Dahlia memahami cinta sebagai keseimbangan antara hati dan logika dan ia menyadari bahwa yang terjadi pada hubungannya dengan Riko adalah ia terlalu sering menggunakan logika. Lima tahun seperti tidak ada artinya. Masih dalam hitungan bulan Riko pergi darinya dan saat ini ia menikahi wanita lain. Cintakah atau hanya terbiasa?
Bunga-bunga bertaburan hampir di tiap sudut. Sepasang sejoli yang tampak sedang saling jatuh cinta. Laki-laki yang tidak pernah lalai menjaganya kini terlihat sangat bahagia bersama wanita yang parasnya cantik dan sederhana dengan pembawaan yang tenang. Dadanya sesak, kepalanya sedikit pusing, hati dan logikanya berebutan muncul di permukaan. Dahlia menarik nafas panjang, kemudian berjalan gontai mencari sudut ruangan untuk bisa menyandarkan tubuhnya. Berusaha mencerna, situasi yang baru saja dilihatnya.
Dahlia berpegang pada sudut meja, tubuhnya seperti kehilangan keseimbangan. Ia berjalan agak ke belakang untuk sekedar mengatur nafas. Berada di batas antara harapan dan realita, entah bernafas lega atau kemarahan yang nanti dipilihnya, Dahlia belum bisa memutuskan. Masih mencoba menghubungkan titik-titik yang menjadi pertanyaannya selama ini. Kenapa Riko tidak lagi mengangkat telepon darinya pada dering pertama. Kenapa ia tidak lagi memarahinya ketika bekerja melebihi jam kerja atau tidak lagi mendengar yang tidak ia katakan. Selama beberapa bulan ini Dahlia hidup dalam ilusi bahwa Riko hanya bosan dan butuh waktu sendirian. Air mata mulai membasahi pipinya dan tak coba ia hindari. Rasa marah yang entah ditujukan untuk siapa akhirnya tersalurkan. Setidaknya cukup membuat dadanya tidak lagi sesak.
“Rokok?” suara Raka terdengar jelas di samping telinganya. Entah sejak kapan ia berdiri di sana tanpa sepengetahuan Dahlia.
Dahlia mengusap air matanya dan menggelengkan kepala, menolak tawaran laki-laki itu.
“ Ngapain di sini?” tanyanya lebih lanjut seperti menolak membiarkan Dahlia sendirian.
“ Terlalu bising.” jawab Dahlia cepat, seperti tidak bisa mencari lagi alasan yang lebih tepat dari itu.
“ Kita nggak lagi di acara pemakaman. Kamu berharap apa?” Raka tertawa.
“ Hampir berpikir seperti itu setelah melihatmu di sini.” jawab Dahlia ikut tertawa menertawakan kebodohannya. dan mereka pun terdiam untuk beberapa saat.
“ Life's sucks.” Dahlia membuka percakapan.
“ Make it worth” jawab Raka sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“ Easier said than do." katanya cepat. Mata Dahlia memandang kosong ke depan. Tubuhnya berdiri di samping Raka yang menyandarkan tubuhnya pada tembok dengan pandangan ke arah dalam.
“ I hate wedding parties.”
“ Pestanya atau pernikahannya?”
“ Pestanya. Sederhana pasti lebih bermakna" jawab Raka cepat. Mereka pun terdiam dengan pikiran masing-masing.
“ Konsep pernikahan itu menarik, butuh dua orang pemberani yang berkomitmen untuk hidup bersama dan itu sama sekali ngga mudah” Raka kembali menjelaskan pendapatnya kepada Dahlia tanpa ditanya.
" Kalau dasarnya cinta pasti mudah. Beda kalau dasarnya ego, menikah itu pasti jadi beban." Dahlia mencoba menimpali.