Bagaimana waktu pelan tapi pasti memaksa kita menyadari bahwa tidak ada yang lebih penting darinya. Jarak dari rumah Dahlia ke kantor terbilang jauh dan cukup memakan waktu. Dahlia tidak sendiri, banyak orang bernasib sama sepertinya. Tinggal di pinggiran karena tidak mampu membeli rumah atau membayar sewa di tengah kota dengan harga yang tidak masuk akal. Mengorbankan waktu terbuang demi bisa mencukupi biaya hidup dari gaji. Berdiri di atas kendaraan selama berjam-jam sudah bukan lagi hal baru untuknya. Mengejar bis kota, berdiri berdempetan dengan penumpang lain dengan pipi menempel pada kaca sudah menjadi pemandangan sehari-hari dan Dahlia bagian dari kondisi itu. Hingga duduk di pijakan tangga bus pun pernah dialaminya.
Ada kondisi yang membuat jiwanya memberontak karena seolah-olah hidup tidak memberinya pilihan, padahal ia saja yang tidak peka menangkap potensi di dalam dirinya yang mungkin memberinya banyak pilihan dalam hidup. Dahlia merasa dirinya dikendalikan oleh rasa takut yang membuat jiwanya tidak bebas. Rasa takut kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, rasa takut kesehatannya tidak terjamin, sehingga jiwanya terikat dengan hal-hal seperti itu sehingga melakukan hal-hal yang sesungguhnya tidak ia suka hanya untuk mengatasi rasa takutnya.
Dahlia kecil adalah seorang pemberani yang pernah tersesat dari group kemping sekolahnya karena kacamata minus lima nya yang jatuh dan pecah. Kala itu jam empat pagi, Ia tidak bisa melihat dengan baik, tertinggal dari kelompok dan hampir masuk ke dalam jurang karena hanya mengandalkan cahaya lampu yang ia lihat ternyata ada di seberang jurang. Beruntung ia selamat dan akhirnya bisa sampai ke tenda tanpa bantuan siapapun. Sedari umur 10 tahun ia meyakini bahwa ada kekuatan besar yang melindunginya, bagaimana ia menjalin hubungan dengan penciptaNya disaat semua orang meninggalkannya bukanlah pengalaman yang dapat dengan mudah ia lupakan.
Di kantor Dahlia adalah seorang pimpinan tetapi ketika berada bersama dengan penumpang lain, ia merasa ia bukan siapa-siapa. Bahwa ia setara dengan mereka yang mungkin adalah seorang pramuniaga toko, atau pekerja sosial yang juga berjuang untuk bertahan hidup, sama sepertinya. Datang paling pagi supaya ia memiliki waktu untuk berganti pakaian dan mengenakan makeup. Mengganti sandal jepit dengan sepatu, berganti kaos oblong dan celana jeans robeknya dengan blazer yang walaupun ber merk lokal, setidaknya dikenal dan bisa membuatnya terlihat profesional. Menyemprotkan parfum yang rela dibelinya seharga tiket pesawat yang bisa membawanya berpetualang. Semua itu dilakukannya semata-mata untuk menjaga citra institusi yang menaunginya. Menyadari bahwa jabatan adalah baju harus yang ia kenakan dengan sempurna karena ia dibayar untuk itu.
Selama beberapa waktu belakangan Dahlia menyadari bahwa semua hal yang dia lakukan selama ini tidak ia lakukan untuk dirinya tetapi karena rasa tanggung jawab. Ia sungguh merindukan jiwa kecilnya yang bebas, yang melakukan apapun yang ia suka tanpa berpikir panjang.
Pagi itu ia mengenakan blazer terbaiknya. Wajahnya dipulas dengan makeup sederhana namun memberi kesan segar pada wajahnya. Disemprotkan parfum mahalnya ke area dekat leher dan pergelangan tangannya. Dipakainya sepatu berhak runcing yang membuatnya merasa bahwa tidak ada masalah di dunia ini yang tidak bisa diselesaikan karena sakit yang ia harus tanggung selama mengenakan sepatu jahanam tersebut, lalu dipesannya taxi menuju kantor.
“ Mba, kamu mau ketemu siapa? Ngga biasa-biasanya rapih?” tanya Ibu yang hampir tidak pernah melihat Dahlia mengenakan pakaian pantas.
“ Ketemu Pak RT Bu,” celetuknya sambil mendaratkan ciuman di punggung telapak tangan Ibunya begitu taxi yang dipesannya terlihat sudah parkir di depan teras rumah mereka.
“ Bukannya rumah Pak RT di blok sebelah Mba? Kok sampe naik taxi?” Ibunya yang sebenarnya cukup kritis tampak bingung melihat polah anak sulungnya itu dan tidak menerima begitu saja penjelasannya tapi kemudian menyerah karena pertanyaannya tidak digubris.
Perjalanan selama satu jam setengah ia manfaatkan untuk bersama dengan dirinya sendiri. Tidak lagi berdesakan di pintu bis dengan seribu satu aroma yang tidak bisa ia hindari. Tidak perlu berpanas-panasan sehingga riasan wajah nya tidak luntur begitu ia sampai di meja kerjanya. Tidak lagi ketakutan bahwa hari itu ia akan menerima perlakuan tidak pantas dari laki-laki yang memanfaatkan situasi untuk memuaskan nafsu birahi nya. Dibukanya jendela mobil dan dengan sengaja dikeluarkan wajahnya, barangkali hempasan angin membuatnya tersadar bahwa ia berhak untuk mendapatkan kebaikan dalam hidup. Bahwa hasil jerih payahnya selama ia bekerja boleh ia nikmati. Air matanya turun. Entah bahagia entah kesedihan, tidak lagi ia pikirkan. Dia merasa bahwa selama bertahun-tahun ia sudah bersikap tidak adil kepada dirinya sendiri
Langkahnya ringan keluar dari taxi, berjalan pelan menuju ruangannya di lantai tiga puluh delapan dari empat puluh lantai bangunan pencakar langit yang cukup punya nama. Disambut satpam kantor yang selama sepuluh tahun bekerja hanya melihatnya saat jam istirahat dan tidak pernah melihat Dahlia datang atau pulang dari kantor, mungkin karena pakaian dan penutup wajah yang dipakainya. Sesampainya di meja kerja, dikeluarkannya selembar kertas yang dimasukkan ke dalam amplop putih polos tak berlogo, menandakan bahwa surat yang dia serahkan tidak mewakili perusahaan dan bersifat pribadi. Dahlia duduk di kursinya, menarik nafas panjang lalu berjalan ke ruangan HRD.
Pagi itu suasana ceria, seperti biasa. Beberapa pegawai sengaja datang lebih pagi agar bisa sarapan bersama dan sekedar mengobrol menceritakan kebodohan yang mereka temui pagi itu. Suara riuh tawa biasanya akan menjadi hening seketika saat Dahlia masuk hanya sekedar untuk membuat kopi atau membuat sarapan. Sama seperti pagi ini, Dahlia hanya berdiri dibalik partisi kaca besar dan melihat beberapa orang mengangguk dan menyapanya selamat pagi yang kemudian hanya ia balas dengan senyuman. Ruang HRD letaknya berseberangan dengan area pantry sehingga mau tidak mau Dahlia harus melewati rekan-rekannya yang saling mengaitkan siku lengan mereka ketika ia berjalan memasuki ruangan HRD.
Diketuknya ruangan salah satu koleganya itu sebelum ia masuk dan berjalan menuju kursi di hadapannya. Rahayu, begitu nama Manager HRD di tempat ia bekerja. Usianya empat puluh lima tahun, perawakannya kecil, bicaranya tegas dan teratur, tapi juga mengayomi. Plegmatis, mungkin sama seperti karakter semua orang yang mengurusi bidang kepegawaian.