Dahlia masih belum memahami tentang jalan kehidupan. Bagaimana seseorang bisa terkoneksi dengan orang-orang yang memang harus berada di jalannya untuk tinggal atau sekedar memberi pelajaran. Pernah satu pagi, dengan satu potong roti dan susu coklat, Dahlia mempertanyakan tentang tujuan hidup kepada Michael, saat hidup mereka masih baik-baik saja.
“ Rencana lima tahun ke depan kamu apa?” tanya Dahlia sambil mengunyah roti coklat panggang kesukaannya.
“ Jalani saja, nanti lihat Tuhan arahkan kemana.” jawabnya sambil menyeruput susu coklatnya.
“ Nyaman tanpa pekerjaan?” tanya Dahlia kebingungan bagaimana bisa seorang lulusan S2 dari kampus akreditasi A bisa hidup tanpa tujuan.
Hari ini sudah hampir lima tahun dari percakapan itu dan Michael, adiknya sekarang terpuruk di sebuah rumah sakit kesehatan jiwa. Dahlia mempertanyakan kenapa bisa, Tuhan sebagai pencipta mengarahkan ciptaanNya yang paling ia sayangi ke rumah sakit jiwa, apakah ini tujuan hidup yang Michael maksud? Tapi tetap saja kejadian itu tidak bisa merubah persepsi adiknya bahwa kita manusia dilahirkan dengan kehendak bebas. Kita yang memilih jalan hidup kita masing-masing. Kita hanya butuh tujuan dan semesta akan membantu mewujudkan apapun keinginan kita.
Michael tetap pada pendiriannya dan Dahlia sudah tidak ada keinginan untuk merubah kebenaran yang ia percaya. Tindakan itu yang mendasari Dahlia berhenti untuk tidak lagi mengendalikan orang lain kecuali dirinya sendiri karena adiknya sendiri pun tidak bisa ia bantu walau ia tahu bagaimana cara supaya keluar dari keterpurukannya. Sejak saat itu ia hanya hidup untuk dirinya sendiri.
Sebagai anak perempuan sulung, mungkin Dahlia memiliki karakter seperti semua anak sulung lainnya di dunia ini. Terlahir sebagai anak pertama dimana orang tua belum memiliki pengalaman dalam membesarkan anak, lalu lahir anak ke dua yang membutuhkan perhatian dan cenderung untuk membenahi kesalahan pola asuh pada anak pertama sehingga anak sulung biasanya dipaksa oleh keadaan menjadi anak yang lebih bertanggung jawab kepada dirinya sendiri sedari kecil.
Dahlia terbiasa mengambil keputusan apapun untuk dirinya sejak ia masih di sekolah dasar. Ia banyak belajar dari keputusan-keputusan salah yang dibuatnya yang membawanya sampai ke titik ini. Berbanding terbalik dengan adiknya yang selalu menjalani keinginan orang tua mereka. Tidak ada yang salah dan benar, hanya saja jalan mereka terpisah dalam pencarian akan siapa diri mereka. Dan Dahlia paham bahwa hambatan terbesar manusia untuk bertemu dengan dirinya sendiri adalah ego, keinginan untuk hanya mempercayai kebenaran kita sendiri, kecenderungan untuk menyalahkan kebenaran orang lain dan memaksa orang lain untuk menerima kebenaran yang kita percaya.
Dahlia memperhatikan Bastian yang sedang merapikan tas ranselnya dan memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam lemari. Untuk beberapa hari ini, Bastian menyewa rumah persis di samping rumah Dahlia yang kebetulan disewakan sehingga mempermudah mereka dalam berkomunikasi dan menyelesaikan pekerjaan.
“ Kamu yakin bisa tidur di tempat seperti ini?” tanya Dahlia ragu karena melihat laki-laki di hadapannya ini bukan laki-laki yang tidak memiliki selera.
“ Aku pernah tinggal di hutan.” jawabnya singkat sambil mengeluarkan beberapa lembar baju dan meletakkannya di lemari tanpa memisahkan berdasarkan kategori. Semua baju dia anggap sama dan tidak mau membuang waktunya untuk hal-hal yang sifatnya tidak esensial. Praktis, begitulah kesan yang ditangkap Dahlia.
Dahlia tersenyum karena sempat lupa bahwa laki-laki ini pernah bercerita tentang pekerjaannya yang menuntutnya untuk berpetualang dan bagaimana beradaptasi untuk bisa bertahan hidup. Dahlia lalu bergerak menuju pintu keluar untuk segera kembali ke rumahnya.
“ Mau sarapan apa?” tanya Dahlia yang terhenti di depan pintu teringat ia belum menawarkan Bastian sarapan.
“ Nasi goreng. Tapi kamu yang masak. Bisa?” Bastian berjalan ke depan pintu kamarnya dan berdiri ke arah Dahlia. Perempuan dihadapannya cukup terkejut bahwa laki-laki yang baru saja ia kenal itu tahu benar apa yang ia inginkan dan dengan lugas menyebutkan kebutuhannya. Bukan tipikal laki-laki yang suka dengan basa-basi dan pembicaraan tidak perlu.
“ Ok. Setengah jam lagi ke rumah.” kata Dahlia cepat.
“ Aku ke sana sekarang. Aku mau ambil video saat kamu masak.” suara Bastian terdengar dari dalam kamarnya yang tidak terlalu besar itu.
Bastian bergegas mengambil kameranya lalu berjalan mengikuti Dahlia yang sudah berjalan terlebih dahulu. Dapur Dahlia tidak besar, karena mereka pun hanya tinggal berdua sehingga peralatan masak yang mereka miliki pun hanya seadanya.
"Aku perlu ganti pakaian ngga?” tanya Dahlia sambil mempersiapkan bahan-bahan untuk sarapan mereka.
“ Begitu aja.” Bastian menjawab santai pertanyaan Dahlia sambil mengambil video beberapa spot di rumah Dahlia.
“ Serius? Raka gimana?” Dahlia memperhatikan kaos kebesaran yang dikenakannya bergambar band rock kesukaannya dengan celana pendek berwarna merah. Sudah terbayang di wajahnya kemarahan Raka ketika melihat Dahlia yang sedang dalam keadaan "tidak layak" dengan peralatan "tidak layak" di dalam video yang akan merepresentasikan citra perusahaannya yang mewah.
“ I’m in charge.” ucap Bastian seperti ingin memberi isyarat kepada Dahlia bahwa dia tidak ingin berdebat.
Dahlia tersenyum sambil sesekali mengangguk-anggukkan kepala. Boleh juga ni bule, katanya dalam hati. Dahlia sudah membayangkan wajah tidak bersahabat Raka dan tersenyum geli membayangkan reaksinya, pasti akan menjadi sebuah perdebatan panjang. Namun kali ini Dahlia tidak mau lagi membebani dirinya dengan segala sesuatu yang bukan kapasitasnya. Ia membiarkan Bastian melakukan tugasnya.