“Reandra! Lo harus mau nurutin kata orang tua. Jangan jadi anak durhaka!”
“Ndra, lo tuh masih kecil. Baru juga lulus SMA. Nggak usah banyak nekat.”
Di sebuah ruang tamu minimalis, tidak banyak perabot hanya ada kursi serta meja dan satu buah pot yang di dalamnya tertanam monstera berdaun lebar terdiri dari lima helai. Ruang tamu itu menjadi saksi perdebatan sebuah keluarga.
“Ndra, lo mending nurut sama Papah. Lagian enak hidup di Jakarta, dekat sama keluarga. Ngapain harus jauh-jauh ke Purwokerto, sih?”
Rangga tetap diam, ia ingin mendengar jawaban dari ayahnya langsung. Niat merantau dan mencari jati diri sudah ia rencanakan jauh hari sebelum lulus dari sekolah menengah atas. Ia ingin membuktikan bahwa tanpa ketergantungan orang tua, Reandra bisa sukses.
“Ndra? Kamu enggak lagi sakit ‘kan? Baru lulus kuliah mau kerja apa? Lebih baik kamu menetap di Jakarta, terus melanjutkan perjuangan bersama kakak-kakakmu di perusahaan keluarga kita.”
“Pah, Reandra mau kuliah di Purwokerto dan cari uang sendiri,” jawab Reandra tegas. “Reandra pengen cari jati diri,” imbuhnya lagi.
“Tapi, Papah nggak yakin. Kalau kamu terlantar bagaimana?” tanya Teguh—Ayahnya.
Lagi-lagi Reandra tidak mendapat kepercayaan. Sebagai anak terakhir di rumah, ia merasa hanya menurut saja apa kata orang tua begitu pun saudara saudarinya. Tidak pernah sekali pun ia membantah bahkan mengelak. Semakin ke sini, ia merasa hidupnya monoton. Hidup bersama jalan yang orang lain buat. Sebelum semua terlambat, Reandra bertekad membuat jalan sendiri untuk menggapai mimpinya.
Sayangnya, perjalanan tidak selalu mulus sesuai dugaan. Apalagi Reandra diremehkan oleh keluarga sendiri. Namun, Reandra tetap teguh pendirian, ia pasti akan membuktikan kalau dia bisa. Meskipun, harus berjalan di atas tajamnya kerikil perjalanan.
Akhirnya, Reandra beranjak dari kursi tanpa babibu, ia berjalan ke kamarnya. Melanjutkan melengkapi berkas final universitas yang ia daftar.
“Ndra, dengerin Papah dulu!” ujar Kevin kakak ketiganya sedikit berteriak. Hanya terdengar suara pintu tertutup menjadi pertanda jawaban dari seorang Reandra Aska. Anak paling terakhir yang selalu tidak dipercaya oleh keluarganya sendiri.
Reandra menghempaskan diri ke atas tempat tidurnya yang berlapis sprei motif kotak-kotak itu. Ia memejamkan matanya sesaat sebelum melanjutkan final verifikasi berkas penerimaan. Jiwanya menggebu, ia tidak sabar mengambil langkah sesuai dengan keinginan sendiri. Tidak peduli apa kata orang sekitar.