[Sudah Terbit] Jakarta's Ruin

Arisyifa Siregar
Chapter #3

2. Buruk

Jogjakarta, 28 Mei 2027

Air yang mengalir berbau karat pipa-pipa yang sudah tidak layak pakai. Bahkan terasa tak enak untuk dipakai mengosok gigi, tapi Lusi tak punya pilihan lain selain terus membersihkan gigi dan menggosok tubuhnya dengan sabun batangan yang wanginya berlebihan, memastikan tak ada kotoran sedikit pun yang tertinggal di kulit.

Di dalam kamar mandi yang sedikit berlumut, Lusi berusaha sekeras mungkin agar tidak menyanyi. Mandi sambil bernyanyi bisa memakan waktu satu jam tanpa ia sadari, karena kebiasaan buruknya ini seminggu lalu ia terlambat datang wawancara kerja di perusahaan makanan cepat saji. Ia bertekad kuat, hari ini tak boleh terjadi hal-hal konyol seperti itu lagi

Ia mengambil handuknya yang berwarna putih tulang dan membalutnya ke tubuh lalu berjalan keluar kamar mandi. Rumahnya hanya terdiri dari satu ruang tamu yang sekaligus sebagai kamar tidur, ruang keluarga dan ruang makan. Satu kamar mandi dan dapur seadanya.

Langkahnya berhenti sejenak di depan televisi, meraih remote dan mengganti-ganti channel, berharap menemukan acara musik namun tak mungkin ada. Tak sampai sebulan setelah Jakarta mengalami bencana, seluruh Indonesia ikut mengalami imbasnya. Salah satunya efeknya adalah, semua channel televisi hanya punya acara berita.

Harga rupiah terhadap dollar Amerika hari ini dibuka di angka 55.130,” ujar salah satu news anchor dalam berita pagi di stasiun televisi swasta tertua di Indonesia. Rusaknya Jakarta membuat tak banyak stasiun televisi yang bertahan, hanya mereka yang mempunyai “kemampuan” yang bisa memindahkan kantornya ke kota lain sehingga tetap bisa siaran.

“Virus Oblivio menyebar semakin luas, kini warga kota sekitar Bodetabek mulai dievakuasi pemerintah ke tempat yang lebih aman. Obs, sebutan untuk orang yang terinfeksi, semakin bertambah, pemerintah masih mencari cara agar tidak ada pertambahan jumlah dikemudian hari. Diketahui virus menular melalui gigitan, kemungkinan besar karena salah satu sumber Oblivio adalah Virus Rabies. Setiap individu yang terkena gigitan obs akan mati otak selama beberapa waktu, kemudian sadar kembali dengan keadaan buta dan mati indera perasanya.

Berbeda dengan COVID 19 yang sebelumnya meruntuhkan perekonomian Indonesia dan seluruh dunia, namun berhasil ditangani dengan vaksin. Oblivio ini membuat pemerintah Indonesia mengalami kesulitan dalam penanganannya, dikarenakan hanya terjadi di Indonesia dan orang yang sudah terserang penyakit tidak bisa dengan mudah untuk dikumpulkan untuk mendapatkan sample virusnya.

Obs hampir menyerupai hewan, mereka hanya mengikuti insting dan bergerak karena rasa lapar. Orang yang sudah berubah menjadi Obs akan menghitam kulitnya dan memerah matanya, semakin lama semakin kurus dan tubuhnya seakan hangus, disertai kulitnya yang melepuh. Mirip dengan orang pengidap penyakit Aids. Juga, mereka yang tidak mendapat makanan akan mati dengan sendirinya.

Pemerintah tak bisa mengambil resiko menggunakan bahan peledak untuk memusnahkan Jakarta yang kini sudah diisolir karena Obs berkeliaran di segala tempat. Segala upaya yang dilakukan pemerintah saat ini masih belum mendapatkan hasil yang…”

“…memuaskan,” tutup Lusi, ia menggeleng kepala karena sekarang sudah hafal hampir keseluruhan naskah berita yang dibaca para news anchor tentang Obs. Bahkan meskipun mampu melakukan siaran berita, stasiun televisi harus selalu melakukan tayangan ulang setiap harinya. Mungkin tidak mempunyai modal untuk berita baru atau sama sekali tak ada berita lain, pikir Lusi. Mengingat tak adanya iklan di channel televisi.

Ia sedang merapihkan blouse hitamnya sembari mengunyah roti ketika telepon rumahnya berdering. “Ya,” jawabnya.

“Hari ini kamu ada interview kerja?” ini suara ibunya. Lusi tak mengira ibunya akan menelepon sepagi ini.

“Ya, aku rasa aku harus cepat menemukan kerja.”

“Bagaimana dengan novel-novelmu?”

Lusi tertawa dalam desisan. “Siapa yang mau beli novel, bu. Di saat-saat seperti ini. Bahkan untuk makan saja orang-orang sudah susah.”

Terdengar ibunya menghembuskan nafas, “Ibu di sini tidak melihat televisi, tapi ibu dengar memang Jakarta hancur karena monster dan negara dalam kerugian yang cukup besar.”

“Lagi juga percuma ibu nonton televisi, isinya berita semua, beritanya pun siaran ulang.”

Ibunya terdiam, Lusi bukannya tidak sopan, anak ini memang susah belajar untuk menjadi wanita yang lemah lembut seperti seharusnya keturunan Jawa Tengah.

“Aku harus buru-buru bu, besok aku kesana jenguk ibu.” Tanpa menunggu ibunya menjawab Lusi langsung memutuskan pembicaraan dan menaruh kembali gagang telepon di tempatnya. Ia mematikan televisi sambil mengenakan sepatu pantofel hitamnya. Semula berpikir untuk mengenakan rok, tapi di Tengah cuaca panas Indonesia yang ekstrim saat ini, ia tak mau bersikap bodoh, kakinya bisa hangus terkena sinar matahari dan yang pasti itu tak membuat penampilannya terlihat baik saat diwawancara nanti. Akhirnya ia memilih melangkah keluar rumah dengan celana panjang berwarna khaki.

Ketika Ibukota runtuh, seluruh negara seakan ikut mati. Seminggu setelah Obs menghancurkan kehidupan Jakarta tak ada perusahaan provider yang bisa bekerja. Tak ada alat komunikasi dan media lainnya untuk berhubungan jarak jauh, yang digunakan hanya telepon rumah itupun tidak bisa interlokal dan Handy-Talkie (HT), pastinya tak banyak yang memiliki barang purba tersebut.

Melihat papan iklan sebuah provider di seberang jalan yang sedang ia lewati, Lusi hampir tertawa. Di tahun 2027 seperti sekarang melihat sebuah papan iklan yang berwarna dasar putih dan hanya bertuliskan; Kami satu-satunya provider yang ada, dengan tinta hitam dan huruf times new roman, menyedihkan sekaligus menjijikkan. Namun apa boleh buat, Indonesia sedang menderita kemiskinan di segala aspek, dan kemampuan untuk bertahan hidup adalah hal yang sangat dibutuhkan untuk saat ini. Provider telepon itu pun, menggunakan segala cara untuk bertahan hidup. Begitu pun Lusi, yang setengah mati mencari pekerjaan tetap ataupun pekerjaan dengan penghasilan yang cukup besar untuk membantu ekonomi keluarganya, keadaan seperti ini membuatnya menurunkan ekspektasi, yang penting ada pekerjaan, yang penting ada makan, yang penting bisa bertahan hidup. Itu motto-nya saat ini.

 

Lusi memberhentikan angkutan umum yang melintas, ia masuk dan duduk di dalam angkutan umum yang sesak. Ia ingat ibunya bercerita di zaman ibunya masih remaja, pemerintah mengharapkan masyarakat naik angkutan umum karena banyaknya kendaraan motor pribadi yang menyebabkan macet dimana-mana. Sekarang, impian itu tercapai, tak ada masyarakat yang mampu membeli kendaraan pribadi kecuali ia sangat teramat kaya. Sayangnya, setelah Jakarta runtuh orang yang sangat kaya juga hampir punah, kebanyakan dari mereka memilih pindah ke Singapura ataupun negara tetangga lainnya.


Bisa dibilang anugerah dalam musibah, karena Jakarta berantakan pusat pemerintahan di pindahkan ke kota-kota lain yang masih cukup jauh dari Jakarta, salah satunya Kementerian Kesehatan yang bertempat sementara di Jogjakarta. Seminggu yang lalu setelah gagal ikut interview di perusahaan makanan cepat saji, Lusi mengirim aplikasinya ke Kementerian Kesehatan sebagai pegawai honorer. Beruntung sekarang ia tak telat sampai di tempatnya interview.

Sejam menunggu, Lusi dipanggil masuk ke sebuah ruangan yang ada di lantai tiga. Kementerian ini untuk sementara memang bertempat di gedung perkantoran, jadi di lorong-lorong yang lewati bertuliskan nama-nama beberapa perusahaan swasta di setiap pintunya. Tak beda dengan kantor-kantor advertising atau lawyer biasa, sama sekali tak ada sentuhan pemerintahan seperti foto presiden, lambing negara seperti burung garuda ataupun bendera Indonesia di tiap kantor yang ia lewati.

Lusi dipersilahkan masuk ke dalam sebuah ruangan yang ada hampir di ujung lorong. Saat siang hari ruangan ini penyinarannya hanya mengandalkan sinar matahari yang masuk lewat jendela besar di seberang pintu masuk. Lusi menundukkan kepalanya sedikit sembari memberi salam kemudian melangkah maju, menghampiri lelaki yang diperkirakan berumur sekitar tiga puluh lima tahun yang duduk di balik meja kayu dengan tumpukan kertas di atasnya.

“Lusi Adhita?” tanyanya, Lusi mengangguk, “Silahkan duduk.”

Lusi sebenarnya agak pegal saat harus bersikap sebagai gadis manis yang kalem dan penuh sopan santun, tapi demi berhasil di tiap interview, ia berusaha akting sebagus-bagusnya.

“Nama saya Rama, saya kepala Ditjen Kesehatan Masyarakat. Senang bertemu dengan anda, Lusi.” Ia mengulurkan tangannya sejenak setelah ia menurunkan kaca mata dari wajahnya dan diletakkan di atas meja.

“Jadi,” ia mengaitkan jari-jari tangan di kedua telapak tangannya di atas meja. “Kamu tahu pekerjaan seperti apa yang kamu lamar?”

“Honorer atau ada yang bilang relawan? Saya kurang tahu banyak, Pak, tapi yang saya tahu sebagai Relawan di bidang kesehatan digaji sesuai standar upah minimum.”

Rama tertawa renyah, “Baru permulaan kamu sudah membahas gaji.”

Lihat selengkapnya