Sudah Tiba Saatnya

Martha Melank
Chapter #9

Hey, Kamu Cantik!

Dahlia memutuskan untuk terus berjalan tanpa ada keingintahuan di depan sana ia akan berhadapan dengan apa, disingkirkan semua rasa takut dan memilih untuk menjalani. Beberapa alamat tempat kursus merias wajah yang ia tulis di buku agendanya, ia kunjungi satu per satu. Dahlia mulai memahami bahwa dirinya bahagia jika bisa membuat orang lain bahagia dan kebanyakan perempuan akan bahagia ketika mereka melihat dirinya terlihat cantik di depan cermin. Kegemarannya merias wajah berawal saat ia tergerak membantu kawannya yang kekurangan biaya saat pernikahannya. Memang hasil riasannya tidak seperti para perias wajah profesional, karena kosmetik dan peralatan yang digunakan pun seadanya saja, tetapi senyuman di wajah mereka saat selesai dirias lalu bercermin tidak akan pernah Dahlia lupakan.

Bau khas kereta kembali diciumnya. Tas punggung kecil yang selalu ia bawa tidak sepenuh biasanya. Baju flanel kesukaannya, tidak perlu lagi ia ganti. Stasiun kereta Tanah Abang masih ramai di jam-jam menuju makan siang. Dahlia berdiri di sisi jalan menunggu ojek online pesanannya. Seorang perempuan berkerudung dengan helm warna hijau menghampiri dan menyapa,

“ Ibu Dahlia?” sapanya dengan suara khas berlogat Jawa yang diiyakan langsung oleh Dahlia. 

“ Hari ini banyak pelanggan Bu?” tanya Dahlia saat mereka di atas motor.

“ Lumayan Mba. Bisa ditabung untuk bayar kuliah anak.” jawab perempuan itu singkat.

Dahlia tidak meneruskan pembicaraannya. Pikirannya tidak dibiarkannya melanglang buana seperti yang selalu ia lakukan. Setiap manusia memiliki ujiannya masing-masing. Dibiarkannya suara bising klakson menyita perhatiannya sehingga ia tidak perlu memikirkan nasib semua makhluk di muka bumi. Dahlia mudah sekali tersentuh dengan peristiwa apapun yang ia lihat atau ia dengar, sehingga seringkali ia merasa memiliki tanggung jawab untuk membantu mereka dan akhirnya menjadi beban pikirannya dan cukup membuatnya kelelahan.

Saat ini Dahlia lebih memilih untuk menyaring pikirannya, menyadari bahwa ia pun manusia yang memiliki segudang masalah yang harus ia selesaikan sendiri. Ia ingin memastikan bahwa ia sudah menolong dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum ia menolong orang lain. Mungkin karena ia paham bagaimana sulitnya hidup tanpa bisa mengandalkan siapapun, ia bisa merasakan penderitaan mereka dan tergerak untuk menolong. Istri yang harus mencari nafkah karena suaminya terlalu malas bekerja, atau seorang anak yang mendapat perlakuan kasar dari orang tua mereka, selalu memberinya kesedihan.

Sudah hampir sepuluh tahun, ia berhenti menonton televisi. Berita-berita bencana alam , tindakan kriminal, selalu membuat hatinya sedih sehingga ia memilih untuk menghindar karena merasa ia tidak mampu berbuat apa-apa untuk mereka. Terlalu banyak melihat ketidakadilan dalam hidup membuatnya memiliki gambaran ideal bagaimana manusia seharusnya diperlakukan.

Tempat kursus pertama yang ia kunjungi cukup besar dan nyaman. Cukup profesional terlihat dari seragam yang mereka kenakan dan interior design kantor yang cukup enak dipandang mata.

Lihat selengkapnya