[Sudah Terbit] Jakarta's Ruin

Arisyifa Siregar
Chapter #4

3. Senjata

Bandung, 30 Mei 2027

Lusi memasuki sebuah ruang rapat yang tak terlalu besar, hanya sebuah meja panjang dengan lima kursi di masing-masing sisi ruangan. Tampaknya dia orang yang terakhir datang karena hanya tersisa satu kursi yang kosong. Ia mengenakan jeans belel yang robek cukup besar di bagian lututnya dan kaos hitam bergambar bendera Inggris yang size-nya kebesaran. Sangat kontras dengan yang ada di ruangan, beberapa mengenakan kemeja panel meskipun tetap dengan celana jeans.

Tanpa salam dan sapa, Lusi meloyor duduk di kursi yang kosong dan meletakkan tas ransel besarnya di lantai, tepat di samping kaki. Ia menengok ke arah Rama yang mengenakan setelan jas terlalu rapih sehingga memuakkan di mata. Tawa hampir meledak dari mulutnya ketika melihat hidung Rama dibalut dengan plester. Sekaligus puas menyadari betapa kencang ia meninju orang itu kemarin.

Satu orang yang di samping Rama berdiri, juga mengenakan setelan jas licin tapi raut wajahnya tak semenyebalkan Rama atau mungkin lebih tepatnya, belum. Pria yang memperkenalkan namanya Dony itu memberikan ucapan sambutan dan memperkenalan masing-masing orang yang ada di dalam ruangan.

Lusi tak memandang siapa pun orang yang berbicara di depan, ia hanya melipat kedua tangannya di depan perut dan menyilangkan kaki kiri di atas kaki kanannya sambil menggerak-gerakkan kursi yang diduduki. Dari yang ia tangkap sekilas, ia akan berangkat ke Jakarta sore ini dengan lima orang lain yang ada di dalam ruangan ini. Profesi dan umur ke lima orang itu beragam, dan Lusi sama sekali tak tertarik untuk mengenal lebih jauh orang-orang ini.

“Selama selambat-lambatnya empat belas hari kalian harus menemukan penyebab dari gagalnya Oblivio. Juga di waktu yang sama keberadaan kalian di sana adalah sebagai real-time report kondisi Jakarta yang sesungguhnya. Pemerintah memerlukan data seakurat mungkin untuk membuat keputusan,” jelas Dony panjang lebar, tak diperhatikan oleh Lusi. “Misi ini sangat rahasia, dan tidak diperkenankan menyebarluaskan apa yang kalian dapat di sana,” tambahnya di akhir. Semua ucapan panjang lebar Dony dan Rama tak ada yang dia simak, meskipun begitu ia bisa memahami dengan jelas.

Seusai pertemuan perkenalan mereka dibawa kesebuah ruangan lain, tempat tim dokter sudah menunggu. Satu persatu masuk selama sekitar sepuluh menit lalu bergantian dengan yang lainnya. Untuk disuntikkan beberapa macam vaksin di tubuhnya. Lusi sekuat tenaga menekan tangannya yang berdarah sehabis disuntik dengan kapas. Begitu berdarah tubuhnya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghentikan aliran yang keluar dari dalam kulit. Luka di tubuhnya pun lama untuk kering.

Urusan di kementerian sudah selesai, keenam anggota tim berdiri di depan sebuah mobil Toyota Alphard yang akan mereka gunakan ke Jakarta. Masing-masing juga dilengkapi seperangkat earphone dan smartphone model terbaru yang rilis di Amerika, di tengah kemiskinan Indonesia dan tak adanya akses internet dan sinyal telepon, sangat mencengangkan benda di tangannya ini bisa menyala dan berfungsi dengan baik saat di otak-atik. Nampaknya bukan tidak ada, semua akses komunikasi ini hanya dibatasi agar hanya pihak-pihak tertentu yang bisa menikmatinya, piker Lusi.

Selain itu mereka juga dipasangi tiga real-time camera per orang, untuk merekam apapun yang mereka lihat dan secara langsung mengirimkan datanya ke Kementerian Kesehatan, yang memonitor mereka selama 1 x 24 jam. Kamera-kamera tersebut bebas diletakkan di mana saja, dengan syarat tidak boleh dimatikan. Dony sebelumnya mengatakan semua benda yang mereka terima menggunakan tenaga yang diambil dari sinar matahari, sehingga mereka tak perlu takut kehabisan baterai selama mereka masih bisa menempelkan kamera ke permukaan tubuh mereka pada siang hari.

Satu lagi barang yang mereka dapat adalah sebuah pistol G3 Elite Pindad produksi Indonesia yang disarankan untuk digunakan hanya dalam keadaan darurat. Kecuali dua di antara mereka yang memang berprofesi sebagai anggota TNI Angkatan Darat, Albert yang bertubuh tinggi besar dan berkulit gelap memperkenalkan dirinya sebagai seorang Letnan Satu, datang dari kesatuan Kavaleri di Papua Barat yang juga tempat kelahirannya, berusia tiga puluh tiga tahun. Yang satunya lagi bernama Angga, tubuhnya tinggi terlihat sedikit kurus namun berotot, berkulit cokelat dan berkumis tipis, Sersan Kepala berusia dua puluh delapan tahun dari kesatuan Batalyon Tempur 9 Kostrad di Bandung. Mereka berdua juga dibekalkan senapan SS4 Pindad.

Adam memperkenalkan dirinya sebagai Reporter, tanpa menjelaskan alasan untuk ikut dalam misi berbahaya ini. Begitu juga dengan Lusi yang selalu bicara seperlunya, ia bahkan tak menyebutkan profesinya dalam perkenalan. Hanya nama dan kota tempatnya berasal, itu saja.

Dua yang lain adalah wanita. Lidia, bertubuh tinggi dengan rambut panjang cokelat dan kulit putih mulus, ketimbang seorang staff Kementerian Kesehatan seperti yang ia sebutkan dalam perkenalannya, dia lebih mirip seperti seorang model, hanya dia yang juga dibekali seperangkat tablet-phone terbaru. Di perjalanan menuju mobil Lusi sempat melihat Rama bicara serius dengan gadis ini, seakan memastikan apakah Lidia yakin untuk menjalani misi ini. Perhatiannya sebagai atasan terlalu berlebihan, menurut Lusi.

Perempuan yang satunya lagi adalah Helen gadis berkacamata dengan tubuh mungil dengan poni menutupi dahi, yang sudah sangat mengerti asal usul terjadinya kerusakan di Jakarta. Dia adalah salah satu professor yang bekerja untuk Professor Ibrahim dalam penciptaan Oblivio. Sementara keberadaan professor Ibrahim dan timnya yang lain masih diburu karena harus diadili karena kelalaiannya, Helen dengan tangan terbuka menyerahkan dirinya untuk masuk ke dalam misi. Lewat berbagai pertimbangan, Helen dibebaskan dari berbagai tuduhan dan ditugaskan secara resmi untuk mitigasi bencana Oblivio ini.

“Kita perlu memilih salah satu dari kita sebagai pemimpin kelompok, untuk membuat keputusan dan sebagainya,” Albert memberikan saran, logat Indonesia Timur terdengar jelas dari caranya bicara.

“Abang saja!” sahut Angga kemudian melemparkan pandangan ke lima orang yang lain, “Bagaimana?” tanyanya meminta pendapat.

Semua hanya mengangguk setuju, karena memang Albert yang terlihat paling berpengalaman dan dalam keadaan fisik, dia yang paling cocok sebagai pemimpin. “Kalau begitu kita berangkat sekarang, siapa di sini yang bisa menyetir juga?” tanya Angga ke semua orang kecuali Albert, “Dan punya SIM.” Ia buru-buru menambahkan. Adam dan Lidia mengacungkan tangan. “Oke, kita bergantian menyetir sampai ke lokasi.”

“Kalau begitu kita berdoa dulu sebelum berangkat,” usul Albert, “Berdoa menurut kepercayaan masing-masing, dimulai.”

Keenamnya memejamkan mata, dan berdoa dengan harapannya masing-masing. Adam adalah satu yang paling memanjatkan harapannya, “Ya Allah,” panggilnya dalam hati, “Berikan aku kekuatan, berikan aku kesabaran dan selalu bimbing aku di jalan yang lurus. Dan jika kau perkenankan aku bertemu dengan anak dan istriku, berilah aku ketabahan untuk melihat kondisi mereka. Aamiin.”

“Berdoa selesai.” seru Albert. “Kita berangkat sekarang.”

“Kemana tujuan pertama kita?” sela Adam.

“Rumah Sakit Kanker Dharmais, pusat kejadian,” jawab Albert langsung masuk ke dalam mobil.

Helen menarik nafas dalam-dalam dan masuk ke dalam mobil, membulatkan tekad untuk mencari jawaban dari segala tanya yang ada di benaknya dan berusaha untuk setidaknya ikut bertanggung jawab terhadap kekacauan yang tengah terjadi ini.


Angga mengemudikan mobil sementara Albert duduk di kursi penumpang tepat di sebelahnya. Lidia dan Helen duduk di barisan berikutnya, keduanya tampak cepat akrab, sudah mengobrol banyak begitu baru masuk ke dalam mobil. Helen menceritakan bagaimana ia bisa terlibat dengan anggota tim Professor Ibrahim dan melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. Juga tentang kepergiannya mengikuti rombongan tim Amerika saat kejadian, beserta kepulangannya beberapa hari lalu. Sementara Lusi dan Adam di baris paling belakang tanpa suara.

“Wah,” Lidia terkagum-kagum mendengar cerita Helen. “Dan kamu tau? Aku benar-benar excited ketika diberitahu kalau aku bisa ikut dikirim ke Jakarta sebagai perwakilan dari kementerian. “It’s amazing!”

“Ch!” cibir Lusi sinis, membuat Lidia langsung menengok ke arahnya, tapi Lusi sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari jendela mobil. Lusi berpikir ucapan yang keluar dari mulut Lidia benar-benar konyol, bagaimana bisa dia berseru senang padahal jelas-jelas dikirim ke kandang monster.

Di balik kemudi Angga tersentak, ia segera menginjak rem dalam-dalam, membuat Helen dan Lidia menjerit kaget. Nafasnya menderu ketika mobil berhasil berhenti di jarak yang tepat, memandang syok sekaligus kesal pada seorang pria yang berdiri di depan mobil sambil merentangkan tangan. Albert membuka jendela, “Hei apa kau gila?” tegurnya sambil menjulurkan kepala keluar jendela. Laki-laki itu malah jusru tersenyum lebar dan berjalan mendekati Albert.

“Kalian rombongan dari pemerintah yang dikirim ke Jakarta, kan?” ujar pria itu, membuat Angga tercengang. 

“Darimana kamu tahu?” tanya Angga yang langsung disambut dengan raut wajah sesal dari Albert karena secara tak langsung ia mengiyakan pertanyaan orang asing ini.

“Ini kan misi rahasia!” tegur Albert dengan bisikan. 

“Dari plat merah mobil kalian,” sahut pemuda itu polos masih dengan senyum lebarnya, laki-laki itu langsung membuka pintu mobil dan merangsek masuk, duduk di sebelah Helen.

Lihat selengkapnya