Dahlia memahami bahwa ia tidak akan pernah bisa menemukan sahabat sejati sampai ia menemukan dirinya sendiri. Perjalanan tiap orang menemukan sahabat sering kali disalahartikan, itulah kenapa seringkali merasa saat dikelilingi oleh banyak orang selalu tetap merasa sendiri. Perjalanannya ke beberapa tempat seorang diri membuatnya paham bahwa dirinya satu-satunya yang bisa dia andalkan selain kekuatan semesta. Raka di mata Dahlia adalah salah satu dari sekian banyak orang yang dihadirkan di hidupnya untuk membantunya menemukan siapa jati dirinya sebenarnya. Semesta memberinya kesempatan untuk mengalami ini bersama dengan orang asing yang entah dari mana bisa hadir dalam kehidupannya.
Suara mesin mobil terdengar dari dalam kamar. Dahlia mengintip ke arah luar. Ia tidak bisa melihat dengan jelas karena pandangan matanya tertutup tanaman hias. Sosok laki-laki berbadan tegap yang akhir-akhir ini wara wiri di kehidupannya sepertinya datang, tanpa seijinnya. Dahlia seperti kesulitan mengatur amarahnya, dengan segera ia berlari ke arah pagar rumah tanpa mengganti pakaiannya.
Raka tampak rapi dengan baju hangat putih dan celana jeans, memegang kunci mobil yang ia masukkan ke dalam kantong celana jeans nya. Tampak kaget melihat Dahlia menyambutnya di pagar teras yang penuh dengan tanaman hias yang sekilas terlihat menggunakan kaos putih berbahan tipis dan celana pendek jeans memperlihatkan lekuk tubuhnya yang selama ini selalu ditutupinya dengan kaos atau kemeja berukuran besar. Rambutnya berantakan, wajahnya polos tanpa make up dan mengenakan kacamata berlensa cukup besar. Raka tak kuasa menahan senyum melihat Dahlia tampak marah seperti ingin menerkamnya dengan tatapan mata yang tajam.
“ Ayo kita ngobrol di luar.” Dahlia menarik lengan Raka yang dengan pasrah mengikutinya dan menurut saja ketika Dahlia memintanya membuka pintu mobil dan dengan sigap memasang sabuk pengamanan.
“ Kita mau kemana? Kenapa ga ngobrol aja di rumah?” tanya Raka kebingungan.
“ Ayo jalan.” ajak Dahlia dengan wajah menghadap ke jendela.
Raka menghidupkan mesin mobilnya dan mulai berjalan pelan menjauhi rumah Dahlia. Ekspresi Dahlia masih sama seperti pertama ia masuk ke dalam mobil. Diam tanpa satu patah kata pun. Raka menghormati keputusan Dahlia untuk diam dan mengolah emosinya.
“ Depan belok, masuk ke dalam situ.” Dahlia membantu Raka menunjukkan arah kemana mereka akan pergi.
Raka yang tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh siapapun bisa dengan sangat sabar mengikuti kemauan perempuan di sampingnya. Ada spanduk besar bertuliskan Bakso Mas Bejo. Bangunan kecil dengan parkiran cukup luas. Dahlia membuka pintu mobil kemudian masuk ke dalam dan memesan dua porsi bakso. Suara Mas Bejo cukup besar untuk di dengar Raka. Dahlia memilih tempat duduk yang tidak terlalu ramai. Dan belum sempat Raka duduk, pesanannya sudah datang.
“ Aku ngga bilang aku mau makan.” saat Raka datang menghampiri Dahlia setelah memarkirkan mobilnya.
“ Kalau kamu ngga mau makan jangan dimakan.” jawab Dahlia masih dalam keadaan marah.
Raka menggeser mangkok bakso nya ke arah Dahlia, cukup untuk memberi jawaban kalau ia tidak tertarik untuk menyantap makanan yang sudah ia pesan. Raka memperhatikan Dahlia yang menyantap bakso dengan lahapnya. Semua kemarahannya dituangkan ke dalam mangkok panas di hadapannya. Sama sekali tidak dipedulikannya Raka yang duduk diam memperhatikan. Dahlia membersihkan mulutnya lalu menghela nafas panjang sambil matanya menatap Raka tajam.
“ Aku bisa jelaskan.” Raka membuka suaranya.
Dahlia tidak mengeluarkan suara apapun. Hanya diam memandang Raka yang paham bahwa wanita di hadapannya itu sedang tidak main-main dengan kemarahannya.
“ Aku minta maaf, aku datang tanpa seijinmu. Aku dapat alamatmu dari HRD.” kata Raka dengan nada pelan.
“ You have my number.” Dahlia mencondongkan tubuhnya ke meja didepannya. Ia lebih memilih menekan suaranya ketimbang mengeraskan suara.
“ Ekspektasiku kamu akan senang melihat kedatanganku.” Raka mencoba tersenyum untuk mencairkan suasana hati Dahlia yang dinilainya terlalu berlebihan.
“ You’re a stranger. What do you expect?” Dahlia tanpa sadar menjawab Raka dengan suara lebih keras daripada sebelumnya dan sempat didengar Mas Bejo yang kebingungan dengan kata-kata asing yang diucapkan pelanggan setianya.
“ Kalo marah pake bahasa Inggris?” Raka tidak kuasa menahan tawa melihat tingkah Dahlia yang ia lihat lebih sering bercanda ketimbang serius.
“ Mau pake bahasa Batak?” tanyanya dengan mata melotot. Raka membiarkannya menuntaskan emosinya. Cukup lama mereka terdiam sampai akhirnya Raka membuka suara.
“ Udah selesai marahnya?” Raka bertanya dengan suara lembut.
“ Sedikit lagi.” jawabnya jujur. Begitulah Dahlia, selalu berusaha menjelaskan dengan tepat kondisi hatinya saat itu.
Dahlia menarik nafas panjang, mencoba mencerna alasan Raka. Mulutnya mengunyah es batu sambil sesekali melihat Raka yang memandangnya keheranan perempuan berusia di atas tiga puluh tahun yang perilakunya seperti anak sekolah dasar.
“ Kenapa ngajak aku ke sini? Tempat kesukaanmu?” Raka mencoba mencairkan suasana yang cukup tegang.
“ Aku marah tadi keluar lupa bawa dompet. Cuma ada lima puluh ribu di kantong celana.” jawabnya singkat.
“ Cukup uangnya?” Raka menggodanya berharap Dahlia akan tertawa namun ternyata ia gagal membuat perempuan ini tertawa.
“ Mudah-mudahan.” jawab Dahlia singkat.
Raka hendak tertawa mendengar jawaban Dahlia tapi diurungkannya karena wanita di hadapannya itu sepertinya masih sangat marah dengan tindakannya datang tanpa seijinnya. Raka merasa mereka sudah cukup dekat untuk ia bisa datang dan bertamu ke rumah Dahlia, tapi ternyata Dahlia tidak memiliki pandangan yang sama dengan dirinya.
“ Kalau tau uangnya belum tentu cukup kenapa pesan dua?”
“ Kalau pesan tiga lebih ngga cukup lagi.”