Jika semua orang paham bahwa kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan di keluarga mana dengan orang tua yang seperti apa mungkin kita akan berhenti membandingkan dan menuntut sesuatu dari orang lain. Dahlia dilahirkan di keluarga dengan orang tua yang lengkap dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah. Orang tua nya bukan orang berpendidikan tinggi, mereka adalah orang tua yang belajar dari kesalahan mereka di masa muda karena tidak mengenyam pendidikan yang layak, pun karena kondisi orang tua mereka.
Ayah Dahlia terkenal pintar di kampungnya semasa sekolah, berbekal ijazah SD, ia datang ke Ibu Kota dan bekerja di kantor agraria sebagai administrator, lalu keluar untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Tidak lama dari itu ia bertemu dengan Ibunya yang meninggalkan kampung halamannya karena menolak perjodohan orang tuanya dan bertahan hidup dari mengasuh anak sebelum ia datang ke Ibu Kota dan bekerja di perusahaan yang sama dengan ayahnya. Mereka kemudian bertemu dan saling jatuh cinta hingga memutuskan untuk menikah. Perbedaan usia tiga belas tahun sepertinya tidak menjadi halangan untuk mereka.
Mulai dari mengontrak rumah petakan, lalu ayahnya membeli sebidang tanah dan membangunnya perlahan-lahan, mulai dari rumah dengan lantai tanah, lalu ayah dan Ibunya sedikit demi sedikit mengumpulkan uang untuk merenovasi rumah mereka hingga layak untuk dihuni dan sekarang bisa memiliki rumah untuk dikontrakan, menurut Dahlia itu adalah sebuah pencapaian. Ketika ia disekolahkan di sekolah terbaik yang ada di daerahnya, ia tidak pernah malu jika teman-teman nya merundung bahwa ia adalah anak seorang pembantu, karena Ayah dan Ibunya mengikutsertakan Dahlia dalam proses mereka berumah tangga.
Dahlia melihat bagaimana Ayah dan Ibunya bekerja sebagai sebuah team, walau terkadang posisinya tertukar karena Ibunya lebih ambisius daripada ayahnya, tapi ayahnya sangat melengkapi karakter Ibunya. Bagaimana ayahnya membuat lelucon ketika keluarga kecil mereka direndahkan dan dihina, sehingga mereka tidak pernah merasa bahwa itu adalah sebuah tekanan dan bagaimana ayahnya mengajari mereka untuk tidak perlu membalas orang-orang yang hatinya sakit. Dahlia kecil, saat usianya masih delapan tahun, membantu Ibunya berjualan makanan tradisional, jam tiga pagi mereka bangun, memarut singkong dan membuat lontong untuk diantarkan ke warung-warung pukul setengah enam pagi. Orang tuanya mengajak Dahlia berproses bersama dengan mereka, sehingga Dahlia tumbuh menjadi perempuan yang sangat realistis bahkan di usianya yang masih sangat muda.
Untuk Dahlia, saat ini keluarga mereka bukanlah keluarga miskin karena mereka pernah jauh lebih miskin dari keadaan mereka sekarang. Ayahnya selalu berkata kita adalah keluarga yang berkecukupan. Jadi jangan pernah malu akan hal itu. Ayahnya pergi tanpa meninggalkan hutang sepeserpun, malah ia sempat memberikan gaji terakhirnya untuk keponakannya di kampung halamannya supaya bisa merenovasi rumah mereka.
Dahlia memiliki hubungan yang romantis dengan ayahnya. Hampir setiap malam mereka memandangi bulan bersama di teras rumah dan menyanyikan lagu favorit ayahnya, lelaki dan rembulan, lagu milik Franky Sahilatua. Dahlia biasa menyandarkan kepalanya di bahu ayahnya sambil mengamati bulan dan bintang. Sampai usia dewasa, Dahlia masih selalu menggandeng lengan ayahnya kemanapun mereka terlihat berjalan bersama. Sepeninggal ayahnya, kehidupan Dahlia dan keluarganya seperti kapal yang terkena batu karang, kehilangan kemudi.
“Kok manyun?” suara Dahlia terdengar dari ujung pintu ruangan Raka yang terbuka lebar.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat Dahlia ada di ruangan Raka. Raka mengangkat dagunya, matanya melihat ke arah Dahlia lalu kembali ke laptop.
Merasa diacuhkan Dahlia bukannya pergi menjauh tetapi malah mendekati Raka dan duduk di hadapannya sambil tangannya sibuk dengan telepon genggamnya tanpa bicara sepatah katapun kepada Raka.
Setelah cukup lama saling terdiam, Raka akhirnya memecah keheningan dengan satu pertanyaan sederhana yang sulit untuk Dahlia jawab.
“ Siapa kamu?” Raka bertanya dengan nada lebih tinggi dari biasanya dan pandangan merendahkan.
Dahlia menatap Raka yang juga sedang menatapnya kemudian matanya berputar-putar mencari siapa yang dimaksud oleh Raka tetapi tidak menemukan satu orang pun di ruangan mereka.
“ Aku? Dahlia.” jawab Dahlia sambil menunjuk batang hidungnya.
“ Sudah berapa lama kita kenal?” tanya Raka
“ Kita berinteraksi maksudmu? Aku ngga merasa aku kenal kamu.” Dahlia meminta penjelasan lebih detail dari pertanyaan yang Raka ajukan.
“ Ya apapun itu lah. Enam bulan?” tanya Raka singkat masih dengan nada marah.
“ Kita ketemu di Dieng bulan Oktober tahun lalu, dan sekarang pertengahan Maret. Kurang lebih 6 bulan.” Dahlia menanggapi pertanyaan Raka dengan santai.
“ Kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu nggak lulus kuliah, adikmu sekarang di rumah sakit jiwa dan kamu tinggal berdua dengan Ibumu di daerah pinggiran Jakarta.”
Dahlia memperhatikan amarah di wajah Raka kemudian meletakkan handphone yang sedang digenggamnya dan memusatkan perhatiannya ke arah Raka.
“ Apakah itu masalah?” Dahlia menatap wajah Raka tajam.
“ Masalah besar Dahlia.” suaranya menggelegar cukup membuat tangan Dahlia gemetar.