Sudah Tiba Saatnya

Martha Melank
Chapter #34

Kamu Bukan Siapa-Siapa

Perempuan tidak berdandan untuk dilihat laki-laki tetapi untuk bersaing dengan teman perempuannya. Begitulah ungkapan yang sering Dahlia dengar dari teman-teman perempuannya yang selalu tampak cantik ketika mereka berkumpul. Sementara Dahlia selalu menjadi satu-satunya yang tidak terlalu peduli dengan itu. 

“ Susah banget nyuruh lo dandan kalo kita jalan bareng Li.” begitu omelan teman-temanya setiap kali mereka bersama. Dahlia selalu tampil polos. Make up nya sebatas pemulas bibir yang terlihat kontras dengan teman-teman perempuannya yang full make up. 

“ Bintang hanya terlihat di langit gelap. Kalo aku dandan kalian mau jadi langitnya?” itu-itu aja alasan yang akhirnya berhasil mengakhiri tuntutan teman-temannya.

Sore ini pun demikian. Dahlia memilih gaun panjang sebatas betis bermotif bunga berwarna merah dengan potongan leher rendah, menonjolkan bentuk lehernya yang tidak begitu jenjang. Rambutnya dibiarkan apa adanya sepulangnya dari salon untuk creambath. Dahlia berusaha menghormati orang yang akan ia temui tanpa terlihat terlalu berlebihan. Sedikit pelembab dan alas bedak di wajahnya, bedak tipis, merapikan alis, memberi sedikit maskara untuk mempertegas bentuk matanya dan pemulas bibir senada dengan warna bunga di bajunya. Tas rajut buatan tangannya dan sandal tali satu-satunya yang ia punya. Setelah mencium tangan Ibunya, Dahlia berjalan ringan keluar dari rumah dan masuk ke dalam taxi yang sudah dipesannya satu jam sebelumnya. 

Apa yang terjadi nanti tidak terlalu ia pikirkan. Dahlia hanya berusaha mengendalikan emosinya sehingga bisa berpikir jernih. Amanda bukan tipe wanita yang bisa dengan mudah merubah keputusannya dan Dahlia bukannya bertindak tanpa perhitungan ketika memilih untuk membicarakan hal ini dengannya secara langsung. Dahlia datang tepat waktu ke tempat yang Aji infokan. Tidak lama ia memesan kopi hangat sambil menunggu kedatangan Amanda. Jantungnya berdegup cepat. Tidak harus menunggu lama, Dahlia melihat Aji berjalan ke arahnya. 

“ Hai Dahlia. Sudah lama nunggu?” suara Aji lebih dahulu terdengar sebelum tubuhnya sampai di hadapan Dahlia.

“ Baru sepuluh menit. Kamu Aji? Datang sendirian?” jawab Dahlia pelan. 

“ Iya, Amanda tiba-tiba ada kerjaan mendadak. Jadi minta aku yang temui kamu.” Aji menjelaskan.

“ Ok. Lebih enak begini ya Ji.” Dahlia berusaha tidak menampakkan kekecewaannya karena Amanda cukup melukai harga dirinya. 

“ Gimana? Ada perlu apa sama Amanda?” tanya Aji langsung pada pokok masalah.

“ Langsung aja ya. Kemarin aku jenguk adikku dan dia cerita bahwa Amanda datang ke kamarnya bersama dengan Ibu korban kecelakaan adikku. Boleh aku tahu kalian ada kepentingan apa?” Dahlia juga tidak mau membuang-buang waktu untuk basa-basi dengan orang yang baru dikenalnya itu.

Aji memperhatikan Dahlia dari ujung kaki sampai ujung rambut. Telepon genggamnya diletakkan di atas meja sepertinya tidak ada tendensi Dahlia datang untuk menjebak Amanda dengan merekam pembicaraan mereka. Dahlia bersikap normal dan cukup tenang menghadapi Aji yang mengalami kecemasan karena itikad nya yang tidak baik yang dia cerminkan ke diri orang lain. 

“ Li. Kamu tu orang baru di bisnis ini. Kamu itu nothing. Bukan siapa-siapa.” Aji menggertak Dahlia dengan memberi peringatan. 

“ Ya, aku tau itu.” jawab Dahlia tenang. 

“ Amanda itu bintang besar. Kamu ngga ada seujung kukunya Li. Jadi jangan pernah berpikir untuk melawan Amanda kalau kamu mau umurmu panjang di bisnis ini.” kata Aji sambil menyalakan sebatang rokok.

Dahlia masih diam mendengarkan kata-kata Aji dan membiarkan Aji menguasai pembicaraan mereka. 

“ Saranku, kamu mundur saja. Cari laki-laki lain kalau kamu memang mau cari jalan pintas untuk terkenal.” kata Aji mulai menyerang mental Dahlia. 

Dahlia lebih memilih untuk tersenyum ketimbang menjawab pernyataan Aji. Terlihat ia sangat emosional karena kata-katanya tidak berhasil membuat lawan bicaranya marah, matanya seperti ingin menerkam Dahlia. Terlebih ketika Dahlia menatapnya sambil tersenyum seolah meremehkan ancamannya, Aji sempat memegang cangkir kopi di hadapannya. 

“ Kamu ngapain senyum? Mau kopi ini pindah ke wajahmu?” ujar Aji yang tersinggung dengan senyuman merendahkan yang terlihat di bibir Dahlia. 

“ Gapapa. Cuma mau senyum aja. Nggak boleh?” Dahlia menyeruput kopinya beberapa teguk. Dahlia bisa memahami kemarahan Aji yang khawatir bahwa mereka akan kehilangan banyak client karena apa yang dilakukan oleh Raka. 

“ Kamu jangan main-main ya Dahlia. Kami bisa dengan mudah menghabisi kamu.” Aji mulai mengancam karena dilihat Dahlia merasa tidak terusik dengan kata-katanya. 

“ Oh setelah ini masih ada lagi Ji? Boleh tahu skenario selanjutnya apa?” Dahlia menyandarkan bahunya ke kursi sehingga terlihat lebih santai. 

Aji mencoba mengalihkan pandangannya ke arah jalan, mencoba mengatur emosinya, seolah perempuan di hadapannya itu ingin sekali ia tendang keluar. Terlihat dari matanya yang penuh dengan amarah, kontras dengan mata Dahlia yang tidak menunjukkan kekhawatiran apapun. 

“ Batalkan kontrak dengan Raka kalau kamu mau adikmu selamat.” kata Aji dengan suara di tekan dan mata yang menatap tajam ke arah Dahlia. 

“ Oh, jadi itu kemauan Amanda? Boleh aku tahu alasannya? Ambisi atau harga diri?” Dahlia balik menatap Aji dengan pandangan yang tidak kalah tajam.

“ Ngga usah sok pintar Dahlia. Ingat, kamu itu bukan siapa-siapa.” Aji memundurkan tubuhnya karena kuatir tidak bisa mengendalikan emosinya dan menyerang fisik perempuan di hadapannya itu. 

Lihat selengkapnya