Dahlia selalu berpikir bahwa hidup bersama sepertinya adalah ujian terberat manusia. Untuk bisa hidup bersama, manusia harus mengatur egonya untuk bisa berdamai dengan manusia lainnya. Dalam setiap perjalanan, kita akan menemukan bagian-bagian dalam hidup kita yang sulit untuk kita pahami dan membawa kita pada pencarian-pencarian yang pada akhirnya menuntun kita untuk mengenal siapa diri kita dan apa makna dari hidup yang kita jalani.
Raka membantu Dahlia membawakan koper kecil berwarna hitam di tangan kiri dan kopernya sendiri di tangan kanan saat mereka mendarat di Bandara Adi Sucipto, Jogjakarta. Perjalananan menuju hotel tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Tidak sampai satu jam mereka sudah berada di kamar masing-masing untuk membersihkan badan sebelum makan malam.
“ Kamu mau makan malam apa Li?” suara Raka terdengar di ujung telepon.
“ Aku masih kenyang.” jawab Dahlia cepat.
“ Aku lapar.” Raka seperti tidak ingin mendengar penolakan.
“ Aku temani kamu makan. Sejam lagi aku turun.” jawab Dahlia yang tidak pernah ingin menghabiskan waktu dengan perdebatan dan selalu mencari jalan tengah.
Raka memesan pasta untuk makan malamnya dan Dahlia hanya memesan segelas jus jeruk. Mereka duduk berhadap-hadapan. Raka dengan santai memutar-mutar garpunya di atas sendok dan mulai menyantap makan malamnya.
“ Kamu baik-baik saja? Sebulan ini kita jarang ngobrol?”
Dahlia meletakkan telepon genggam di tangannya setelah menuliskan pesan kepada Bastian, memberitahukan bahwa ia sudah sampai dan mengingatkannya untuk makan malam.
“ Baik. Semua menjadi lebih baik saat kita berjarak kan Raka?”
Raka mengelap mulutnya, meletakkan alat makannya kemudian menyentuh telapak tangan Dahlia.
“ Aku minta maaf.” Raka menatap wajah Dahlia seperti ingin meyakinkan Dahlia bahwa selama ini ia bersalah sudah tidak peka terhadap perasaan Dahlia.
Dahlia menarik tangan kirinya lalu mengambil gelas di hadapannya untuk menutupi rasa kagetnya. Raka minta maaf untuk sesuatu yang dia rasa tidak diperlukan. Sudah kewajibannya untuk menegur anak buahnya yang tidak tepat waktu. Kenapa ia harus merasa bersalah. Sepertinya ia tidak akan sanggup dihadapkan dengan drama baru dalam hidupnya.
“ Kenapa kamu jaga jarak sekarang Li?”
“ Memang harus ada jarak kan Raka. Aku anak buahmu.”
“ Kamu masih tersinggung dengan ucapanku?”
“ Ucapan kamu benar. Karena itu aku berubah.”
“ Aku kangen kamu yang dulu?”
Dahlia menyembunyikan keterkejutannya dengan sangat baik. Dahlia paham bahwa dia harus menjaga perasaan laki-laki di hadapannya ini karena seumur hidupnya Dahlia selalu hidup dalam penolakan.
“ Aku lebih suka aku yang sekarang.” jawab Dahlia sambil melihat mata Raka dengan dalam.
“Raka, boleh aku tau kenapa kamu memilihku daripada Amanda?” Dahlia lanjut bertanya mencoba mengalihkan pembicaraan.
“ Kalau mau jujur, saat itu aku impulsif. Sejak kecil aku dirundung karena keadaan fisikku dan aku tidak suka melihat seseorang merasa dirinya superior seperti yang Amanda lakukan ke kamu.”, Raka membetulkan posisi duduknya menyadari bahwa Dahlia sedang tidak ingin membicarakan hal-hal yang sifatnya personal.
“ Dengan resiko sebesar itu? Show kamu ada kemungkinan batal. Apa yang ada di pikiranmu saat itu?” tanya Dahlia penuh rasa ingin tahu.
“ Entahlah. Aku sendiri nggak paham kenapa aku semarah itu. Aku ingin melindungimu.” Raka mencoba memahami dirinya sendiri lewat pertanyaan Dahlia.
“ Melindungi diriku atau dirimu sendiri?” Dahlia menatap ujung hidung Raka, menghindari tatapan mata Raka yang memandang tajam ke arahnya.
“ Maksudmu?” tanya Raka yang kemudian meletakkan sendok dan garpu kemudian menghentikan makannya.
“ Kamu tidak sedang melindungiku Raka, kamu sedang mengurangi rasa penyesalan di masa kecilmu ketika kamu tidak melawan saat mereka merundungmu. Kamu tidak melakukannya untukku tetapi untuk dirimu sendiri.” suara Dahlia pelan tapi cukup tegas untuk didengar di telinga Raka.
Raka terdiam mendengar perkataan Dahlia kemudian memutuskan untuk melanjutkan makan malamnya.