Sugar Rush

Dwi Kurnia 🐻‍❄️
Chapter #6

Bab 6 : Setitik Alturisme

________________

○○○

Dunia tak selalu berpihak pada keinginan setiap orang.

Dan dalam perwujudannya, ada banyak manusia yang lebih mengedepankan ego ketimbang rasa kemanusiaan.

________________


....

PINTU kamar terbuka. Cahaya mentari yang masuk dari kaca jendela sudah semakin meredup ketika Erina baru sampai rumah. Beberapa piagam penghargaan baik musik maupun mata pelajaran, medali perunggu hingga emas, serta beberapa foto Erina yang memenangkan kejuaraan nasional hingga internasional terpajang dikamarnya. Erina kemudian meletakkan tasnya diatas meja belajar. Ia mengambil pakaian ganti dilemari pakaian dan menyambar handuk, kemudian keluar kamar.

Erina mengenakan sebuah dress putih selutut yang tertutup apron ketika ia harus sibuk berkutat didapur. Sebenarnya keluarganya memiliki pembantu, akan tetapi sedang diliburkan sebab sedang hamil menginjak usia enam bulan. Mbak Pipit diliburkan lebih awal dari jadwal sebab keluarganya tak ingin mengambil resiko jika terjadi apa-apa dengan bayi yang dikandung Mbak Pipit. Telur ceplok yang telah matang itu kemudian ditaruh diatas nasi goreng didekat kompor. Diruangan makan yang begitu besar hanya ada dirinya. Kesunyian selalu menjadi peneman Erina. Ia sudah terbiasa apa-apa sendiri. Itu sebabnya Erina suka sekali mendengarkan radio. Dimana hal itu hanyalah sebuah pelarian untuk menghibur diri agar tidak merasa menyedihkan seperti apa yang selama ini selalu mendoktrin pikirannya.

Jaket tebal berbahan denim sudah melapisi dressnya. Erina mengambil tas biola yang terletak dipojok kamar. Sampai diruang tengah, tak lupa ia mengambil paper bag yang telah Ayahnya pesan untuk ia bawa ketika akan pergi kerumah James. Dengan menaiki bus sekitar sepuluh menit, Erina kemudian berjalan kaki tak jauh dari halte bus menuju sebuah rumah cukup besar dipinggir jalan. Ia menekan bel rumah. Tak butuh waktu lama hingga pintu berbahan kayu gaharu itu terbuka. Menampakan wanita berusia lima puluh tahun dengan rambut hitam yang disanggul asal.

"Erina? Kamu sudah datang? Ayo masuk!" ajak Riana.

"Iya, Tante! Oh, iya! Ini ada sedikit oleh-oleh dari Ayah!"

"Wah! Sampai repot-repot. Tolong ucapkan rasa terimakasih Tante ke Ayah kamu, ya, Erin!"

"Enggak repot kok, Tante! Iya. Nanti Erina sampaikan."

"Ayo masuk!"

Erina kemudian masuk kedalam rumah dan bertemu suami Riana, seorang guru les musik keturunan bule.

"Selamat malam, Om!" sapa Erina.

"Selamat malam! Kamu sudah makan?" tanya James.

"Sudah, Om!"

"Beneran sudah? Kalau belum kamu makan dulu saja. Sekalian temenin Tante," tawar Riana.

"Beneran, kok, Tante! Tadi Erina masak nasi goreng sama telur ceplok."

"Ya sudah. Kalau begitu kita langsung ke ruang musik, ya!" ucap James.

"Siap!"

Diruang musik itu, Erina mengelap sekumpulan helaian rambut yang berasal dari ekor kuda pada tongkat bow menggunakan rosin sebanyak tiga sampai empat kali. Tujuannya, agar hair bow tidak licin dan lebih keset saat digunakan. Selesai dengan itu, Erina mengambil biola yang terukir huruf E pada lower bout bagian depan. Ekor biola mulai ditempatkan pada bagian tulang selangka leher sebelah kiri. Tangan kanannya terangkat, menggesek hair bow pada senar biola dengan tangan kiri yang menekan senar untuk mendapatkan nada yang diinginkan. James meminta Erina memainkan Caprice ciptaan Niccolo Paganini. Seorang komponis sekaligus violinist terkenal asal Italia pada abad ke-19. Tidak dapat dipungkiri bahwa Niccolo adalah virtuoso paling terkenal pada masanya. Disebut sebagai satu-satunya pemain musik biola terhebat yang pernah ada berkat kepiawaiannya dalam bermain intonasi musik yang sempurna dan teknik yang tiada duanya.

Erina, memilih memainkannya pada nomor 5 dalam kunci A minor dari 24 caprices ciptaan Niccolo Paganini untuk biola solo Op. 1. Tangan Erina bergerak begitu lihai dan cepat dalam menempatkan jari-jarinya disetiap titik kunci nada. James memfokuskan pendengaran. Seorang violinist terkenal dan produser musik kelahiran Prancis yang kini merangkap menjadi guru musik pribadi. Tidak semua orang yang ingin belajar musik biola dengannya akan James terima. Perlu standar khusus mengingat James bukanlah violinist biasa.

Bagi James, bermusik adalah nyawanya. Kalaupun dia tak lagi bersinar dipanggung, masih ada generasi baru yang akan menunjukan bakat bermain biola dari setiap pelajaran bermusik yang telah ia berikan. Baginya, itu sudah cukup memuaskan hatinya. Tak jarang pula James menjadi juri disetiap kompetisi bermusik berskala besar maupun internasional yang digelar. Ia juga seorang kritikus musik paling ditakuti para musikus.


....

Malam itu pukul sebelas malam. Kira-kira seratus lima puluh meter, Erina baru akan sampai rumah. Jalanan yang dilalui Erina benar-benar sepi. Kebanyakan orang mungkin sudah menjatuhkan tubuh mereka pada benda persegi panjang yang tebal, empuk, dan nyaman. Ia sendiri pun sudah tidak sabar untuk segera mengistirahatkan tubuhnya. Erina tersentak ketika seorang pria berpakaian serba hitam dan mengenakan masker serta topi tiba-tiba merampas tas biola milik Erina. Erina yang panik tetap mempertahankan tas itu.

"Tolong! Jambret!" teriak Erina.

Terjadi tarik menarik tas diantara mereka. Jalanan sekitar terlihat begitu sepi dan Erina masih memegang tasnya kuat-kuat. Erina bahkan sempat terjatuh namun segera bangkit lagi. Akibatnya, terdapat luka gores cukup besar pada lutut yang perlahan mulai mengeluarkan darah.

"Tolong!" teriak Erina.

Tiba-tiba saja jambret itu tersungkur setelah menerima tendangan dari seorang pemuda. Erina terkejut bukan main. Tas biola miliknya telah berhasil berada ditangannya. Erina melihat pada pria yang baru saja menyelamatkannya. Seorang pria bertubuh tinggi dengan kacamata minus yang bertengger dihidung. Kulitnya putih bersih dengan dagu v line yang semakin menonjolkan garis rahang yang tajam.

Dama menjatuhkan sepedanya asal dan langsung menerjang sang jambret. Jambret itu dipukulinya beberapa kali sebelum akhirnya meminta tolong untuk dilepaskan.

"Ampun! Tolong maafkan Saya!" ucap Jambret.

Dama hendak memukul lagi namun terhenti.

"Cukup! Lepasin dia!" ucap Erina.

Dama melihat Erina sekilas sebelum akhirnya berdiri dan membiarkan jambret itu kabur.

"Lo nggak papa?" tanya Dama.

"Enggak papa! Makasih sebelumnya," jawab Erina.

"Lo mau kemana? Mau gue antar?"

"Gue mau pulang. Makasih atas tawaran lo, tapi gue bisa pulang sendiri. Lagipula rumah gue udah nggak jauh dari sini. Sekali lagi makasih, ya!"

Dama memandang kepergian Erina sebelum akhirnya mengambil sepeda yang ia jatuhkan.

Sementara disisi lain, Erina baru saja sampai rumah. Ia kemudian masuk kedalam kamar. Saat ia meletakkan tas biolanya diatas meja belajar, ia melihat kearah pergelangan tangannya dimana ia telah kehilangan gelang silver miliknya. Ia memutuskan untuk kembali ke tempat dimana ia hampir dijambret dan mencari gelangnya. Namun lama mencari, ia tak kunjung menemukannya dan pulang dengan putus asa. Ia benar-benar telah kehilangan gelang itu. Erina mungkin akan butuh waktu lama untuk dapat mengikhlaskannya. Ruang kamar yang sunyi sekaligus pintu kayu tempatnya bersandar itu menjadi saksi bisu kesedihan yang Erina rasakan.


Lihat selengkapnya