Amanda memasukkan foto-foto Dahlia dan keluarganya ke dalam laci meja kerjanya. Sudah tiga hari Amanda membuat rumor yang cukup intens mengenai Dahlia tetapi Raka sepertinya tenang-tenang saja.
“ Raka nggak ada hubungi kamu Ji?” tanya Amanda kepada Aji, managernya.
“ Ngga Man.” jawab Aji yang duduk dihadapannya.
“ Aneh. Bukan seperti Raka yang kukenal. Coba kamu pikirkan strategi lain yang lebih tepat sasaran. Waktu kita nggak banyak.”
“ Mau diaturkan jadwal ketemu dengan Raka?”
“ Coba cari tau jadwal dia besok.”
Amanda mengambil tas nya kemudian keluar untuk makan siang. Salon kecantikannya hari ini cukup ramai. Salon ini adalah salah satu dari puluhan bisnis yang Amanda miliki. Untuk ukuran wanita seusianya Amanda termasuk perempuan yang sukses dan memiliki segalanya. Terlihat sempurna, tampil dengan wajah tanpa cela dan jiwa sosial yang tinggi, kurang lebih begitulah citra yang ingin ditampilkan.
Beberapa penghargaan sudah ia terima walau bukan murni karena pencapaiannya. Menjadi seseorang dengan pengikut yang sangat banyak di sosial media, Amanda sadar bahwa gerak geriknya harus ia jaga. Ia tidak boleh terlihat tidak tercela. Semua orang begitu ingin menjadi dirinya. Beban itulah yang Amanda bawa kemanapun ia pergi. Raka adalah laki-laki yang ia nilai sempurna dan pantas untuk mendampinginya. Selama ini mereka hampir tidak pernah mengalami konflik. Keduanya hidup teratur, walau terkadang Amanda sering berusaha mengendalikan tetapi Raka cukup bisa memilah hal mana yang harus ia perdebatkan karena ia menilai Amanda sebagai perempuan tanpa cela bahkan cenderung seperti manekin tanpa rasa, tidak banyak yang mau diubah, mungkin juga karena Raka tidak berencana untuk hidup bersama Amanda selamanya.
Amanda sudah membayangkan masa tua bersama Raka, karena selama ini Raka satu-satunya laki-laki yang menurutnya sempurna. Berwajah tampan, pintar, bertanggung jawab, pekerja keras dan pandai berbisnis. Mereka akan menjadi pasangan yang tidak terkalahkan. Impiannya buyar hanya karena perempuan rendahan yang di matanya tidak sadar dirinya siapa. Amanda masih berpikir bahwa Raka hanya ingin menjadi pahlawan bagi perempuan ini, Dahlia bukanlah tipe wanita yang akan ia cintai seumur hidupnya. Amanda sangat memahami Raka dengan segala kesempurnaan yang dituntutnya dalam hidup. Sungguh tidak mungkin seorang seperti Dahlia masuk ke dalam kategori perempuan pilihan Raka. Ia masih membiarkan Raka bermain-main dengan hidupnya karena ia tahu cepat atau lambat Raka akan kembali ke pelukannya.
Amanda masuk ke restoran favoritnya di mall ini dan langsung menuju sudut tempat ia biasa makan. Jantungnya berhenti sesaat melihat Raka dan wanita di hadapannya. Raka tidak pernah terlihat tertawa selepas itu saat bersamanya. Bagaimana laki-laki seperti Raka bisa meletakkan serbet makan menutupi wajahnya demi membuat wanita di hadapannya tertawa dan memanggilnya Mr. Napkin lalu mereka bernyanyi bersama. Pemandangan yang baru saja dilihatnya mampu membuat emosinya memuncak. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu berjalan perlahan menghampiri dua sejoli yang menurutnya tidak punya tata krama.
“ Hai, sedang apa kalian?” tanpa basa-basi Amanda menyapa mereka dengan wajah tersenyum seperti tidak sedang merencanakan hal buruk terhadap mereka. Amanda datang sebagai teman yang kemudian disambut Dahlia dengan senyuman.
Raka menurunkan serbet di wajahnya setelah mendengar suara yang sangat tidak ingin ia dengar saat ini. Ia pun mengepalkan tangan dan Dahlia menangkap emosi Raka saat itu. Ditatapnya mata Raka lalu digelengkan kepalanya, meminta Raka untuk mengendalikan emosinya. Tidak berapa lama Raka melepaskan kepalan tangannya lalu menyentuh jemari Dahlia yang menatapnya dengan senyuman.
“ Hai. Apa kabar?” jawab Raka.
“ Keberatan kalau aku gabung dengan kalian?”
Tidak perlu menunggu jawaban, Amanda berjalan ke arah Raka. Raka pun berdiri menarikkan bangku untuk Amanda kemudian berjalan ke arah Dahlia dan duduk di sebelahnya. Melihat perlakuan Raka, Amanda pun tampak bisa menahan emosinya. Dipanggilnya pelayan resto dan memutuskan apa yang hendak ia santap siang itu.