Sudah Tiba Saatnya

Martha Melank
Chapter #25

Ini Bukan Pasar

Dahlia selalu beranggapan makan semeja dengan pengemis tidak lantas menjadikannya seorang pengemis. Baginya penting untuk melihat bagaimana ia melihat dirinya sendiri dan ketika orang lain memandangnya berbeda, pendapat mereka tidak akan memiliki pengaruh apa-apa, kecuali ia merasa pendapat mereka benar. Banyak orang beranggapan bahwa dirinya lebih baik dari orang lain karena orientasi mereka adalah hasil. Berapa mereka mendapat bayaran, prestasi apa yang sudah mereka raih, piala apa yang sudah mereka menangkan untuk akhirnya mendapat pengakuan bersama. Mereka tidak peduli terhadap proses tiap-tiap orang yang terkadang dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang harus mereka selesaikan, apapun bentuknya.

Dahlia seringkali tidak sanggup membayangkan bagaimana seorang tukang sampah harus terbiasa dengan bau busuk ketika mengangkat sampah miliknya. Ia sendiri tidak bisa menahan nafas kurang dari tiga menit, lantas bagaimana dengan mereka yang harus berjam-jam lamanya berdiri dikelilingi bau busuk tidak hanya satu rumah tapi mungkin ratusan rumah. Penghargaan apa yang mereka terima atas kinerjanya? Lantas apa yang terjadi kalau mereka tidak ada, akan jadi apa dunia ini, kalau boleh diperhibolakan. Dahlia hampir tidak memiliki idola dalam hidupnya karena ia menyadari bahwa tiap orang punya kontribusi terhadap dirinya sendiri, dihargai atau tidak oleh orang lain.

Sementara di belahan dunia ini ada seorang laki-laki yang merasa bahwa tidak ada yang paham sebesar apa cintanya terhadap pekerjaannya. Dua bulan menjelang launching, wajah Raka tampak pucat. Pemberitaan mengenai Dahlia semakin menjadi-jadi. Amanda tampaknya serius dengan kemarahannya. Rumor mengenai Dahlia sudah berkembang menjadi kebencian sesuai dengan arahan Amanda. Raka sudah berusaha mengerahkan semua kemampuannya untuk memperbaiki keadaan tetapi tampaknya strategi Amanda cukup ampuh untuk membuat publik membenci Dahlia. Sementara objek yang dibenci, tampak santai menikmati hidupnya.

Seperti hari ini, Dahlia terlihat mencoba beberapa sketsa riasan di wajah modelnya dan sesekali mereka terlihat tertawa cukup kencang hingga suaranya terdengar sampai ruangan Raka. Sudah beberapa hari ini Raka sulit tidur. Bayangan hitam di bawah kelopak matanya menunjukkan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. 

Mendengar suara tawa Dahlia yang cukup keras membuat amarahnya naik. Tidak menyangka Dahlia seegois ini. Raka seperti berjuang sendiri dan sepertinya ia sudah mulai kelelahan dengan semua drama yang Amanda ciptakan untuk merebut perhatiannya. Dengan wajah tegang, Raka berjalan menuju studio dan dengan nada keras Raka mengagetkan beberapa karyawan dan modelnya yang sedang bekerja. 

“ Kalian pikir ini pasar?” Raka menghentakkan tangannya dengan cukup keras ke atas meja. 

Seketika suara tawa dan riuh obrolan tidak lagi terdengar. Dahlia tampak kaget dengan tindakan Raka. Ia menurunkan tangannya dari bibir model di hadapannya lalu memberi kode ke arah rekannya untuk mematikan musik karena sepertinya Raka terganggu dengan suara bising. Entah apa yang menyebabkan telinganya menjadi lebih sensitif.. Dahlia tidak beranjak dari tempatnya dan tidak berusaha menenangkan Raka. Ia hanya membalikkan badannya ke arah Raka dan menatap mata laki-laki yang menjadi rekan kerjanya saat ini. Kurang lebih ada dua puluh orang di ruangan itu menghentikan kegiatan mereka. Ruangan menjadi sangat sunyi dan hampir seisi ruangan menahan nafas melihat reaksi Raka. 

“ Kalian paham rasanya membesarkan anak sendirian? Kalau tidak bisa serius lebih baik kalian bubar. Saya tidak butuh orang-orang yang bekerja setengah hati.” suara Raka menggelegar memenuhi seisi ruangan. 

Beberapa karyawannya saling melirik, dan menatap Dahlia dengan tatapan yang tidak biasa. Dahlia berusaha tetap tenang walau merasa seperti dihakimi oleh seisi ruangan. Ia tidak berusaha membantah Raka atau membela diri. Mulutnya terkunci. Dilihatnya wajah Raka yang pucat seperti menahan sakit. Dahlia merasa apapaun perkataan yang diucapkannya akan menjadi salah. Ia memilih diam dan sepertinya keputusannya tepat. Raka tidak berlama-lama, ia kemudian beranjak meninggalkan ruangan dengan wajah marah. Dahlia dan beberapa rekannya menghembuskan nafas lega setelah kepergiannya.

“ Pak Raka kenapa ya Mba?” tanya salah satu karyawannya yang bingung karena tidak pernah melihat bosnya semarah itu.

“ Sepertinya sedang tidak sehat. Dia ada dokter pribadi ngga?”  tanya Dahlia kepada beberapa orang yang dekat dengannya.

Tidak lama suara sekretaris pribadinya terdengar dari kerumunan.

“ Ada Mba. Ini kartu namanya.” 

Dahlia mengambil kartu nama yang disodorkan oleh Ita, sekretaris Raka dan berjalan menuju ruangan Raka. Di kartu tersebut tertulis dokter spesialis penyakit dalam. Sepertinya Raka memiliki riwayat penyakit yang bisa sewaktu-waktu kambuh. Diambilnya telepon genggamnya, kemudian berbicara kepada dokter yang biasa menangani Raka. 

Satu jam kemudian, Dahlia mengetuk pintu ruangan Raka, hal yang jarang ia lakukan. Tetapi Dahlia tidak mau menambah masalah, ia memaksa dirinya mengetuk pintu yang setengah terbuka. 

“ Masuk.”  suara Raka terdengar dari balik pintu.

Dahlia hanya memunculkan sebagian wajahnya ke dalam ruangan sementara tubuhnya masih berdiri agk membungkuk di belakang pintu. Raka hanya bisa melihat mata dan sebagian hidung Dahlia yang terhimpit pintu. Melihat prilaku Dahlia, Raka menutupi wajah dengan telapak tangannya sambil berharap suatu hari, entah kapan perempuan ini bisa berlaku normal. 

“ Ada keperluan apa? Kenapa ngga masuk?” Raka menghela nafas panjang sebelum berbicara dengan perempuan itu.

“ Aku kan kerjanya masih setengah-setengah.” suara Dahlia tidak terdengar jelas oleh Raka. 

“ Kamu ngga ada kerjaan atau gimana Dahlia?” Raka mencoba memahami makhluk aneh di hadapannya itu.

“ Banyak. Saya mau nawarin Rujak. Kamu mau?” tanya Dahlia masih dari balik pintu.

“ Perut saya lagi ngga enak. Terima kasih.”, jawab Raka cepat karena memang sudah dua hari ini, ulu hatinya terasa sakit. Obat yang biasa ia minum sepertinya tidak mampu untuk mengurangi rasa sakit di lambungnya. 

“ Oh. Tunggu sebentar”, kata Dahlia lalu pergi meninggalkan ruangan Raka. 

Raka menggeleng-gelengkan kepala, antara menyesali keputusannya atau kehabisan akal mencari cara bagaimana memperbaiki karakter perempuan ini. Tidak lama terdengar suara pintu diketuk dan wajah Dokter pribadinya muncul di ruangan. Ternyata Dahlia hanya membutuhkan konfirmasi bahwa perut Raka sedang dalam keadaan tidak baik. Raka yang tampak kaget melihat kehadiran dokter pribadinya, berdiri dan menghampiri sosok wanita berusia paruh baya yang selalu tersenyum itu. 

“ Loh Dok, kok bisa di sini.” tanya Raka dengan nada kaget. 

“ Iya tadi saya dapat telpon keadaan kamu katanya mengkhawatirkan.” jawabnya. 

“ Siapa yang telpon? Ita?” Raka merasa tidak meminta siapapun untuk memanggilkan dokter. Ia memang berencana besok akan memeriksakan kondisinya kalau malam ini sakitnya tidak kunjung hilang. 

Lihat selengkapnya