Amanda paham bahwa mata ganti mata hanya akan membuat seluruh dunia buta, tetapi ia tetap tidak bisa membiarkan Raka hidup dengan tenang. Sakit hatinya terhadap keputusan sepihak yang dibuat Raka sangat berdampak terhadap karirnya. Belum lagi Dahlia, perempuan yang tiba-tiba datang di hidup Raka dan menguasai pikirannya. Amanda selalu dipuja karena kesempurnaannya dan banyak laki-laki yang rela melakukan apapun untuk bisa bersamanya. Raka satu-satunya laki-laki yang meninggalkannya demi wanita lain yang sama sekali bukan tandingannya. Kemarahannya pun semakin menjadi melihat Dahlia terlihat tidak terganggu sama sekali dengan usaha yang dilakukan untuk menghancurkan hidupnya.
Dahlia masih terlihat ceria, bahkan hubungannya dengan Raka malah menjadi semakin dekat. Amarahnya semakin memuncak, karena Dahlia memiliki sesuatu yang tidak ia miliki yaitu kebahagiaan sejati. Dengan semua yang ia miliki, Amanda masih terus merasa kekurangan. Hari ini ia mengeluh mengenai bentuk hidungnya, esok hari ia mengeluh tentang betapa bosannya ia dengan mobil mewahnya. Sementara Dahlia, hanya memiliki tas rajutan buatan tangan, wajah tanpa make up, tubuh tanpa aksesoris namun bisa membuatnya merasa tersaingi.
Pagi itu Amanda sedang dalam perjalanan menuju kantornya ketika melihat wajah Dahlia terpampang di papan iklan sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. Amanda terlihat tidak bisa menahan amarahnya. Semua tekanan yang ia berikan terhadap Raka dan Dahlia tidak cukup kuat untuk mengubah rencana mereka. Amanda seperti kehabisan cara untuk menghancurkan kehidupan dua sejoli yang sepertinya sama-sama memiliki tekad kuat. Tapi bukan Amanda namanya kalau ia sampai kehabisan akal.
“ Ji, kamu bisa tolong atur waktu dengan Dokter yang merawat adik Dahlia?” Amanda menelpon Aji untuk menjalankan rencana cadangannya ketika rencananya untuk menggiring opini publik tidak berhasil.
“ Kamu harus tahu kapan kamu harus berhenti Manda.” jawab suara diseberang sana mengingatkan bahwa Amanda sudah jauh keluar dari jalur.
“ Aku bayar kamu untuk memikirkan bagaimana caranya engagement ku naik. Fokus aja sama itu. Yang lain urusanku.” Amanda menutup telponnya kemudian mengepalkan tangannya untuk sekedarkan melampiaskan rasa marahnya yang sepertinya sudah tidak terbendung.
Amanda mengambil telepon genggamnya lalu mencoba menghubungi Raka. Sudah dua hari ini Raka tidak ada kabar. Walaupun hubungan mereka memburuk namun Amanda tetap selalu memonitor keberadan Raka melalui orang yang sengaja ia tempatkan di kantor Raka. Dari laporan yang ia terima, sudah dua hari Raka tidak masuk kantor.
Amanda tidak mengkhawatirkan keadaan Raka, yang dikhawatirkan adalah bahwa ia sudah tidak bisa lagi mengendalikan situasi. Raka tidak mengangkat telponnya, laki-laki ini benar-benar sudah dalam kendali Dahlia, pikirnya. Mobil Amanda keluar dari Jakarta menuju Rumah Sakit Kesehatan Jiwa di daerah Bogor. Tangannya sibuk memeriksa timeline media sosialnya. Citra yang ia bangun dalam kurun waktu yang tidak sebentar tidak akan pernah dibiarkan rusak hanya karena seorang perempuan yang dianggapnya tidak sepadan dengan dirinya.
Berbagai kegiatan sosial Amanda ikuti untuk sekedar diliput dan dipertontonkan demi mendapat simpati publik. Tidak ada satupun kegiatan sosial yang dia lakukan di belakang layar. Beberapa penghargaan pun Amanda dapatkan dengan biaya yang tidak murah. Entah berapa banyak modal yang sudah dikeluarkan untuk bisa sampai di posisinya saat ini. Semua pencapaiannya saat ini adalah atas hasil usahanya sendiri. Itulah yang membuat Amanda kerap kali berdiri di atas angin dan merendahkan orang yang masih berada di bawahnya.
Saat kecil ia sering mengalami perundungan karena bentuk fisiknya yang terlalu kurus dan konsidi keluarganya. Laki-laki yang sangat dikaguminya pun menolak cintanya. Ibunya pergi dengan laki-laki lain yang membuat ia menjadi bahan olokan di sekolah. Citranya sangat buruk. Kebutuhan untuk diakui dan diterima oleh orang lain menjadi begitu besar sehingga Amanda menghabiskan waktunya untuk memaksimalkan potensi dirinya dengan mengikuti standar hidup orang lain hanya agar dirinya diterima di lingkungan tersebut. Harapan besarnya untuk memperbaiki citra keluarganya mulai pulih ketika ia mengikuti lomba peragaan busana saat ia berusia lima belas tahun. Amanda kemudian tumbuh menjadi perempuan cantik dengan kepercayaaan diri tinggi yang menjadi modalnya untuk sukses di kemudian hari. Ia berhasil melipatgandakan uang hasil honornya bekerja dengan mendirikan beberapa perusahaan yang kini banyak dilirik investor besar.
“ Tunggu saya ya Pak. Sepertinya saya akan lama di sini.” perintah Amanda kepada supirnya yang dibalas dengan anggukan.
Diperhatikannya gedung lama yang teduh karena pohon-pohon besar yang melindunginya itu. Disampingnya berdiri gedung baru yang bertuliskan Unit Gawat Darurat. Amanda berjalan mengelilingi tempat yang baru pertama kali ia kunjungi itu. Bukan karena ia bersimpati terhadap penderita gangguan jiwa tetapi karena adiknya adalah satu-satunya titik lemah Dahlia. Amanda tahu persis bagaimana cara menyakiti orang lain karena hampir setengah hidupnya dipenuhi peristiwa-peristiwa yang menyakitkan.
Amanda memperhatikan dari kejauhan, perilaku orang-orang yang sedang menjauh dari batas kesadaran. Beberapa berteriak tanpa sebab, dan yang lainnya tertawa tanpa sebab. Sepertinya alasan tidak lagi diperlukan untuk para penderita gangguan jiwa. Di depan Amanda, terlihat dokter jaga berseragam putih sedang menangani keluarga pasien yang mencoba mencari pertolongan karena merasa tidak ada jalan untuk mengatasi kondisi mental anggota keluarganya. Terlihat wajah-wajah lelah dan bingung karena dunianya ikut berubah ketika dihadapkan pada situasi yang tidak wajar yang sangat menguras engergi mereka.
“ Siang, Ibu ada keperluan apa? Bisa saya bantu?” tanya seorang petugas kesehatan yang memperhatikan Amanda sejak tadi tidak bergerak dari tempat ia berdiri lima belas menit yang lalu.
“ Oh iya Pak.Saya mencari dokter Jemi.”
“ Apa sudah ada janji sebelumnya?”
“ Manager saya tadi mengkonfirmasi bahwa dokter Jemi berkenan di temui jam empat sore.”
“ Oh baik Bu. Silahkan menunggu. Mau masuk ke dalam?”
“ Boleh saya masuk ke bangsal?”
“ Silahkan asal Ibu nyaman.”