Sudah Tiba Saatnya

Martha Melank
Chapter #30

Macet

Seandainya bisa memilih lahir sebagai apa, Dahlia ingin terlahir sebagai pohon besar. Matanya tidak lepas mengagumi deretan pohon trembesi yang berjejer rapi seolah mengajaknya bicara. Ketertarikan Dahlia terhadap pohon entah dimulai sejak kapan. Sewaktu kecil tidak jarang ia duduk menemani pohon kering yang sedang berguguran daunnya pada saat berjalan kaki pulang dari sekolah. Kegemarannya adalah tidur di bawah pohon besar dekat dengan rumahnya. Dahlia percaya bahwa satu-satunya makhluk yang tidak akan pernah menyakiti dirinya adalah pepohonan. Pohon hanya tau bagaimana caranya memberi dan mereka tidak menuntut apapun selain pasrah pada semesta yang menghidupinya dengan air dan sinar matahari.

Pernah satu kali ia kedapatan menangis saat di atas motor dalam perjalanan pulang bersama dengan teman kantornya melewati lahan yang sedang dibersihkan untuk dijadikan kawasan perumahan hingga temannya menghentikan laju motornya. 

“ Heh. Nangis? Kunaon?” tanya Galih teman kantornya yang usianya jauh di bawahnya. 

“ Itu orang-orang kenapa jahat? Pohonnya kan masih mau hidup kenapa disuruh mati.” ujar Dahlia dengan tersedu-sedu.

“ Ya ampun kirain kenapa.” jawab Galih sambil kembali melanjutkan perjalanan mereka.

Dahlia mengingat saat-saat itu kemudian tersenyum, puluhan tahun lalu, dan entah bagaimana akhirnya perjalanan hidupnya membawanya bekerja pada sebuah perusahaan real estate besar yang mengharuskan ia melihat bagaimana mereka membersihkan lahan dengan menebangi pohon-pohon. Karena pohon itu ditebang lah makanya Dahlia bisa menghidupi dirinya. Akhirnya Dahlia berkesimpulan bukan kapasitas manusia untuk menentukan salah dan benar.

Hari ini ada jadwal fitting yang mengharuskan ia hadir tepat waktu. Lima menit lagi menuju jam sepuluh dan Dahlia masih belum sampai di kantor Raka dan sepertinya lima menit tidak akan cukup untuk bisa sampai kantor tepat waktu. Dahlia belok ke toserba tidak jauh dari halte bis dan membeli dua buah es krim, rasa coklat dan rasa vanila. Ia tiba dua puluh menit lebih lama dari waktu yang sudah mereka sepakati. Raka sudah berdiri di depan meja kerjanya ketika Dahlia sampai, bersama dengan beberapa model lainnya. Ruangan terlihat tegang sekali entah sedang ada huru hara apa, kantor yang biasanya ramai menjadi sesunyi ini. Tangannya yang sedang memegang dua batang es krim disembunyikan di balik punggungnya walaupun terlanjur dilihat oleh Raka. Senyum Dahlia menghilang terbawa energi di ruangan itu.

“ Kalian langsung ke ruang fitting aja, nanti dibantu Anto ya.” suara Raka terdengar memenuhi ruangan yang cukup besar itu.

Satu persatu dari mereka pergi meninggalkan ruangan Raka. Hanya Dahlia yang masih berdiri di depan pintu dengan kedua tangan tersembunyi di belakang punggungnya. Raka melirik jam di pergelangan tangannya kemudian menatap ke arah Dahlia. Ketika sadar bahwa ia bersalah, Dahlia tidak akan banyak bicara. Saat itu pun ia hanya diam dan menunduk menatap lantai sambil berdoa es krimnya tidak mencair. 

“ Macet?” tanya Raka yang kelihatan sekali mencoba menahan emosinya.

Dahlia yang tidak bisa berbohong menggelengkan kepala. Mulutnya terkunci seperti sulit sekali terbuka. 

“ Ketiduran?” tanyanya lagi. 

Dahlia menengadahkan kepalanya lalu menggeleng sambil menatap Raka. Cairan es yang menempel pada bungkus es krim yang ia bawa, menetes dan jatuh ke lantai. Raka berjalan ke arah punggung Dahlia lalu mengambil dua bungkus es krim yang hampir mencair itu. 

“ Apa ini?” Raka bertanya sambil menunjukkan dua kemasan itu di depan mata Dahlia.

“ Buat kamu. Punyaku yang Coklat” kata Dahlia cepat. 

Raka berjalan ke arah meja kerjanya membawa dua kemasan es krim itu. Dipandangnya bungkusan berwarna coklat pekat yang mengingatkan Raka akan ucapan Ibunya Dahlia, kalau Dahlia marah cukup berikan dia es krim. Raka membalikkan badan, berjalan ke arah jendela mencoba untuk menyembunyikan tawanya. Anak ini sesekali harus diberi pelajaran, niatnya saat itu.

Raka kemudian duduk di meja kerjanya membuka bungkusan berwarna coklat dan matanya terus menatap Dahlia yang matanya ikut membesar ketika tahu es krim coklatnya lah yang Raka santap.

“ Yahh Raka.” Dahlia mencuri pandang ke arah meja Raka.

“ Mau?” Raka menyodorkan sebagian es krim karena sebagian lagi sudah berada di dalam mulutnya. 

“ Yahh Raka.” Dahlia menekuk wajahnya seperti itu adalah es krim satu-satunya yang tersisa di dunia ini. 

“ Beli dimana? Ini masih belum cair.” Raka mengerutkan kening seperti baru tersadar bahwa seharusnya Dahlia bisa sampai tepat waktu atau hanya telat paling lama lima menit.

“ Dekat halte.” jawab Dahlia jujur. 

Lihat selengkapnya