Sudah Tiba Saatnya

Martha Melank
Chapter #10

Tidak Semudah Menggoreng Bakwan

Hari pertama Dahlia mengikuti kursus merias dan terlihat gugup. Teman-teman sekelasnya tampak siap dengan koper berisi peralatan make up lengkap sementara ia hanya membawa kantong plastik berukuran besar berisi peralatan make up yang sekarang tersusun rapi. Ada kuas-kuas dan berbagai jenis kosmetik yang memenuhi meja rias dihadapannya. Sambil menunggu modelnya tiba, Dahlia menyapa teman-teman barunya, yang sepertinya baru berusia dua puluh tahunan.

" Hai, kamu anak baru ya?” tanya seorang perempuan berwajah cantik setelah Dahlia menyapanya.

Dahlia hanya tersenyum dan mengangguk. Seperti mesin diesel, Dahlia butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Namun setelah kenal cukup lama, mereka tidak akan pernah ingat bagaimana Dahlia di awal mereka berkenalan. Ia sulit mengeluarkan sisi terdalam dalam dirinya karena ia tidak ingin sifat aslinya diketahui orang dan memberi orang keleluasan untuk menyakiti hatinya yang mudah sekali tersentuh. Teman-teman yang ada di kontak telpon genggamnya adalah teman-teman yang ia miliki saat ia di sekolah dasar, bukan teman-teman baru yang ia temui dalam satu komunitas walau ia tergabung dalam beberapa komunitas travelling. Baginya hubungan pertemanan hanya bersifat sementara dan di permukaan. Saling menyapa dan menikmati waktu bersama, tanpa melibatkan emosi apapun.

“ Ini kelas kamu ke berapa?” Dahlia membuka percakapan sambil tangannya sibuk merapihkan peralatan riasnya yang sudah tertata rapih karena bingung harus melakukan apa lagi.

“ Ketiga say. Kamu gugup ya? Dibawa santai aja ya. Seru kok.” teman barunya mencoba menyemangati Dahlia karena terlihat sekali ia gugup.

Dahlia tertawa menutupi kegugupannya. Pemilik studio yang juga adalah pengajarnya menghampiri Dahlia bersama dengan seorang perempuan berkulit putih bersih dengan wajah polos. Wajahnya sudah sangat cantik tanpa make up. Mungkin tujuan pengajarnya adalah supaya mental Dahlia tidak jatuh ketika hasilnya tidak terlalu baik, Dahlia tertawa dalam hati. Disapanya perempuan berusia awal dua puluhan itu. Dahlia terlihat berusaha membuat modelnya nyaman dan mempercayakan wajahnya untuk dia lukis. Memperbaiki yang rusak sepertinya lebih mudah ketimbang, mempertahankan sesuatu yang sudah tampak baik dan tidak malah terlihat rusak ketika dilukis. 

Diperhatikan bentuk wajah wanita dihadapannya. Wajahnya persegi dengan bentuk rahang yang besar, dengan mata besar yang indah dan tulang hidung tinggi, bibir tidak terlalu tebal dan dagu lancip. Awalnya Dahlia berpendapat bahwa tantangannya hanya membuat rahang modelnya menjadi lebih ideal, tapi ternyata kenyataannya melukis wajah tidak semudah menggoreng bakwan. 

Dahlia menarik nafas panjang dan mulai menyentuh kanvas di hadapannya. Tahapan pertama adalah membentuk alis. Sepertinya membingkai wajah adalah tahapan tersulit yang harus segera ia kuasai. Pensil alis diletakkannya di sudut mata ke arah pelipis, kemudian ditandai, bola mata modelnya diarahkan untuk melihat lurus sehingga ia bisa menandai batasan tertinggi saat ia membingkai wajah. Dihubungkannya titik-titik yang ia buat dengan garis tegas lalu diarsir bagian dalamnya dengan lembut. Setelah selesai digambar, ternyata alis bagian kiri lebih tinggi dari bagian kanan, Dahlia kelimpungan. Tidak ada pilihan selain berusaha memperbaiki kesalahannya tanpa bantuan siapapun.

Dahlia mulai kembali merasa menjadi manusia. Kesalahan demi kesalahan ia lakukan hari ini dan tanpa ia sadari Dahlia kembali belajar berdamai dengan ketidaksempurnaan. Bahwa kesalahan sebesar apapun dapat diperbaiki. Hari pertama Dahlia belajar tidak hanya mengoreksi wajah tetapi juga mengoreksi dirinya sendiri. Setelah tiga jam akhirnya Dahlia memberi pulasan terakhir di bagian bibir dengan pewarna bibir berwarna merah muda. Wajah modelnya tersenyum melihat dirinya di depan cermin, Dahlia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia sudah berusaha memberikan yang terbaik hari ini, walau masih jauh dari sempurna. Setidaknya ada satu wajah yang tersenyum karenanya.

Dirapikannya peralatan merias yang telah selesai ia gunakan. Ruangan kelas sudah hampir kosong, hanya tersisa Dahlia dan pemilik studio. 

“ Gimana hari ini?” tanya Ibu Ria, mentornya.

“ Cukup berat” jawabnya singkat.

“ Jangan takut salah.” kata Gurunya melewati Dahlia yang terdiam mendengar perkataannya.

Perkataan yang sama dengan yang pernah ia tujukan untuk Airin. Lalu disadarinya bahwa kata-kata yang kita tujukan untuk orang lain adalah kata-kata yang paling kita butuhkan. Apa yang kita harapkan untuk orang lain lakukan adalah karena ketidakmampuan kita melakukan perubahan terhadap diri kita sendiri karena lebih mudah merubah orang lain ketimbang mengalahkan diri sendiri. Hari itu Dahlia diajar oleh hidup untuk melihat ke dalam dan tidak lagi peduli dengan apa yang terjadi di luar sana. 

Langkah kakinya sedikit lebih santai. Dahlia memutuskan untuk berjalan kaki sekitar tiga kilometer demi mengirit ongkos. Berjalan riang melewati kendaraan yang lalu lalang, kemudian berhenti di salah satu pusat perbelanjaan untuk sekedar beristirahat sebelum melanjutkan perjalanannya. Disandarkannya punggung ke bangku taman. 

“ Lelah sekali Kak.” suara perempuan di sampingnya mengubah rencananya untuk memejamkan mata. 

“ Ohh iya. Lumayan.” Dahlia tersenyum menanggapi wanita di sebelahnya. 

Lihat selengkapnya