Sudah Tiba Saatnya

Martha Melank
Chapter #4

Akhirnya Bertemu

Perjalanan demi perjalanan membawa Dahlia kepada satu pengertian bahwa kita hanya akan menemukan apabila kita mencari. Dahlia memutuskan untuk rehat sebentar, memisahkan diri dari rutinitas pekerjaannya supaya bisa memutuskan dengan jernih. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam saat Dahlia sampai di Stasiun Gubeng Tambaksari. Stasiun lama itu sedang di renovasi. Penunjuk jalan yang ia sewa mengabarkan bahwa jemputan mereka akan telat setengah jam. Demi menghabiskan waktu, Dahlia mengambil peta yang tersedia di depan stasiun untuk panduan para pelancong. Dengan tinggi badan rata-rata orang Asia, berada di tengah-tengah kaum Kaukasia membuatnya hampir tidak terlihat. Dahlia mengenakan kaos hitam dengan cetakan wajah John Lennon, celana jeans dengan sobekan di bagian lutut, tas ransel ukuran sedang dan topi anyaman berwarna merah jambu yang selalu dibawa nya kemanapun ia pergi berpetualang. Seorang turis asing dengan kulit wajah coklat hasil paparan sinar matahari yang terlalu sering, berambut gelap dan bermata coklat, menghampiri lalu menyapanya,

“ Hi. Permisi. Punya rokok?” tanyanya dalam bahasa Indonesia, cukup mengejutkan Dahlia.

“ Ada di toko sebelah.” jawabnya singkat. Matanya masih memandangi peta. 

“ Sebelah mana?” rupanya turis ini minta Dahlia membantunya.

Dahlia yang sedang asik membaca peta mau tak mau menatap wajah laki-laki di hadapannya, kemudian mengangkat ranselnya dan berdiri dari tempat duduknya menuju toko yang ia maksud. Mereka berdua berjalan ke arah minimarket dan sepanjang perjalanan laki-laki dengan tinggi dua kali tinggi badannya itu menanyakan banyak hal kepadanya. 

" Punya pacar?" laki-laki itu bertanya tanpa basa-basi.

Dahlia tertawa sambil berlari meninggalkan laki-laki tadi yang menyembunyikan senyumannya. Mini bus yang akan membawanya pergi sudah datang. Telepon genggamnya berdering menandakan bahwa mereka akan segera berangkat.

“ I’ll see you around girl.” 

Dahlia hanya melambaikan tangannya tanpa membalikkan badannya pergi menjauh meninggalkan laki-laki yang entah siapa namanya.  

Bis kecil berwarna putih membawa Dahlia dan enam orang lainnya pergi dari Tambaksari menuju Banyuwangi. Disamping Dahlia, ada seorang wanita berambut pirang dan logat Jawa kental tersenyum menyapanya. Di kursi belakang ada tiga laki-laki yang sedang sibuk dengan gawainya dan di kursi depan seorang wanita yang sepertinya sedang kelelahan. Ketua tim mereka adalah seorang laki-laki berumur pertengahan dua puluhan berwajah seperti penyanyi cilik Bondan Prakoso. Perjalanan kurang lebih enam jam dari Tambaksari ke Banyuwangi Dahlia habiskan dengan tidur, mempersiapkan fisiknya karena jam empat pagi mereka berencana mendaki Gunung Ijen. Dahlia mencoba memejamkan mata diiringi musik yang entah memainkan lagu apa karena dalam waktu sekejap ia seperti hilang terbawa mimpi.

Ini kali pertamanya naik gunung dengan ketinggian dua ribu tiga ratus meter di atas permukaan laut. Dahlia tidak mencari tahu perjalanannya akan seberat apa, karena kuatir ia akan mengurungkan niatnya. Satu hari yang lalu ia masih di atas kasur, lalu hari berikutnya ia sudah ada di kaki Gunung Ijen, tanpa rencana. Mengenakan celana legging ketat berwarna hitam dan baju hangat tebal berwarna pastel, sandal gunung yang dibelinya tiga tahun yang lalu, syal dan jaket berwarna kuning muda. Jam empat pagi Dahlia sudah berada bersama ratusan pendaki lain. Dua teman barunya sepertinya sudah berjalan di depan. Lampu senter kecil yang dibawa para pendaki cukup membantunya menemukan jalan. Baru berjalan beberapa langkah, ia lantas bertanya kepada dirinya sendiri, kenapa ia serandom ini. Pada sepuluh menit pertama, ia berjalan tanpa henti dengan kemiringan tiga puluh derajat, nafasnya sudah mulai berkejaran. Dahlia menyandarkan tubuhnya di dalam sebuah pos yang memang disediakan untuk para pendaki beristirahat. Udara pagi itu katanya lebih dingin dari biasanya, tak heran mampu menembus beberapa lapis pakaian tebal yang Dahlia pakai. Perpaduan antara udara dingin yang menusuk hingga ke kulit dan degup jantung yang tidak beraturan. 

" Pertama kali naik gunung?” tanya laki-laki di sebelahnya yang tampak santai dengan sebatang rokok di tangannya.

“Keliatan banget ya?” Dahlia menjawab dengan senyum menahan malu.

“ Gimana rasanya?” laki-laki itu berusaha membuat Dahlia nyaman dengan keadaannya. 

“ Kalau baru sepuluh menit sudah begini kuatir sepertinya tidak akan sampai puncak.” jawabnya.

“ Niatnya apa?” tanyanya lagi sambil menghembuskan asap rokoknya.

“ Inginnya melihat matahari terbit.” kata Dahlia sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya.

“ Kalau cuma lihat matahari terbit, dari sini juga bisa.” laki-laki itu menjawab dengan nada tertawa.

Dahlia yang penasaran seperti apa wajah laki-laki yang sengaja menantang dirinya itu. Ia lalu memalingkan wajah ke arahnya. Saat duduk bahunya jauh lebih tinggi darinya, bentuk wajah segitiga, berkacamata bulat. Dilihat dari perlengkapan yang dibawanya sepertinya memang pendaki. 

“ Mau lanjut?” tanya laki-laki itu sambil berdiri mengambil tongkat yang memang biasa digunakan para pendaki untuk menumpu dan menahan beban tubuhnya saat kondisi menanjak atau menurun.

Dahlia diam tidak menjawab. Laki-laki itu pun tidak menunggu jawaban Dahlia. Ia langsung berjalan pelan menjauhinya. Merasa percaya bahwa laki-laki ini bukan tipe peganggu, Dahlia memutuskan untuk berjalan mengikuti langkahnya. 

Mereka berjalan berdampingan, tanpa suara. Dahlia sepertinya tidak mau terlihat lemah. Ia berusaha mengikuti ritmenya yang ia yakin dengan sengaja memperlambat langkahnya. Nafasnya yang tersengal-sengal, ia coba untuk sembunyikan tapi tetap saja terdengar sampai belakang. Dahlia yang berada satu langkah di depannya ikut menghentikan langkah ketika didapatinya laki-laki itu tidak lagi disampingnya.

“ Istirahat lagi? Yang lain sudah berjalan jauh, nanti kita tertinggal.” nada khawatir terdengar dari suaranya.

“ Kalau mereka sampai lebih dahulu kamu keberatan?” jawabnya santai.

“ Nggak gitu juga si. Tapi kalo mereka jalan terus kenapa kita berhenti?" tanya Dahlia penasaran.

“ Mereka punya alasan mereka sendiri, kita ngga perlu tahu. Yang aku dengar nafasmu berat dan kita harus berhenti.” jawabnya tegas.

Lihat selengkapnya