Sudah Tiba Saatnya

Martha Melank
Chapter #1

Suatu siang di bawah Pohon Trembesi

Butuh waktu berapa lama untuk mencintai apa yang kita lakukan? Pertanyaan itu akhir-akhir ini sering kali hadir di pikiran Dahlia, seorang wanita berusia tiga puluh dua tahun dengan karir bagus yang sedang kebingungan dengan tujuan hidupnya. Di hadapannya berdiri seorang perempuan tua memegang sapu berukuran lebih besar dari tangkai pergelangan tangannya. Ia terlihat bersusah payah mengangkat benda yang terlihat berat itu dan berjalan terseok mengumpulkan guguran daun-daun pohon trembesi di sepanjang taman tempat Dahlia biasa menyantap makan siangnya. Wajahnya selalu tersenyum, tidak terlihat lelah sama sekali. Peluh keringat yang turun deras dari atas kepala dibiarkannya melewati telinga lalu menjalar turun ke leher dan hilang terserap kerah pakaian seragamnya berwarna kulit jeruk. 

"Sudah makan Bu?” tanya Dahlia tanpa basa-basi menyentuh pundak Ibu itu.

Dengan wajah sedikit kaget, ia mencoba tersenyum, kepalanya menggeleng. Tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. 

Dahlia menggandeng tangannya dan kemudian mengajaknya ke arah bangku taman. Kepalanya celingukan seperti mencari sesuatu atau seseorang, mungkin khawatir akan tertangkap oleh atasannya karena berhenti bekerja, walau saat itu adalah jam makan siang.

“ Yuk,kita makan.” Dahlia menangkap kekuatiran di mata sang Ibu.

Dahlia mengeluarkan makan siangnya dari dalam tas bulat berwarna biru. Satu kotak makan besar berisi nasi. Satu kotak makan berisi sayur dan dua kotak lain berisi lauk dan buah. Dahlia mengisi piring pertamanya dan diberikan kepada Ibu yang sedang memperhatikan Dahlia dengan raut wajah bingung.

Wangi bunga melati yang terbawa angin sesekali berhembus di dekat mereka duduk. Masih tanpa suara, Ibu itu dengan lembut memasukkan suapan demi suapan ke dalam mulutnya, dikunyah makan siangnya dengan perlahan sambil sesekali terlihat matanya mencuri pandang ke arah Dahlia yang juga sedang asik makan. 

“ Kenapa Bu? Bingung ya?”tanya Dahlia. 

“ Nama saya, Ani. Nama Ibu siapa?” ia balas bertanya. 

Suaranya lembut seperti wajahnya. Entah bagaimana perempuan lembut ini bisa memilih pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik, bertahan dari sengatan sinar matahari dan tidak jarang hujan yang disertai angin kencang. 

“ Dahlia. Nama saya Dahlia.” jawab Dahlia setelah beberapa lama terdiam.

“ Saya terima kasih sudah diajak makan Bu.” katanya dengan suara pelan, hampir tidak terdengar.

“ Sama-sama Bu. Nanti kita janjian ketemu lagi untuk makan masakan Ibu. Gimana?” tawar Dahlia sambil tertawa. 

Matanya berbinar, bibirnya tersenyum lebar dan kepalanya berkali-kali mengangguk. 

Lihat selengkapnya