[Sudah Terbit] Jakarta's Ruin

Arisyifa Siregar
Chapter #2

1. Oblivio

Jakarta, Februari 2027

Awal februari udara masih sangat lembab, angin yang bertiup cukup kencang hingga membuat jas putih para ilmuwan yang berdiri di pinggir lapangan landasan pesawat berayun ke kanan dan kiri. Rambut mereka yang acak-acakan pun bergerak tak karuan sampai menutupi pandangan dari balik kacamata tebal mereka. Di depan mereka yang berjajar kurang rapi berdiri seorang pria paruh baya, mengenakan setelan kemeja dan celana hitam dengan dasi merah mencolok yang jelas dikenakan untuk memberikan kesan mahal pada penampilannya. Pria yang di rambutnya sudah banyak uban ini dijaga ketat oleh beberapa bodyguard dan polisi bersenjata lengkap di kedua sisinya.

“Sebentar lagi mereka mendarat Pak Menteri.” bisik salah satu asistennya yang berumur tigapuluhan

Pria yang sedang menjabat sebagai Menteri Kesehatan di Republik Indonesia ini hanya mengangguk lalu melirik ke jam tangan Diesel-nya, terlihat tak sabar mengingat bahwa masih banyak jadwal yang harus ia kerjakan setelah ini.

Lima belas menit kemudian sebuah pesawat jet pribadi berwarna putih dengan lambang bendera Amerika Serikat di sisi ekornya mendarat sekitar setengah kilometer dari hadapan mereka. Para ilmuwan yang sejak tadi sudah lelah berdiri dan sudah mulai lunglai kakinya, kini kembali mempertegak posisi. Satu di antaranya wanita bertubuh kecil berkaca mata dengan bingkai hitam tebal, ia tiba-tiba sibuk merapikan penampilannya ketika tim ilmuwan dari Amerika turun satu per satu dari pesawat dan berjalan mendekat ke arah mereka. 

“Welcome to Jakarta.” Menteri Kesehatan menjabat tangan Darwin Martin, begitu pria bule bertubuh tinggi besar yang tak lain adalah pemimpin tim ilmuwan dari Amerika ini sampai di hadapannya. Darwin membawa anggota timnya yang berjumlah enam orang. Dua orang wanita dan empat pria yang masing-masing mengenakan jas lab putih yang sama.

“This way.” ucap Menteri Kesehatan, membimbing langkah Darwin dan timnya untuk keluar area lepas landas Bandara Halim Perdanakusuma menuju ke tempat penelitian. Kedatangan mereka adalah salah satu tahap dari pelaksanaan rencana besar yang sudah di buat sekian lama oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan WHO. Dengan tujuan yang sangat mulia, mereka menjalani serangkaian penelitian untuk menghasilkan penemuan yang dapat mengubah dunia kedepannya.

Kanker menjadi momok yang mencemaskan masyarakat. Tingginya angka kematian karena kanker di Indonesia, menyadarkan masyarakat bahwa di setiap diri manusia memiliki sel kanker. Hal ini membuat mereka berpikir bagaimana cara tetap sehat dan tidak terjangkit penyakit mematikan yang terus berkembang jenis-jenisnya ini. Mulai dari olahraga, akupuntur, pengobatan tradisional dengan menggunakan rempah-rempah dan sebagainya, menjadi trend dan gaya hidup sehat yang dijalani hampir setiap warga Indonesia yang mampu menyisihkan uang mereka untuk menjaga kesehatan. Sementara di sisi lain jumlah penduduk Indonesia yang menderita kanker mencapai lebih dari 1:10 orang yang sehat. Kanker menyebar dengan sangat luas dan cepat di lingkungan yang semakin tak bersih.

Di usia kemerdekaan yang hampir seratus tahun, teknologi Indonesia berkembang dengan cukup signifikan. Para Ilmuwan dalam negeri dan luar negeri secara rahasia bekerjasama melakukan penelitian untuk membuat vaksin yang dapat mematikan sel kanker sebagai jalan lain dari operasi, kemoterapi dan radiasi yang dianggap semakin tidak efektif. Berbagai percobaan pun dilakukan demi untuk menemukan obat yang bereaksi lebih cepat dan efisien untuk melawan pertumbuhan sel kanker. Di awal tahun mereka berhasil mengembangkan penelitian yang ditaksir akan membuahkan hasil terbaik.

***

 

RS Kanker Dharmais, Slipi, Jakarta


“Apa kamu pikir ini akan berhasil?” bisik salah satu dokter magang yang tengah memilah data-data para pasien penderita kanker di atas meja. 

Partner kerjanya yang diajak bicara seakan enggan menanggapi, wanita berkerudung putih itu hanya mengedikkan bahu. “Kerjakan saja apa yang menjadi tugasmu,” ucapnya sinis.

Pria itu kembali ke lembaran-lembaran kertas di hadapannya, “Tapi,” ia kembali membuka mulut seakan tak sadar lawan bicaranya tidak ingin menanggapi, “bukannya ini keterlaluan? Mengambil lima puluh pasien yang tidak mampu membayar biaya rumah sakit untuk dijadikan bahan percobaan? Bagaimana kalau gagal?”

Wanita berkerudung putih itu membanting bolpoin yang ia pegang sambil mengumpat kesal dan menghampiri meja partnernya. “Bisa kau tutup mulutmu yang berisik itu?” tegurnya dengan suara tak terlalu keras, dengan bola mata yang seakan siap melompat keluar. “Pemerintah sudah mengeluarkan biaya yang banyak untuk penelitian ini. Dan, Lab besar yang ada di ruang bawah tanah di rumah sakit ini kau kira hanya untuk checkup saja? Ini sebuah gebrakan besar untuk ilmu kedokteran di Indonesia bahkan dunia. Bagaimana bisa calon dokter mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan bodoh seperti itu! Lima puluh orang itu tak akan berarti apa-apa jika kita berhasil menemukan obat untuk mematikan pertumbuhan sel kanker dengan cepat, kamu pikir berapa nyawa yang akan diselamatkan hidupnya? Tak akan terhitung!”

Wanita ini tidak memperbanyak ucapannya, matanya beralih ke rombongan menteri dan para ilmuwan yang lewat di depan ruangan. Pria tadi memilih bungkam seribu bahasa ketimbang dicekik partnernya, ia tidak pernah mengira perempuan pendiam yang sudah bekerja dengannya selama seminggu ini ternyata cukup menyeramkan. Dalam diam ia memperhatikan Menteri Kesehatan yang berjalan melewati ruangan dengan banyak orang di belakangnya.


“Sejauh mana persiapan yang dilakukan?” tanya Menteri ke Professor Ibrahim, pemimpin penelitian dari tim Indonesia yang berjalan tepat di sebelahnya.

“Kami sudah menyelesaikan proses pembelahan DNA beberapa virus, kami ambil hanya mengambil DNA yang hampir sama diantara mereka, karena seperti yang kita tahu setiap racun memiliki antibodi-nya sendiri. Kami berusaha melakukan penggabungan DNA-DNA itu untuk diaplikasikan ke sebuah virus baru, yang kami beri nama Oblivio, virus inilah yang akan menjadi vaksin atau bahkan obat dari berbagai macam penyakit kanker. Virus ini berkinerja mematikan induk sel kankernya.”

Menteri mengangguk namun air wajahnya tidak cerah, “Menurut pandangan saya dari membaca proposal dan data-data yang saya terima, tampaknya virus ini akan lebih terlihat kegunaannya jika diaplikasikan pada penderita kanker stadium awal, benar begitu?” ujar Menteri Kesehatan sarkastis.

Ibrahim terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali memasang senyum percaya diri, “Mungkin terlihat seperti itu, Pak Menteri. Karena tujuan utama kita memang mencegah dan mengobati sebanyak-banyaknya.” Ia membetulkan posisi kacamatanya. “Sebanyak yang kita bisa. Namun dalam percobaan ini kami melibatkan pasien dengan tingkat stadium dan jenis kanker yang berbeda,” tambahnya.

“Begitu ya, lalu bagaimana dengan virus, apa saja yang digunakan? Saya tak sempat membaca semua laporan karena terlalu sibuk.”

“Tak apa, Pak. Terima kasih telah memberikan kepercayaan penuh pada kami. Sebagai sample kami menggunakan virus rabies, aids, dan herpes.”

Menteri menganggukkan kepalanya, mereka telah sampai di tempat yang dituju, ia melemparkan pandangan ke seluruh ruang lab. Tempat berukuran hampir satu hektar di dalam tanah ini selesai dibangun tahun lalu. Beberapa profesor yang didampingi oleh dokter-dokter asistennya sibuk di balik meja lab masing-masing, semua data di komputer diprogram secara Davion, sistem operasi tercepat yang ada di dunia saat ini, dengan kecepatan program running yang disebut-sebut menyerupai kecepatan cahaya.

“Bagaimana dengan pengambilan sample-nya? Tanya Menteri ketika melihat barisan tempat tidur yang berjajar di balik ruang kaca di sisi lab yang lebih dalam.

“Kami sudah hampir selesai menyortir pasien dari rumah sakit ini. Beberapa pasien bergabung dengan sukarela dan ada juga pasien yang harus mau melakukannya.”

Mendengar kalimat terakhir Menteri menengok heran.

“Mereka yang tak bisa membayar biaya rumah sakit selama perawatan mereka yang sudah lebih dari dua tahun, Pak.” Ibrahim buru-buru menambahkan.

Menteri kembali mengangguk, “Pastikan semua orang yang menjadi sample sudah menandatangani surat persetujuan sebelum eksekusi dilakukan.”

“Tentu, Pak. Sedang kami lakukan.”

“Dan jangan sampai berita tercium ke media sebelum percobaan berhasil dilakukan. Bahkan DPR tidak mengetahui hal ini, ini benar-benar rahasia.” tegas Menteri kemudian melangkah ke arah pintu keluar lab. “Juga pastikan tamu-tamu kita dijamu dengan layak.” tambahnya, melirik ke tim Professor Darwin yang sedang melakukan pembicaraan dengan anggota tim Professor Ibrahim, kemudian melangkah meninggalkan lab.

“Baik, Pak!” jawab Ibrahim.


Pria berusia dua puluh tahun memasuki lobby rumah sakit dengan membawa seikat bunga mawar merah dan buah-buahan. Tubuhnya kurus dan tingginya tak lebih dari 165cm, mengenakan topi merah yang menutupi dahi dan celana jeans robek yang ujungnya digulung jauh di atas sepatu converse belel warna hijaunya. Dengan senyum hampir selebar spion motor ia melangkah ceria ke meja resepsionis rumah sakit yang segera berdiri ketika dihampiri. 

“Saya mau menjenguk pasien di lantai 4, ruang mawar,” ujarnya seperti sedang membeli air mineral botolan di pinggir jalan.

“Silahkan isi buku tamu,” sahut Perawat yang bertugas di meja resepsionis dengan kurang ramah.

Joko mengisi buku tamu dengan tulisan berhuruf serba besar dan berantakan, kemudian meninggalkan bolpoin yang terjatuh ke lantai begitu saja, setengah melompat-lompat berjalan ke arah lift.

Di lantai empat Joko langsung menyambangi ruang tempat kekasihnya yang sudah dua tahun lebih menderita kanker serviks dirawat. Dina, pacarnya sejak SMA, divonis menderita kanker serviks stadium tiga. Seminggu sekali Joko yang tinggal di daerah Brebes mengunjunginya di Jakarta. Membawa bunga mawar merah kesukaan Dina dan buah apel serta buah-buah lainnya.

Joko terdiam di tempat, memandangi tempat tidur Dina yang kosong. “Kemana Dina?” tanyanya kepada pasien yang tempat tidurnya tepat di samping Dina. Wanita berumur sekitar lima puluh tahun itu sudah mengenal Joko karena sering berkunjung.

“Aku tidak tahu, Dina tadi dibawa oleh petugas rumah sakit. Beberapa orang yang asing, tidak pernah aku lihat sebelumnya.”

Joko terdiam bingung. “Apa dia sedang kemoterapi?”

Wanita itu menggeleng, “Sepertinya bukan, tadi dia disuruh tanda tangan selembar kertas. Pria-pria bertubuh tinggi itu berbicara dengannya berbisik-bisik, aku tidak bisa dengar apa yang mereka bicarakan,” jelas wanita ini dengan mimik wajah bingung bercampur takut.

Lihat selengkapnya