Hal yang paling sulit dalam hidup sepertinya adalah tentang memilih diri sendiri. Seringkali Dahlia tidak menempatkan dirinya sebagai prioritas karena terlalu sibuk membahagiakan orang lain. Dahlia ada di persimpangan antara menjalani hidupnya bersama Bastian atau bertahan tidak meninggalkan Ibunya. Seumur hidupnya Dahlia hidup untuk orang lain. Banyak hal yang ia putuskan untuk ia korbankan karena keputusannya hanya akan baik untuk dirinya sendiri. Dahlia melepaskan cita-citanya untuk bisa bersekolah di universitas kebanggaannya yang sudah ia cita-citakan sejak sekolah dasar hanya supaya adik laki-lakinya mendapat pendidikan yang layak. Dahlia berakhir di sebuah sekolah tinggi yang tidak punya nama dan berisi anak-anak yang tidak punya semangat untuk hidup. beberapa dari mereka terpaksa kuliah hanya agar keluarganya tidak malu anaknya berijazah SMA.
“ Ibu akan baik-baik saja bersama Michael.” Bastian berusaha meyakinkan Dahlia.
“ Aku tidak mau menyesal Bas.” Dahlia menjawab Bastian setelah cukup lama terdiam.
“ Kita bisa kembali kapan saja. Perjalanan tidak sampai satu hari. Semua akan baik-baik saja Dahlia.”
“ Aku tidak percaya Michael bisa merawat Ibu.”
“ Itu masalah terbesarmu.”
Dahlia menengok ke arah Bastian yang sedang sibuk mengambil beberapa foto di depan sungai Ciliwung. Bastian bersikap seperti tidak ada yang salah dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“ Maksud kamu?” tanya Dahlia dengan suara agak tinggi seperti tidak menerima begitu saja penghakiman laki-laki di hadapannya itu.
“ Kamu tidak percaya siapapun selain dirimu sendiri.” dengan suara ringan Bastian menjawab Dahlia sambil tangannya sibuk mengatur lensa kamera.
Dahlia mengingat-ingat lagi siapa dirinya. Baru ia sadari, mungkin perkataan Bastian ada benarnya. Sedari sekolah dasar Dahlia tidak pernah membiarkan satu orang pun mengambil keputusan untuknya. Sepertinya itu dimulai dari umur sembilan tahun ketika Ibunya salah membelikannya gaun untuk dipakai pada hari raya. Selera Ibunya mengenai pakaian mungkin terlalu tinggi sehingga Dahlia merasa ketika ia kenakan ia akan mendapat olok-olokan dari teman-teman sekelilingnya yang hanya menggunakan kaos bergambar pahlawan marvel yang disablon dengan bahan paling murah. Ibunya membelikan ia gaun putih berenda yang sering ia lihat dipakai oleh anak perempuan dari keluarga berada. Dahlia hanya membeli pakaian satu kali setahun, jadi Ibunya menabung cukup lama untuk bisa membelikan baju yang menurutnya terbaik sementara Dahlia hanya menginginkan baju biasa yang bisa ia pakai ketika bermain bersama teman-temannya. Mulai saat itu Dahlia yang memilih apa yang mau ia kenakan, apa yang mau ia makan atau apapun yang terkait dengan dirinya, semua adalah hasil keputusannya. Walaupun tidak jarang, ia membuat keputusan yang salah tetapi setidaknya bukan hasil keputusan orang lain. Dan tanpa disadari Dahlia seringkali mengambil keputusan untuk adiknya hanya karena adiknya selalu mengambil keputusan yang salah untuk hidupnya.
“ Michael sering mengecewakanku.” ujar Dahlia seperti hendak membela diri.
“ Kamu pun pernah bikin aku kecewa.” Bastian menjawab cepat.
“ Pernah dan sering adalah dua hal yang berbeda.” Dahlia masih berusaha mencari pembenaran kenapa ia tidak bisa mempercayai Michael.
“ Siapa yang bisa jamin besok kamu tidak akan sering bikin aku kecewa? Hidup tidak berhenti di saat ini. Aku kenal kamu beberapa bulan. Kamu kenal Michael seumur hidup kamu. Itu bedanya pernah dan sering.” Bastian memandang kosong ke arah sungai sambil tangan kanannya memegang kamera.
Dahlia terdiam. Beberapa hari yang lalu mereka bertengkar karena seharian Dahlia tidak memberi kabar saat ia dan Raka sedang berada di Jogja. Walaupun Dahlia sudah menjelaskan alasannya tetap saja keputusannya sudah melukai ego Bastian. Sampai hari ini tidak ada permintaan maaf dari Dahlia karena ia merasa ia tidak mengkhianati perasaannya.
Bastian mencoba memahami bahwa Dahlia adalah perempuan yang jalan hidupnya keras, sehingga ia tidak mau memaksakan diri untuk membuatnya berubah. Bastian hanya berusaha memahami Dahlia dan cara pandangnya yang tidak jarang berbeda dengan dirinya. Tapi ada saatnya Bastian harus memberitahu sudut pandang lain yang mungkin membuat hidup Dahlia menjadi lebih mudah.
Seperti hari ini, Bastian belajar tidak mudah memahami sosok seperti Dahlia. Cara berpikirnya tidak seperti perempuan kebanyakan. Cukup jelas kenapa di usia seperti ini ia masih hidup sendiri. Tidak mudah hidup dengan orang yang selalu berbicara apa adanya termasuk kelemahan-kelemahanmu. Tapi justru itu yang membuat Bastian merasa bahwa ia menemukan wanita yang tepat untuk hidupnya, wanita yang bisa membuatnya menurunkan egonya.
“ Menurutmu apa yang sebaiknya aku lakukan?” tanya Dahlia pelan.
Kali pertama dalam hidupnya Dahlia membiarkan orang lain memutuskan apa yang baik untuk hidupnya. Bastian bisa melihat kelemahannya tanpa membuatnya terlihat lemah. Ia bukan tipe laki-laki yang suka merendahkan wanitanya hanya agar ia terlihat lebih baik darinya. Bastian seringkali membuatnya sadar bahwa ada sudut pandangnya yang selama ini ternyata salah dan berdampak buruk pada perkembangan kepribadiannya.
“ Kalau kamu jadi Michael, apa yang kamu ingin lakukan?” Bastian menunduk, kemudian berjongkok mengambil plastik yang menempel pada alas sepatunya.
“ Diberi kepercayaan untuk menjalani hidupnya sendiri.” jawab Dahlia pelan.