"Berbagai permasalahan hidup bisa jadi adalah montir bagi kehidupanmu untuk menjadikan dirimu lebih baik."
Café teras rumah, menjadi tempat Nola menunggu seseorang. Dengan perasaan memburu dan amarah yang ia pendam. Ia tak pernah menyangka jika akhirnya, ia juga akan merasakan hal yang sama, yang selama ini tak pernah ia bayangkan. Ia pikir, ia cukup merasakan itu dalam masalah rumahnya saja. Tetapi ternyata, seseorang yang Nola percayai juga melakukan hal yang sama kepadanya. Hatinya remuk redam. Ia sulit menahan sedihnya yang mendalam. Café teras rumah sedang sepi pengunjung. Jogja sedang di guyur hujan. Nola yang memilih duduk di tempat paling pojok menjadikannya tak sering terlihat oleh pengunjung lain jika sesekali air mata Nola jatuh membasahi pipinya. Sekuat apapun ia berusaha membuatnya tak lagi menangis, dadanya semakin sesak.
Seseorang itu datang. Berdiri mematung tak jauh dari Nola duduk. Nola tak sadar jika ia telah sampai beberapa menit yang lalu. Perjalanannya menggunakan kereta dari Jakarta membuatnya memilih langsung menemui Nola. Menyelesaikan semua urusannya yang membuatnya juga tak tenang. Ada perasaan bersalah mengetahui Nola begitu sakit hati karenanya. Tetapi, ia tak menampik bahwa memang ini kesalahannya. Hatinya ikut teriris, melihat punggung Nola bergetar menahan tangis, tangis yang salah satunya disebabkan olehnya.
Ia kemudian menghampiri Nola. Duduk disampingnya. Merengkuhnya dalam peluk tanpa sepengetahuan Nola sebelumnya. Nola yang masih menangis perlahan kemudian terdiam sejenak. Ia terkejut karena kini ia berada dalam pelukan seseorang. Hingga saat ia sadar, seseorang itu Dio, Nola hanya memukul Dio, menumpahkan segala sakit yang kini ia rasakan.
“Kamu …” suara Nola sesenggukan. Tertahan tangisnya yang masih belum juga reda. Nola mengangkat wajahnya. Ia tak ingin luluh kemudian saat ia kembali meraskan nyaman kembali dalam pelukan Dio, apalagi saat ia sedang sedih seperti ini. “Kamu kenapa ngelakuin ini sama aku?” Nola berkata terbata. Masih bersama sisa tangisnya yang mulai mereda. Sesaknya kini ia tumpahkan dengan masih memukul dada Dio, sesekali. “Aku kurang apa? Aku terlalu berantakan ya hidupnya, sampai kamu milih ngelakuin ini ke aku? Kamu udah capek ya bareng sama aku yang kaya gini?”
Air mata Nola kembali tak terbendung. Tetapi kini tangisnya tak bersuara. Hanya air matanya yang terus membasahi pipinya tanpa henti. Menandakan betapa Nola sangatlah kecewa atas apa yang Dio lakukan kepadanya.
***