Semua putri itu dimanja oleh rajanya. Nggak ada cerita Putri Leonor, yang lahir sebagai putri mahkota Spanyol, harus cuci piring dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Aku juga nggak pernah beresin rumah. Aku nggak tahu gimana cara menggoreng telur biar kuningnya nggak pecah dan letaknya tepat di tengah. Alasannya sederhana, aku seorang putri walau nggak akan mewarisi sebuah kerajaan.
Ini hampir tengah malam dan aku lapar. Katanya, malam itu waktu yang paling cocok untuk makan mi instan. Aku pengin makan mi instan sekarang.
Aku mengetuk pintu kamar Mak Oci sambil memanggil namanya. Nggak butuh waktu lama membangunkan Mak Oci. Dengan wajah mengantuk dia membuka pintu. Daster dan rambut putihnya sudah kusut, bahkan ada sisa iler di sudut bibirnya.
Aku tersenyum tanpa dosa. "Mak, buatin mi instan, dong," rengekku.
"Kirain ada apa, ternyata laper," sahut Mak Oci, tetap menuruti permintaanku tanpa mengeluh.
Beberapa menit kemudian, Mak Oci memberikan semangkuk mi instan yang baru saja matang. Iya, aku memang nggak bisa masak mi instan. Ini bukan dosa yang akan dihitung sama malaikat, kok. Jadi, aku nggak perlu malu.
Jangan sampai Papa tahu aku sedang makan ini. Dia bisa murka nanti.
Aku mengendus aroma mi instan di depanku. Perutku berbunyi untuk yang kesekian kalinya. Aku menggulung mi dengan garpu. Uap panas menyerang wajahku. Nggak sabar aku pengin segera melahap makanan ini.
"Kenapa Kakak makan mi instan?" Suara serak mengusik ritual makan tengah malamku. "Papa sudah bilang berapa kali kalau ini makanan nggak sehat? Kakak bisa bodoh kalau makan mi instan. Memangnya Kakak nggak mau masuk Universitas Merva?" Papa datang sebelum aku sempat menikmati makananku.
Duh!
Malam ini aku nggak jadi makan mi instan. Papa mengambil alih mangkuk di hadapanku dan menghabiskan mi instan milikku. Aku terpaksa cuma makan roti dengan olesan banyak selai kacang. Masuk Universitas Merva itu impian terbesarku saat ini. Aku nggak mau impianku hancur karena mi instan.
Aku sudah menuruti semua nasihat Papa demi bisa mewujudkan menjadi mahasiswi Merva. Aku nggak makan mi instan, rajin belajar, dan nggak pernah pacaran. Sekarang aku berhasil diterima di kampus yang termasuk deretan lima universitas terbaik di Indonesia itu.
Aku masih nggak percaya berhasil jadi salah satu mahasiswi Universitas Merva, yang sudah kuimpikan sejak duduk di kelas XI. Ini benar-benar dream come true!
Kuliah itu seru. Aku nggak perlu pakai baju seragam yang sama selama bertahun-tahun menjadi mahasiswi. Kelas juga nggak selalu berlangsung di pagi hari, kadang malah nggak ada kuliah karena dosennya terlalu sibuk menyelesaikan proyek apalah-apalah itu. Kalau nggak ada kelas, aku bisa bebas nongkrong bareng teman satu geng, tentu dengan alasan bikin tugas atau ada kelas tambahan.
Yang paling penting dari kuliah, aku bisa mulai merajut kisah cinta manis dan romantis. Aku bisa pacaran dengan kakak tingkat galak yang ternyata perhatian atau lebih seru pacaran lintas jurusan, biar bisa mengeluh bosan menunggu saat dia sibuk bikin tugas. Eh, bisa juga aku malah pacaran dengan dosen muda yang ganteng dan pintar.
Pasti seru banget jadi mahasiwi!
Rasanya nggak sabar menunggu seminggu lagi. Aku pengin segera masuk kuliah. Hari ini, aku akan belanja keperluan kuliah, tentu bersama Papa, Mama, dan Kara. Selama nggak sibuk, Papa pasti menyempatkan waktu buat aku. Apesnya, Papa nyaris nggak pernah sibuk. Artinya, Papa akan selalu menemaniku ke mana pun!
Ini bukan hal manis, tapi menyebalkan. Bayangkan saja kalau aku nongkrong bareng teman, di kafe atau nonton bioskop, tapi Papa terus menempel. Papa benar-benar berada di sisiku, duduk di sampingku di dalam bioskop, dan mengikuti semua obrolanku dengan teman-temanku. Iya, rasanya malu banget. Aku bukan anak lima tahun yang harus diawasi selama 24 jam penuh.
“Pa, Kakak udah kuliah, nih. Boleh dong Kakak berangkat ke kampus sendiri?” rayuku dalam perjalanan menuju mall.