Sudah Tiba Saatnya

Martha Melank
Chapter #41

Sudah Tiba Saatnya

Memikirkan dan menjalani hidup untuk sebagian orang terlihat sama. Dahlia tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang model ataupun make up artist seumur hidupnya. Sejak di sekolah dasar ia selalu melihat gambaran dirinya bekerja di belakang meja di gedung-gedung pencakar langit karena definisi sukses yang orang tuanya percaya adalah berkarir dan memiliki anak buah. Sejak Sekolah Menengah Pertama, ia sudah mulai membeli buku latihan masuk UMPTN, ia memikirkan dan menyusun rencana bagaimana ia bisa sampai ke sana. Namun siapa sangka, ketika akhirnya ia berada di puncak karir ternyata ia mendapati dirinya tidak bahagia. Entah darimana datangnya keberanian untuk melepaskan semua pencapaiannya hanya untuk menjalani apa yang hatinya inginkan. Dia menciptakan privilage untuk dirinya sendiri, memberikan dirinya kebebasan untuk memilih, memberi ruang dan waktu untuk mencari apa yang nantinya akan membuatnya bertahan tanpa harus kehilangan dirinya.

Bastian memperhatikan Dahlia dari balik tembok, di matanya ia terlihat menonjol diantara begitu banyak model yang lalu lalang dengan kecantikan yang sudah memenuhi standar yang dibuat oleh para pebisnis. Tingginya tidak sampai seratus enam puluh sentimeter, dan hari ini ia terlihat lebih tinggi karena sepatu runcing dengan hak setinggi delapan sentimeter yang membuatnya terlihat lebih jenjang. Bastian tersenyum membayangkan bagaimana Dahlia tersiksa dengan keadaan itu. 

“ Gugup?” tanya Bastian mendekat dan berbisik di telinga Dahlia.

“ Kalau kamu tidak menghilang dari pandanganku, aku bisa merasa lebih tenang.” Dahlia menjawab pertanyaan Bastian tepat di samping telinganya. 

Bastian menyentuh pundak Dahlia lalu meninggalkan perempuan itu, mencari posisi yang pas sehingga Dahlia bisa dengan jelas melihat keberadaannya. 

Dahlia menatap wajahnya dalam cermin dan takjub melihat bagaimana busana bisa merubah pandangan orang. Tak heran banyak orang yang rela membayar mahal hanya supaya terlihat bahwa ia lebih baik dari orang lain. Dahlia menyentuh busana yang dikenakannya, terbuat dari bahan sutra dengan motif bunga yang dibuat dengan tangan dan dikerjakan cukup lama. Dengan sentuhan tangan Raka disulap lah kain sutra cantik itu menjadi sebuah gaun cantik yang bernilai jual tinggi. Suatu kehormatan untuk Dahlia dipercayakan busana secantik ini. 

“ Lima menit lagi kamu tampil Lia. Yuk kita siap-siap.” Raka mengulurkan tangannya untuk membantu Dahlia berdiri. Dahlia tidak menyentuh telapak tangan Raka dan memilih menggapai pergelangan tangannya. Raka tersenyum dan berjalan berdampingan dengan Dahlia ke arah panggung. Dahlia tampak gugup dan matanya seperti mencari dimana Bastian berada. Hari ini Bastian tidak memuji perubahan pada diri Dahlia. Bastian justru sering memujinya ketika ia tidak menambahkan apapun pada wajahnya. Dahlia bisa merasakan bahwa Bastian hanya peduli apakah kakinya akan sakit atau tidak ketika harus mengenakan sepatu berhak tinggi karena sedari tadi hanya itu yang ia tanyakan. Hal-hal kecil itulah yang membuat hatinya tergerak. 

Sekarang gilirannya berjalan, Dahlia menarik nafas, mengatur raut wajahnya sesuai dengan image dari pakaian yang ia bawakan, tegas dan berani, lalu berjalan dengan langkah pasti, badannya dibuat seringan mungkin dengan tatapan penuh percaya diri, matanya tertuju ke arah depan tepat dimana Bastian berada. Dahia berlenggak-lenggok mempraktekkan cara berpose yang ia pelajari dua bulan terakhir. Berada di antara lampu-lampu panggung, berjalan mengikuti ritme musik, sungguh tidak mencerminkan siapa dirinya. Ia memaksa dirinya keluar dari zona nyaman hanya karena rasa tanggung jawab terhadap seseorang yang telah memberikan kepercayaan penuh kepadanya bahkan saat ia tidak percaya pada dirinya sendiri. Tidak pernah ada dalam mimpinya sekalipun ia akan berada dalam situasi ini.

" Ini bukan duniaku." kata Dahlia dalam hati.

Semua mata mengagumi hasil karya Raka seperti halnya Dahlia. Suara riuh tepukan tangan terdengar di telinganya. Cahaya kamera mengabadikan langkah kaki dan pakaian yang ia bawakan menjadi beban tersendiri untuknya, bahwa yang ia lakukan saat ini tidak mungkin akan terulang sehingga ia harus memastikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan apapun.

Itulah yang mungkin membedakan Dahlia dari orang-orang yang hanya berdiam diri menyesali nasib tanpa mau merubah keadaan. Dahlia pernah mengundurkan diri dari pekerjaannya karena ia merasa dirinya tidak berkembang dan tidak suka mengeluh. Setiap hari ia mendengarkan teman-temannya mengeluh tentang betapa buruknya sistem di perusahaan mereka, atasan mereka yang kurang memikirkan anak buahnya dan seribu satu keluhan yang selalu ia dengar. Tidak pernah ada kata keluhan keluar dari mulutnya, itulah yang membuat atasannya kaget bukan kepalang saat suatu siang ia memberikan surat pengunduran diri, tanpa ada pekerjaan lain.

Dahlia selalu berkata iya terhadap apapun yang hidup ini tawarkan, ia jalani walaupun ia tahu mungkin keputusannya salah dan berani berhenti jika yang ia jalani tidak membuatnya bahagia. Dahlia akan terus mencari, apa yang hatinya mau. Hidupnya adalah koma, bukan titik bahkan disaat ia sudah terikat dalam suatu hubungan. Ia akan berani untuk pergi di saat ia kehilangan rasa hormat terhadap dirinya sendiri dan tidak akan membiarkan siapapu memperlakukannya dengan tidak hormat. Tidak ada satupun hal yang dapat mengikatnya kecuali cintanya kepada dirinya sendiri.

Dahlia melakukan dua kali putaran seratus delapan puluh derajat lalu berjalan ke belakang panggung untuk menjemput Raka dan berjalan bersama puluhan model lainnya untuk menutup pagelaran malam ini. 

Raka terlihat sangat percaya diri dan melemparkan senyum kepada seluruh undangan yang berdiri dan bertepuk tangan menyambut kehadirannya. Ia membungkukkan tubuhnya diikuti oleh seluruh model-modelnya. Rangkaian bunga Dahlia terlihat dalam genggaman Raka dan lampu-lampu sorot mengikuti langkahnya. Ada kepuasan tersendiri ketika karya-karyanya di apresiasi oleh orang-orang yang rekam jejaknya sangat Raka hormati. Berada di lingkungan yang kompetitif menjadikan Raka selalu merasa kurang dengan apa yang sudah diraihnya. Di satu sisi itu sangat baik untuk karirnya tetapi di sisi lain ia mengabaikan kebutuhannya yang lain.   

Pagelaran busana karya Raka berakhir dengan hasil yang sangat memuaskan. Hampir seluruh koleksinya habis terjual. Senyum tidak lepas dari bibirnya. Dahlia memperhatikan Raka dari kejauhan, betapa laki-laki ini mendedikasikan seluruh waktu dan hatinya untuk pekerjaannya. Wajahnya terlihat bahagia ketika ia berhasil membuat sesuatu yang orang bilang tidak mungkin. Hidupnya adalah kumpulan pencapaian demi pencapaian yang tidak pernah berujung. 

“ Kamu menyukai Raka?” tanya Bastian yang menghampirinya sambil memberikan satu gelas anggur kepadanya saat pesta sesudah pagelaran berlangsung. 

“Menurutmu?” Dahlia menjawab pertanyaan Bastian dengan pertanyaan sambil tangannya mengambil gelas dari Bastian. 

“ Aku tidak mau menebak-nebak.”

“ Aku tidak mau menjawab.” 

“ Kamu menyukaiku.” tanya Bastian lebih lanjut pandangannya tertuju ke mata Dahlia.

“ Ya.” jawab Dahlia cepat membalas tatapan Bastian. 

Bastian memahami bahwa bagi Dahlia kepercayaan adalah segala-galanya. Ia tidak suka bersama dengan laki-laki yang merasa tidak aman dengan dirinya sendiri. Bastian agak menyesali pertanyaannya mengenai Raka dan mencoba memperingatkan dirinya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sama seperti dirinya, Dahlia adalah pribadi yang suka berterus terang dan entah kenapa ia percaya dengan jawaban Dahlia. 

“ Kalian di sini rupanya. Aku keliling mencari kalian.” Raka berdiri beberapa langkah dari Bastian yang membelakanginya. 

Bastian menoleh lalu berpindah posisi ke samping Dahlia dan tersenyum kepada Raka yang menatap Dahlia. 

Lihat selengkapnya