menulis dengan bangga bagaimana masa kecil yang penuh tantangan itu membentuknya menjadi wanita yang tangguh dan kuat—seorang wanita yang berani menghadapi apa pun yang datang padanya.
Anna menulis bahwa meskipun ia sering merasa sendirian dalam perjalanan hidupnya, dia belajar bahwa kekuatan sejati berasal dari dalam dirinya sendiri. Jurnal itu membawa Tom menyadari bahwa cinta mereka tidak hanya tentang momen-momen indah yang mereka bagi, tetapi juga tentang kekaguman Anna terhadap ketangguhan yang ia bawa sepanjang hidupnya.
Anna sering mendapati dirinya terjebak dalam percakapan singkat yang cukup berarti dengan mamanya. Sebuah hubungan yang lebih didominasi oleh pragmatisme daripada kehangatan. Pertanyaan sederhana yang seharusnya penuh harapan, seperti saat ia meminta izin untuk membeli baju, kerap berakhir dengan respons yang dingin dan terkesan sarkastis dari mamanya.
Seiring bertambahnya usia, Anna semakin sadar bahwa jarak emosional dengan orang tuanya terasa jauh lebih nyata daripada jarak fisik. Orang tuanya, terutama mamanya, lebih fokus pada karier dan pemenuhan materi daripada kehadiran mereka secara utuh dalam hidupnya. Waktu-waktu yang bisa mereka habiskan bersama hanya terbatas pada akhir pekan, itupun seringkali dipenuhi dengan kesibukan lain yang tidak menyisakan ruang bagi interaksi yang mendalam.
Anna kecil sering berharap, meskipun orang tuanya sibuk, mereka tetap bisa menciptakan momen quality time, walau sekadar berbincang atau melakukan kegiatan sederhana bersama. Namun, impian itu tak pernah benar-benar terwujud. Orang tuanya selalu merasa bahwa dengan menyediakan segala yang dia butuhkan secara materi, tanggung jawab mereka sebagai orang tua telah terpenuhi.
Anna kerap merasa terabaikan, meskipun hidupnya tercukupi secara materi. Dia menyadari bahwa barang-barang mewah atau fasilitas yang diberikan tidak bisa menggantikan kebutuhan emosional yang selama ini terabaikan. Permintaan sederhana seperti membeli baju, yang mungkin bagi orang lain tidak berarti, bagi Anna adalah momen untuk terhubung dengan mamanya, untuk merasa diperhatikan.
Namun, respons mamanya yang sering kali lugas dan tanpa emosi hanya menambah lapisan perasaan kesepian dalam diri Anna. Baginya, dialog seperti itu bukan hanya tentang menolak permintaan, tetapi juga menolak sebuah kesempatan untuk mendekat. Semakin lama, Anna belajar untuk menahan keinginannya—bukan hanya keinginan untuk memiliki barang, tetapi juga keinginan untuk merasakan kedekatan dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Walau demikian, Anna tidak pernah berhenti berharap. Dia terus berusaha memahami bahwa mungkin orang tuanya mencintainya dengan cara yang berbeda, meski tidak sesuai dengan harapannya. Namun, di dalam hatinya, dia tetap merindukan perhatian lebih dari sekadar pemberian materi.
Anna tumbuh dengan perasaan yang campur aduk. Di saat-saat krusial, ketika ia membutuhkan sosok seorang ibu untuk mendampingi dan membimbingnya, yang ia temukan justru tembok dominasi yang tak memberi ruang bagi pilihannya sendiri. Seperti pada momen di akhir masa SMA-nya, ketika teman-temannya begitu antusias menyambut konser pertama mereka bersama, Anna hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Konser itu, bagi Anna, bukan sekadar hiburan. Itu adalah kesempatan terakhir untuk merayakan kebersamaan dengan teman-temannya sebelum mereka melangkah ke fase kehidupan yang baru di universitas.
Namun, bagi orang tuanya, terutama mamanya, setiap keputusan hidup Anna harus diukur dengan logika ketat—dan konser, menurut mereka, bukanlah prioritas. Meski Anna telah berusaha meyakinkan mereka bahwa ini adalah cara untuk berpisah dengan teman-teman sebelum pindah ke universitas idaman, semua alasan itu seakan tak berharga. Larangan mamanya mengingatkan Anna lagi bahwa dalam hidupnya, dia jarang diberi ruang untuk memilih sendiri. Kebaikan orang tuanya hadir dalam bentuk kontrol yang ketat, bertopengkan rasa sayang.
Anna menyimpan perasaan tertekan itu jauh di dalam dirinya. Dia sering bertanya-tanya, mengapa cinta orang tuanya terasa begitu jauh? Mengapa kebebasan yang sederhana, seperti pergi ke konser bersama teman, harus dijadikan isu besar? Namun, meskipun terlalu banyak emosi yang diabaikan dan terlalu banyak keputusan yang diambil tanpa persetujuannya, Anna berusaha untuk tidak membenci mereka.
Dia mencoba menerima kenyataan bahwa mungkin, dalam pandangan orang tuanya, semua yang mereka lakukan adalah bentuk cinta. Meskipun cinta itu dibalut dengan dominasi, kontrol, dan aturan yang kaku, Anna tidak ingin membalasnya dengan kebencian. Dia memilih untuk mengakui bahwa orang tuanya melakukan yang terbaik menurut pemahaman mereka.
Namun, menerima perasaan itu tidaklah mudah. Setiap kali ada momen yang terlewatkan, seperti konser yang ingin dia hadiri, Anna merasa kehilangan sebagian dari dirinya sendiri. Sebagai anak, dia tidak hanya kehilangan kesempatan untuk merayakan sesuatu yang kecil, tetapi juga kehilangan perasaan untuk didengarkan dan dihargai. Dan dalam setiap momen kehilangan itu, Anna belajar lebih banyak tentang kesabaran, penerimaan, dan bagaimana caranya hidup di antara ekspektasi dan kenyataan yang tidak selalu selaras.
Pun demikian, Anna tetap menghargai segala yang telah diberikan oleh orang tuanya, berusaha memaknai bahwa rasa sayang mereka, meski sering kali tidak dipahami, tetaplah sesuatu yang nyata. Anna kecil, yang selalu merindukan kasih sayang dari kedua orang tuanya, mendapati bahwa harapannya berlawanan dengan kenyataan yang begitu pahit. Dia bukan hanya merasa diabaikan secara emosional, tetapi kini dia juga menghadapi kekerasan fisik, sesuatu yang tak pernah dia bayangkan akan datang dari seseorang yang seharusnya melindunginya—bapaknya sendiri.
Hari pertama ketika Anna dipindahkan ke kamar terpisah, dia merasa kesepian. Ketika malam tiba, tak ada lagi kehangatan atau pelukan dari mamanya. Kamar yang baru itu dingin dan asing. Anna menangis, memanggil-manggil mamanya, namun tak ada yang datang. Sejak kelahiran adiknya, Anna merasa bahwa perhatian orang tuanya berkurang. Adiknya yang lebih kecil dan lebih membutuhkan, seolah-olah menarik semua perhatian yang seharusnya masih bisa diberikan untuk Anna.
Waktu terus berjalan, tetapi luka batin yang dirasakan Anna justru semakin dalam. Keinginan untuk memiliki sosok ibu yang penuh kasih menjadi impian yang perlahan memudar. Anna sering berusaha mencari perhatian dari mamanya, tetapi kesibukan dan rutinitas membuat hubungan mereka semakin jauh. Mama yang seharusnya menjadi tempat curhat dan pelarian, berubah menjadi sosok yang dingin, hanya fokus pada pekerjaan dan urusan rumah tangga. Meski begitu, Anna masih memiliki harapan kecil bahwa suatu hari hubungan mereka akan membaik.
Namun, kejadian pertengkaran orang tuanya itu menghancurkan semua harapan yang tersisa. Malam itu, Anna terbangun dari tidurnya oleh suara keras pertengkaran. Suara bapaknya semakin lantang, seperti badai yang tak bisa dihentikan. Dengan hati yang berdebar-debar, Anna memberanikan diri mengintip dari balik pintu. Apa yang dilihatnya membuat jantungnya terasa berhenti. Bapaknya yang selama ini dihormatinya, kini mendorong mamanya dengan kasar.
Dalam sekejap, naluri melindungi yang selama ini terkubur dalam diri Anna muncul. Dia tak bisa membiarkan hal ini terjadi. Anna memberanikan diri masuk ke dalam ruangan dan berusaha menghentikan bapaknya. Namun, yang terjadi justru di luar dugaannya. Alih-alih mendengarkan permintaan Anna, bapaknya marah dan mengambil sebuah penebah—alat yang biasa digunakan untuk membersihkan lantai—lalu memukulnya di bagian paha. Pukulan itu terasa begitu menyakitkan, tidak hanya di fisiknya tetapi juga di hatinya.
Anna menangis keras, merasakan garis-garis merah yang terbentuk di pahanya akibat pukulan itu. Rasa sakitnya begitu nyata, tapi yang lebih menyakitkan adalah perasaan dikhianati oleh orang yang seharusnya mencintai dan melindunginya. Jejak garis merah itu tidak hanya meninggalkan bekas di kulitnya, tetapi juga di dalam jiwanya. Luka batin itu akan terus mengikutinya, membentuk cara pandangnya terhadap cinta, keluarga, dan kehidupan.
Setelah malam itu, hubungan Anna dengan orang tuanya semakin retak. Dia tidak pernah bisa melupakan malam di mana dia dipukul oleh bapaknya, dan rasa takut serta kecewa terhadap mereka tak pernah benar-benar hilang. Meski begitu, Anna berusaha untuk tetap bertahan. Dia tahu bahwa suatu saat nanti, dia harus menemukan kekuatannya sendiri dan menciptakan jalannya sendiri dalam hidup—jalan yang berbeda dari kedua orang tuanya.
Sejak kecil, Anna selalu merasa ada banyak hal yang ingin dia capai dalam hidup. Dia memiliki mimpi besar, harapan yang tinggi, dan tujuan-tujuan yang selalu berputar di pikirannya. Namun, seiring berjalannya waktu, Anna mulai menyadari bahwa keinginannya sering kali terhalang oleh keputusan orang tuanya yang terlalu mengatur. Mereka ingin yang terbaik untuknya, tetapi caranya membuat Anna merasa terkekang. Di setiap langkah, di setiap keputusan yang ingin ia ambil, selalu ada batasan, larangan, dan aturan yang seolah-olah membuatnya sulit bernapas.
Anna adalah anak yang berjiwa bebas. Dia ingin merasakan dunia di luar sana, mencoba hal-hal baru, dan menjelajahi berbagai pengalaman yang ditawarkan oleh kehidupan. Namun, orang tuanya memiliki pandangan berbeda. Mereka ingin Anna tetap di jalur yang mereka anggap aman—menjadi anak yang patuh, mengikuti aturan, dan memilih pilihan yang telah disiapkan untuknya. Mereka selalu berkata bahwa segala larangan yang mereka buat adalah demi kebaikan Anna, tapi di mata Anna, larangan itu terasa seperti penjara.
Ketika Anna masih kecil, dia sering kali merasa tidak punya suara dalam pengambilan keputusan. Banyak hal dalam hidupnya ditentukan oleh kedua orang tuanya—mulai dari pakaian yang dikenakannya, aktivitas yang boleh diikuti, hingga bagaimana ia seharusnya bersikap di depan orang lain. Setiap kali dia mencoba menyampaikan keinginannya, selalu ada alasan dari orang tuanya untuk menolak. Mereka tidak suka jika Anna membelot dari aturan atau harapan mereka.
Namun, Anna tidak selalu bisa menerima itu. Ada titik di mana dia merasa harus melawan, meski dia tahu konsekuensinya. Satu-satunya cara baginya untuk bertahan adalah dengan membelot dan melawan. Ini bukan tentang kurangnya rasa hormat terhadap orang tuanya, tetapi lebih tentang menemukan cara untuk mewujudkan keinginannya sendiri. Perlawanan Anna tidak selalu frontal; kadang kala itu berupa keputusan-keputusan kecil yang ia ambil diam-diam, di luar pengawasan orang tuanya. Ia melakukan hal-hal yang dilarang, seperti pergi ke tempat-tempat yang dianggap "berbahaya" oleh orang tuanya atau mengikuti kegiatan yang tidak mereka setujui.
Anna berharap, di setiap proses pengambilan keputusan, ada ruang untuk diskusi. Dia ingin didengarkan, dihargai, dan dianggap sebagai individu yang punya pemikiran sendiri, bukan sekadar anak yang harus menurut tanpa bertanya. Sayangnya, ruang itu hampir tidak pernah ada. Orang tuanya selalu mengambil keputusan dengan pandangan bahwa "mereka lebih tahu" apa yang terbaik untuk Anna. Ini membuat Anna merasa frustrasi, seperti terjebak dalam sistem yang tidak memberinya pilihan.
Hingga tiba saatnya Anna harus memilih universitas dan jurusan saat kuliah. Ini adalah salah satu keputusan besar dalam hidupnya, dan meskipun dia tahu orang tuanya akan campur tangan, dia bertekad untuk membuat pilihannya sendiri. Keinginan ini begitu kuat, karena bagi Anna, kuliah adalah gerbang menuju kebebasan yang dia idamkan.
Untuk pertama kalinya, orang tuanya memberi sedikit ruang bagi Anna. Mereka membiarkannya memilih universitas dan jurusan yang diinginkannya, meskipun masih dengan beberapa syarat dan batasan. Ini adalah satu-satunya pilihan besar yang bisa ia buat tanpa terlalu banyak perlawanan dari mereka. Anna memilih jurusan yang dia sukai, tempat yang jauh dari rumah, dan berharap bahwa di sana, dia bisa menemukan kebebasan dan jati dirinya.
Meski begitu, pengalaman masa kecil Anna telah membentuknya menjadi pribadi yang keras kepala namun tangguh. Dia belajar bahwa terkadang, untuk mendapatkan apa yang diinginkan, seseorang harus melawan dan memperjuangkan ruangnya sendiri. Meskipun pertentangannya dengan orang tuanya seringkali menyakitkan, Anna tidak menyesal. Dia tahu bahwa untuk mencapai mimpi-mimpinya, dia harus berani berbeda, berani membelot, dan berani melawan apa yang selama ini dianggapnya sebagai penghalang.
Anna, seorang Remaja Tangguh
Ketika Anna ditolak dari universitas impiannya di Bandung, dunia seolah runtuh di depannya. Bandung, dengan segala bayangan kebebasan dan kesempatan yang telah ia rancang di benaknya, seolah hilang dalam sekejap. Anna terpaksa kembali ke Surabaya, kota kelahirannya yang selama ini menjadi saksi tumbuh kembangnya. Kota yang dulu seringkali terasa sempit dan membatasi, kini menjadi satu-satunya pilihan yang ada di depannya. Namun, meski Surabaya bukanlah pilihan pertama, Anna bertekad untuk total dalam menjalani hidupnya di sana.
Tak lama setelah kembali, Anna menerima kabar bahwa dia diterima di universitas pilihannya yang kedua. Universitas itu terletak di jantung Surabaya, sebuah lembaga pendidikan yang tidak seprestisius universitas di Bandung, namun tetap memberi kesempatan bagi Anna untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Alih-alih larut dalam kekecewaan, Anna memutuskan untuk merangkul pilihannya dan menjalani kehidupan barunya di kampung halaman dengan penuh semangat. Di sana, dia bertekad untuk memaksimalkan setiap peluang yang ada.
Di universitas inilah, Anna bertemu dengan Tom, seorang individu yang kuat dan memiliki karakter yang berbeda dari kebanyakan orang yang pernah ia temui. Tom bukan sekadar teman kuliah biasa bagi Anna. Sejak pertemuan pertama mereka, Anna merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diri Tom. Dia adalah seseorang yang tangguh, disiplin, dan memiliki prinsip hidup yang jelas. Meskipun sifat keras kepala Anna terkadang membuatnya sulit terhubung dengan orang lain, kehadiran Tom perlahan mengubah cara pandangnya.
Tom memiliki pengaruh besar dalam hidup Anna, seringkali tanpa Anna sadari. Sifat tangguh dan penuh dedikasi yang Tom tunjukkan dalam kehidupan sehari-harinya begitu mencerminkan sosok yang Anna kenal sejak kecil—bapaknya. Meskipun masa kecil Anna dipenuhi oleh kenangan yang pahit akan kekerasan, terutama dari bapaknya, dia tidak bisa memungkiri bahwa bapaknya adalah seorang pekerja keras yang tangguh, sosok yang tanpa lelah menafkahi keluarganya. Dalam diri Tom, Anna melihat cerminan dari karakter tersebut.
Seiring waktu, Anna mulai belajar banyak dari Tom. Salah satu hal yang paling menyentuh Anna adalah bagaimana Tom menghargai waktu, terutama dalam hal ibadah. Tom selalu menyegerakan diri untuk salat tepat waktu, tidak pernah menunda-nunda, dan hal itu membuat Anna tersentuh. Dia menyadari bahwa ada banyak hal dalam hidupnya yang perlu dia perbaiki, dan Tom tanpa banyak kata-kata sudah memberikan contoh nyata tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan dengan disiplin dan tanggung jawab.
Tak hanya soal ibadah, Tom juga mengajarkan Anna bagaimana menggunakan uang dengan bijak. Meski Tom bukanlah orang yang kaya raya, dia selalu bisa mengatur keuangannya dengan baik. Hal ini berbeda jauh dengan Anna yang sering kali impulsif dalam menggunakan uang. Tom memperlihatkan pada Anna bahwa hidup tidak perlu bergelimang harta untuk merasa cukup dan bahagia. Sederhana tapi bermakna, itulah cara Tom menjalani hidupnya, dan hal ini membuat Anna semakin mengagumi sosoknya.
Meski begitu, Anna tetap menyadari bahwa Tom bukanlah sekadar guru atau panutan dalam hidupnya. Ada ikatan emosional yang tumbuh antara mereka. Tom tidak hanya mempengaruhi Anna dalam hal-hal praktis, tetapi juga dalam hal cara pandang terhadap hidup. Melalui interaksi mereka, Anna belajar untuk lebih menerima diri dan masa lalunya. Dalam banyak hal, Tom membantu Anna menyembuhkan luka-luka yang selama ini ia bawa dalam diam.
Bapak Anna, yang dulunya sangat dominan dan keras, mulai berubah seiring dengan bertambahnya usia Anna. Sejak Anna tumbuh remaja, bapaknya menjadi lebih terbuka dan komunikatif. Diskusi-diskusi kecil yang dulu jarang terjadi, kini menjadi rutinitas yang menyenangkan. Mereka sering berdiskusi tentang hal-hal sederhana, termasuk keputusan untuk memilih jurusan kuliah. Bapak Anna, yang tadinya begitu kaku, mulai menjadi partner diskusi yang baik. Dia memberi nasihat, mendengarkan pendapat Anna, dan mulai memikirkan bagaimana masa depan putrinya akan terbentuk.
Melalui hubungan dengan Tom dan interaksinya yang semakin membaik dengan bapaknya, Anna mulai memahami bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidupnya sendiri. Dia belajar bahwa meskipun masa kecilnya dipenuhi dengan tantangan dan kekerasan, ada banyak hal yang bisa diambil sebagai pelajaran berharga. Dedikasi dan kerja keras yang dimiliki bapaknya ternyata membentuk Anna menjadi sosok yang tangguh, sementara kelembutan dan perhatian yang dia temukan dalam diri Tom membantunya menemukan sisi lain dari kehidupan yang lebih penuh kasih.
Tom bukan hanya seorang teman atau pasangan biasa bagi Anna; dia adalah cerminan dari pelajaran hidup yang Anna butuhkan. Kehadiran Tom mengingatkan Anna pada pentingnya kerja keras, kesederhanaan, dan disiplin, namun juga membuka matanya terhadap cinta dan kasih sayang yang selama ini mungkin tidak ia sadari dalam hidupnya. Anna tahu bahwa Tom adalah bagian penting dari perjalanannya untuk menjadi lebih baik dan lebih kuat, baik sebagai individu maupun sebagai perempuan yang suatu hari nanti akan menjalani hidupnya sendiri.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tom merasa detak jantungnya semakin cepat ketika membaca jurnal Anna. Di setiap halaman, namanya terus muncul, seolah Anna telah menyimpan begitu banyak hal yang tak pernah terungkap sebelumnya. Rasa penasaran dan keterkejutan bercampur aduk dalam dirinya, mendorongnya untuk mencari tempat yang lebih tenang dan pribadi agar bisa melanjutkan membaca tanpa gangguan.
Dia berpindah ke sudut ruangan yang lebih sepi, memastikan tidak ada orang yang memperhatikannya. Setelah memastikan situasinya aman, Tom kembali membuka jurnal itu, menyusuri kata demi kata yang Anna tulis dengan rapi dan penuh emosi.
Anna menuliskan bagaimana perasaannya sejak awal bertemu Tom, hingga hari-hari setelah mereka terpisah. Setiap momen diabadikan dalam tulisan, menciptakan sebuah perjalanan emosional yang menguras perasaan Tom. Jurnal itu tidak hanya berisi catatan keseharian, tetapi juga pikiran terdalam Anna tentang cinta, harapan, dan ketakutan yang tak pernah ia ungkapkan secara langsung.
Semakin dalam Tom membaca, semakin ia merasa tersentuh. Ia mulai menyadari bahwa selama ini, Anna telah menyimpan banyak hal tentang dirinya. Setiap kenangan, baik saat mereka bersama maupun saat terpisah, tertulis dengan jelas di halaman-halaman itu. Perasaan yang dulunya ia anggap hilang ternyata masih hidup dalam hati Anna, tersembunyi di balik senyum dan sikapnya yang selama ini tampak kuat.
Tom menahan napas ketika sampai pada bagian di mana Anna menulis tentang perasaan yang tak pernah bisa ia lepaskan—perasaan bahwa Tom adalah sosok yang tak tergantikan dalam hidupnya. Anna dengan jujur mengungkapkan bahwa meskipun hidup membawa mereka ke arah yang berbeda, Tom selalu memiliki tempat khusus di hatinya.
Di bagian akhir halaman, Anna menuliskan sebuah pesan yang tampak seperti ditujukan langsung untuk Tom, seolah-olah dia tahu bahwa suatu hari Tom akan membaca jurnal ini: "Jika suatu hari kamu membaca ini, Tom, ketahuilah bahwa meskipun kita berjalan di jalan yang berbeda, aku selalu menganggapmu sebagai penemuan terhebat dalam hidupku."
Tom berhenti membaca, merasakan gelombang emosi yang tak terduga mengalir dalam dirinya. Pesan itu, begitu sederhana namun penuh makna, seolah menjadi penutup yang sempurna untuk semua perasaan yang terpendam. Jurnal itu bukan sekadar catatan harian; itu adalah cermin dari hubungan yang selama ini mereka jalani—rumit, penuh emosi, namun juga sangat berharga.
Dengan hati yang penuh, Tom menutup jurnal itu, merenungkan setiap kata yang baru saja ia baca.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Anna, Seorang Istri dan Ibu
Anna menggambarkan sosok suaminya yang penuh perhatian, namun ada perbedaan mendasar dalam cara mereka berkomunikasi dan berinteraksi. Anna merasa hubungan itu stabil, namun tidak selalu memenuhi kebutuhan emosionalnya. Sebagai ibu, Anna mencurahkan kasih sayang yang besar kepada anak-anaknya, namun dia kerap merasa lelah secara emosional. Ada kalanya Anna merasa terjebak dalam rutinitas yang monoton dan kehilangan sebagian dari identitas dirinya.