Raka memandang ke luar jendela dengan pandangan kosong, tiba-tiba memikirkan hidup, kemudian tersadar ketika ia bangun di pagi hari lalu beraktivitas keluar dari rumah, ia sudah dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup yang remeh temeh walau hanya sekedar memutuskan apakah akan menggunakan kendaraan pribadi ataukah kendaraan umum. Lalu saat ia sudah memilih mengendarai kendaraan pribadi timbul lagi pilihan, apakah akan melewati jalan bebas hambatan dengan biaya ekstra atau mengambil jalan biasa dengan resiko macet. Raka percaya dengan hukum yin dan yang, bahwa dalam setiap kebaikan yang kita alami akan ada keburukan yang mengikuti, begitupula dalam setiap keburukan yang kita temui akan ada kebaikan yang bisa kita syukuri. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan karena semesta menuntut keseimbangan agar semua makhluk bisa hidup dengan berbahagia. Tapi sepertinya kali ini ia kehilangan semua teori-teori tentang hidup yang ia kuasai lewat pengalaman hidupnya di usia tiga puluh lima tahun. Mungkin karena kekuatirannya akan kegagalan lebih besar dari mimpinya, sehingga ia terus berada di lingkaran yang sama.
“ Pak, sudah baca berita hari ini?” Anto mendatangi Raka dengan langkah terburu-buru.
“ Sudah. Kamu tolong naikkan berita Dahlia jadi duta kita yang baru.” entah kekuatan darimana yang membuat ia mengambil keputusan besar itu.
“ Pak." Anto seperti ingin menyadarkan Raka bahwa keputusan yang ia ambil salah dan beresiko.
“ Lakukan sekarang. Saya sudah hubungi beberapa media. Nanti mereka akan kontak kamu.” Raka masih tetap pada pendiriannya.
“ Pak. Bapak sudah pikirkan baik-baik? Nama Bapak ikut terseret.” Anto berusaha sebisa mungkin untuk membuat Raka mundur dari genderang perang yang ditabuh oleh Amanda.
Raka tidak menjawab pertanyaan Anto. Hanya memandang Anto dengan pandangan tajam lalu mengarahkan pandangannya ke arah laptop. Anto paham bahwa Raka tidak sedang main-main.
“ Beritakan apa adanya. Kalau perlu wawancara Ibunya. Kondisi Dahlia ada kaitannya dengan citra yang mau kita sampaikan. “ Raka memerintahkan Anto yang sepertinya sudah menyerah untuk meyakinkan atasannya itu.
“ Baik Pak.” jawab Anto pelan, lalu berjalan meninggalkan Raka yang masih diam tidak bergeming di kursi kerjanya.
Anto merasa Raka hanya sedang emosi menanggapi berita mengenai kedekatan mereka yang dikaitkan dengan diberhentikannya Amanda dari proyek ini.
“ Kamu dimana?” Raka memberi pesan singkat kepada Dahlia
“ Baru bangun, siap-siap mau latihan.” tidak sampai satu menit Dahlia sudah membalas pesan dari Raka.
“ Hari ini nggak usah latihan, aku tunggu di kantor ya?” Raka memberi perintah walau tau Dahlia sangat tidak suka diperintah.
“ Ngga bisa, aku janjian sama PT hari ini.” Dahlia memberi jawaban sesuai dengan tebakan Raka.
“ Reschedule aja ke sore kan bisa.” Raka tetap bersikeras meminta Dahlia datang menemuinya.
“ Ya kamu aja nunggu dua jam kan bisa.” jawab Dahlia cepat.
“ Masalah kantor Li.” kata Raka tidak kalah cepat.
“ Masalah berat badan Raka. Ya udah, sekarang menurut kamu masalahnya lebih berat mana?” Dahlia seperti malas bertengkar dengan atasannya itu.
“ Berat badan lah.” balas Raka cepat.
“ Kan.” Dahlia menutup pembicaraan mereka lalu mengepalkan tangannya seperti gemas dengan kelakuan laki-laki itu.
Raka tidak lagi menanggapi pesan terakhir dari Dahlia dan tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Di saat seperti ini Dahlia masih bisa membuatnya tertawa dan Raka seperti kehilangan dirinya sendiri. Ia merapikan pekerjaannya kemudian beranjak meninggalkan meja kantor dan bergegas menuju tempat Dahlia latihan. Jarak tempat Dahlia biasa latihan hanya beberapa blok dari kantornya sehingga Raka memutuskan untuk berjalan kaki.
Baru setengah perjalanan, Raka melihat Dahlia yang berbalik badan menjauhinya. Raka mempercepat langkahnya dan akhirnya bisa menyusul Dahlia dan berjalan di sampingnya.
“ Aku tau apa yang mau kamu omongin.” Dahlia membuka pembicaraan.
“ Menurut kamu gimana?” tanya Raka tanpa buang-buang waktu.
Raka menghentikan langkah Dahlia sambil memutar bahunya, kemudian mengajaknya berjalan kembali ke tempat latihan. Dahlia hanya menurut saja diperlakukan seperti itu karena sejujurnya dia sendiri cukup kaget melihat berita pagi ini. Seingatnya kemarin tidak ada seorang pun yang tampak mencurigakan atau memperhatikan saat mereka makan di restoran atau menonton. Dahlia sepertinya belum siap dengan keadaan ini dan masih meraba-raba bagaimana sebaiknya ia merespon.
“ Kamu kok ga marah-marah?” Dahlia merasa heran dengan reaksi Raka yang tidak seperti biasanya.
“ Niatnya mau begitu.” jelasnya sambil membetulkan tali sepatunya yang terlepas.
“ Kepotong urusan berat badan ya?” tanya Dahlia ikut menghentikan langkahnya menunggu Raka.
Raka mengangguk sengaja menggoda Dahlia yang dari raut wajahnya masih saja tidak terlihat merasa bersalah.
“ Untung aku ngomongin berat badan ya, kan kamu ga jadi marah.” Dahlia masih bingung dengan reaksi Raka. Seharusnya setelah membaca berita pagi ini, ia akan panik dan melampiaskan emosinya kepada Dahlia. Tapi hari ini ia melihat ada yang berbeda, dan Dahlia ingin tahu kenapa ia bisa berubah dalam waktu singkat.
“ Iya si” jawab Raka singkat sambil melanjutkan langkahnya.
“ Loh kok iya si. Harusnya tu kamu nyalahin aku. Ini kamu lagi kenapa si?” Dahlia menghentikan langkah Raka dengan menghalangi jalannya.