"Ha? Mak Oci nggak usah bercanda. Nggak lucu!" protesku.
Sayangnya, nggak ada cengiran khas Mak Oci yang selalu memamerkan deretan giginya yang menguning dan hitam di beberapa sudut. Dia menatapku sendu dengan mata basah dan merah. Hidungnya yang keriput juga merah.
Aku diam, nggak tahu harus ngomong apa. Pasti ada yang salah. Mak Oci pasti bohong!
Papa itu hebat, lebih hebat dari Kapten Amerika walau nggak punya perisai berlogo bintang. Papa nggak mungkin meninggal. Papa pasti bersembunyi di balik pintu. Papa, kan, usil. Nanti kalau aku menangis, Papa muncul sambil berteriak, "Surprise!"
Hah! Aku nggak akan tertipu lagi.
Aku berdiri setelah menyerahkan tubuh Mama ke pelukan Mak Oci. Kakiku melangkah cepat, menerobos dua polisi yang menghalangi jalan. Dua pria berpakaian cokelat susu itu sama sekali nggak bisa mengecohku. Mana ada polisi dengan perut mengembang mirip Baymax begitu? Wajah tanpa senyum mereka lebih cocok menjadi preman pasar daripada polisi. Papa salah memilih aktor.
Aku mengabaikan pria-pria yang berperan sebagai polisi itu. Aku cuma pengin segera menemukan Papa. Sayangnya, di luar kosong, nggak ada orang lain lagi. Nggak ada Papa di halaman, cuma ada deretan tanaman hias Mama yang diam nggak bergerak, bahkan angin sore pun sama sekali nggak mampir.
Ah, mungkin Papa bersembunyi di balik dinding di luar pagar.
Aku berlari ke luar rumah. Sekarang hampir malam. Langit sudah gelap. Lampu-lampu jalan sudah menyala. Gang rumahku ini sepi. Nggak ada siapa pun di balik dinding, hanya kucing berbulu oranye yang berjalan dengan santai di dekat mobil polisi.
Nggak mungkin!
Papa pintar banget bersembunyi. Di mana sekarang pria tua itu? Aku bakal ngambek seminggu kalau nanti dia muncul dengan senyum usil. Keisengannya kali ini sama sekali nggak lucu!
Raungan Mama membuatku menyadari sesuatu. Ada yang meremas jantungku kuat-kuat. Kepalaku seperti baru saja dihantam palu yang sangat besar, mungkin palunya Thor yang nyasar ke sini. Tubuhku tiba-tiba menjadi sangat ringan. Aku sempoyongan masuk rumah.
Mama nggak pernah suka Papa usil dengan anak-anaknya. Mama pasti ngomel kalau Papa sudah keterlaluan usilnya. Mama nggak pernah menangis meraung seperti itu saat Papa usil.