“Apa? Di mana?!” teriak Maya pada seseorang di ujung telepon.
Bibirnya mulai bergetar dan kabut bening perlahan menyelimuti mata gelapnya. Wanita itu menekan dada dengan tangannya yang masih memegang ponsel. Napasnya terasa begitu sesak setelah awan hitam dari kabar yang baru ia dengar merengkuh jiwanya. Kini, tulang-tulangnya pun ikut berkolaborasi dengan otak dan hati agar tak lagi bisa menopang berat tubuhnya. Tubuh Maya melorot. Ia jatuh terduduk di lantai ruang makan. Air matanya lolos mengalir dengan deras bagai aliran sungai di musim hujan.
“Ma! Mama kenapa?!”
Vira berlari mendekat pada sang mama yang duduk bersimpuh dengan isakan yang cukup hebat. Gadis remaja itu melingkarkan kedua tangannya membungkus tubuh Maya, lalu membawanya ke dalam pelukan. Sambil menduga-duga apa yang sedang terjadi, ia kembali bertanya dengan hati-hati, “Ma, ada apa? Bilang sama Vira ada apa, Ma?”
Maya memeluk anak bungsunya dengan erat. Ia berharap mulutnya bisa dengan mudah mengatakan semua yang baru ia dengar pada Vira. Namun, amukan emosi masih meraja di hatinya. Untuk beberapa menit Maya berusaha mengatur napas dan emosinya agar bisa bercerita pada Vira sebelum akhirnya ia melepas pelukannya.