[Sudah Terbit] Jakarta's Ruin

Arisyifa Siregar
Chapter #5

4. Mengendap-endap


“Masuk! Masuk semua!” Teriak para anggota TNI yang berdiri di belakang pintu truk militer yang terbuka, “Wanita dan anak-anak!” seru salah satunya ketika beberapa laki-laki mencoba untuk menerobos masuk terlebih dahulu.

Jeritan terdengar dari segala penjuru, kepanikan muncul dari setiap orang yang berlari keluar dari rumahnya. Anak kecil menangis ketakutan sementara para ibu berusaha keras membuat mereka tetap tenang. Di sisi lain beberapa kilometer dari tempat mereka seekor kambing merintih pedih saat satu obs melompat masuk ke dalam kandang dan menggeragoti perutnya.

Di tengah jalan seorang anak kecil berusia sekitar enam tahun kaku di tempatnya berdiri, melihat kedua orang tuanya ditarik obs dan dirobek kulit lengannya. Salah satu tentara yang sedang lewat untuk menyisir penyintas melihat dan langsung berlari menyambanginya, memegang pinggang anak itu dan menggendongnya di bahu.

“Mamaaa! Bapaaak!” teriaknya meronta-ronta hingga tentara itu kesulitan membawanya. “Mamaaa!” ia menggigit bahu tentara tersebut hingga pria itu merintih sakit dan tidak sengaja melepasnya dari gendongan. Anak kecil itu kembali berlari mendekat ke arah rumahnya, 

Sepasang tangan menangkap anak itu dan dengan sigap menggendongnya berlari, dia gadis berusia enam belas tahun yang juga kakak dari anak laki-laki tersebut. “Pak! Tolong!” panggilnya kepada tentara yang tadi digigit adiknya. Pria itu segera berlari menghampiri, merangkul kedua anak itu, mendorong mereka ke arah tentara lain yang langsung membimbing langkah mereka menuju truk dan tidak melepas keduanya sampai menaiki truk.

“Aaak!” teriak tentara tadi, lehernya digigit obs wanita berpakaian daster yang tiba-tiba muncul entah dari mana, wajah obs itu hitam pekat sementara darah memenuhi sekitar mulutnya. Kulit-kulit tangannya penuh dengan luka bakar, melepuh di setiap incinya. Mengaum seperti singa kelaparan.

Hanya tersisa satu truk yang bisa diisi oleh warga laki-laki, mereka berbodong-bondong berlari, berusaha menghindar dari para obs yang mencakar dan mengigit apapun yang ada di hadapan mereka. Teriakan bergemuruh dari segala sisi. Dalam sekerjap mayat berserakan di mana-mana, seorang korban laki-laki yang terkapar di dekat kandang anjing kejang-kejang setelah sepuluh menit tak sadarkan diri. Ia mencoba berdiri dengan kaki dan tangannya yang kaku. Tak bisa melihat apapun, tak bisa pula mengangkat kepalanya dengan tegak. Seperti ada aliran api yang menjalar dari perutnya yang robek, melewati tenggorokannya dan meledak di kepala. Ia berteriak, namun teriakannya terdengar seperti geraman kencang. Penglihatannya hilang, tapi telinganya mendengar apapun hingga hal yang paling pelan, sangat bising dan membuat kesal.

Truk tidak cukup untuk mengangkut semua warga, truk terakhir yang berisi tumpukan laki-laki yang sangat sesak menyusul truk lain yang sudah berangkat terlebih dahulu. Orang-orang yang tersisa berlari mengejar truk-truk tersebut sambil berteriak dan bergelantungan untuk mereka yang berhasil menggapai badan truk. Sementara yang ada di dalam truk, membalas teriakan mereka, menangis juga terdiam syok melihat orang-orang yang berlari itu satu persatu digigit para obs. Beberapa orang yang memang anggota keluarga mereka dan orang yang mereka kenal bangkit lagi dengan keadaan yang menyeramkan. Membuat ketakutan mereka semakin menjadi. Para Ibu memeluk tubuh anak mereka yang gemetar dengan kedua tangan mereka yang juga gemetar.

“Bersembunyi di tempat yang aman! Kami akan kembali lagi menjemput kalian!” teriak satu tentara yang juga bergelantungan di pintu truk paling belakang sambil melemparkan tembakan peluru ke beberapa obs. Truk pun berjalan semakin kencang dan tak bisa dikejar. Mereka berteriak, menjerit sambil mencoba berlari mencari tempat perlindungan. Menunggu truk lain yang akan datang menjemput atau tidak sama sekali.


Albert menepuk bahu Angga, “Berhenti!” tuturnya hingga Angga meminggirkan mobil dan menginjak rem. “Apa itu?” gumam Albert, membuat seisi mobil menengok ke arah yang sama. Mereka memperhatikan perkampungan yang berjarak sekitar lima ratus meter dari bawah jembatan layang tempat mereka berada saat ini.

“Itu asap yang berasal dari ledakan bom,” duga Angga, menjulurkan kepalanya keluar jendela mobil.

“Militer!” seru Lidia, melihat rombongan truk yang berjalan ke arah mereka. Di depan barisan truk itu ada sebuah mobil land rover yang memimpin, mobil tersebut berhenti tepat di sebelah mobil mereka. Seseorang keluar dari kursi depan dan menghampiri Albert yang juga segera keluar dari mobil.

“Maaf pak, lebih baik anda arah!” ujar tentara terdapat dua baris pangkat berwarna kuning di seragam dinasnya.

Tanpa banyak bicara Albert langsung mengeluarkan selembar kertas dari saku di dalam jaket kulit hitam-nya, Praka Satu tersebut langsung mengambil kertas yang Albert berikan padanya, membukanya dan membacanya dengan seksama.

Detik kemudian ia langsung menurunkan kertas yang merupakan surat tugas itu dari depan wajah, mempertegap dirinya dan memberikan hormat pada Albert. Albert mengambil lagi kertas di tangan Sertu tersebut dan memasukkannya lagi ke dalam jaket.

“Jadi seluruh warga di sana,” Albert menunjuk ke arah perkampungan, “sudah di evakuasi?”

“Siap, izin menjawab! Belum semua, truk tidak cukup untuk mengangkut semuanya,” sahut Sertu tersebut dengan lantang.

“Pastikan kalian kembali lagi dan mengevakuasi sisanya,” ujar Albert lalu berjalan kembali masuk ke mobil. “Kita ke sana,” terangnya sambil menutup pintu dengan tangan kiri, “Pasang dan nyalakan semua kamera, dan siagakan pistol kalian. Kita mengarah ke perkampungan itu.”

“Tapi aku tidak punya pistol?” protes Joko, tak mendapat tanggapan dari Albert.

“It would be interesting!” gumam Angga sambil kembali menginjak pedal gas.

Di sepanjang perjalanan mereka menemui orang-orang yang berlari meminta pertolongan dan tumpangan, menyadari bukan itu yang akan mereka lakukan, Adam membuka jendela mobil yang ada tepat di sebelahnya dan berteriak pada setiap orang yang mereka lewati. “Terus berlari ke arah sana,” menunjuk ke arah mereka datang, “di sana masih aman!”

Melihat sikap Adam, Lidia dan Helen pun melakukan hal yang sama, mengatakan hal tersebut pada setiap warga yang mencoba memberhentikan mobil mereka. Joko terdiam, memikirkan bagaimana ia harus bertahan sampai menemukan Dina sementara dia satu-satunya yang tak punya senjata.

Tangan Lusi dingin, sementara detak jatungnya mulai bisa didengar oleh telinganya sendiri. Ia terus mengepal kemudian membuka telapak tangannya, mengepal dan membukanya lagi, terus menerus sambil menghirup nafas dari hidung dan mengeluarkannya dari mulut perlahan. Yang terpenting adalah mengatur pikirannya untuk tidak panik. Karena keadaan di depan matanya ini bukan apa-apa ketimbang yang akan mereka hadapi nanti, pikirnya. Ia harus siapkan mental dan fisiknya, ia harus menguatkan dirinya untuk menghadapi yang terjadi apapun di tempat tujuan mereka nanti.


Di depan layar raksasa Rama dan Dony berdiri, memonitor setiap gambar yang ditangkap kamera ke tujuh orang yang mereka kirim. Seseorang staf kementerian datang dan memberikan ponsel kepada Rama, “Menteri Pertahanan menelepon, Pak.” Pria itu menyodorkan ponsel tersebut dan segera diambil oleh Rama.

“Ya, Pak. Ini saya,” ucapnya begitu menempelkan ponsel di samping telingan.

“Kami sudah berhasil mengevakuasi sekitar tiga ratus orang dari perkampungan di daerah Kalimalang yang baru diserang. Kami akan berusaha mengirim truk lain juga helikopter untuk mengangkut sisa jiwa yang masih selamat. Saya butuh setiap data terkini dari tim yang anda kirim ke sana se jam sekali,” ujar Menteri Pertahanan yang berusia enam puluh tahun itu.

Lihat selengkapnya