________________
○○○
Dikelilingi orang-orang yang menyayangi dan membagi cintanya dengan suka cita itu adalah kebahagiaan luar biasa yang tak akan bisa terbayarkan bahkan oleh uang sekalipun.
________________
....
LAGU Coldplay - Yellow mengalun indah melalui earphone. Menyumbat telinga Levina sehingga meredam sedikit suara dari luar. Padahal di jam pertama akan ada ulangan matematika, namun Levina seakan tak peduli. Dirinya justru asik membaca buku komik yang tinggal sepertiga halaman.
CKITTT...
"Aduh, Pak! Kenapa ngerem mendadak, sih?!" Levina melepas salah satu earphonenya kesal.
"Maaf, Mbak! Itu ada pengendara motor yang berhenti mendadak didepan. Hampir aja Saya tubruk."
"Siapa, sih?!"
"Nggak tau, Mbak! Sepertinya teman sekolahnya Mbak Levina. Dari celananya sama kaya seragam sekolah punya Mbak."
Hadi tak tahu jelas sebab pria berhelm full face itu mengenakan jaket hitam berbahan kulit yang menutup rapat tubuh bagian atas. Kalau pria itu tak mengenakan jaket, mungkin Hadi bisa menebak dari sekolah manakah gerangan yang coba-coba mengusik ketentraman hidup majikannya. Levina melongok kedepan dengan perasaan kesal. Mengetahui siapa pelakunya bahkan tanpa harus melihat wajahnya membuat Levina semakin dongkol.
"Lewatin aja, Pak!" Kata Levina yang kembali memasang earphonenya.
"Baik, Mbak!"
Hadi memutar stir. Mundur dan kembali melaju mencoba untuk melewati motor itu. Namun, lagi-lagi motor itu memang sengaja ingin ditabrak. Terbukti dengan Hadi yang kembali mengerem mendadak. Levina terhuyung keras kedepan hingga kepalanya hampir saja membentur head restraint didepannya kalau saja Levina tak segera menahan dengan kedua tangan. Raut mukanya sudah seperti singa yang siap menerkam mangsa kapanpun ia mau. Ia melepas seluruh earphone di telinganya dan meletakkan barang-barangnya dikursi mobil penuh emosi.
"Bapak tunggu disini! Saya mau ngomong sama dia!"
"Baik, Mbak!"
Levina membanting pintu mobil sekuat tenaga hingga membuat Hadi berjengit kaget. Levina nampak tak sabar menghampiri pengendara motor yang telah merusak paginya.
"Eh, lo kurang kerjaan banget, sih!? Masih pagi juga! Lo bosan hidup apa gimana? Kalo lo pengen mati sana kejalan raya! Jangan didepan mobil orang tua gue!" teriak Levina dengan kesabaran setipis tisu.
Pemilik motor itu melepas helm. Menyengir kuda pada Levina seakan tak merasa bersalah.
"Hai Levina cantik pacarnya Aa Arcelo. Berangkat bareng, yuk! Udah ganteng, nih! Masa kagak punya gandengan. Malu-maluin emak gue entar," kata Arcelo.
"Yang ada gue yang malu jalan sama cowok letoy kayak lo! Minggir lo!" ucap Levina.
"Ayo, lah! Bolehin gue nganterin lo. Biar satu sekolah tau kalo gue tengah dalam tahap memperjuangkan cinta gue."
Levina memutar kedua bola matanya malas.
"Ar! Sumpah gue lagi nggak mood ngeluarin jurus gue. Tapi kalo lo pengen coba, sini maju!" kata Levina.
"Widih... Lo agresif banget, sih? Pakai segala pengen nyerang gue. Aa jadi makin cinta," kata Arcelo.
"Somplak lo! Sana, ah! Kalau gue sampai telat gara-gara lo, abis lo sama gue! Awas aja!"
"Apa sih? Mau kasih gue jurus apa? Jurus cinta maksudnya? Duh... Bisa-bisaan Sayang, mah!"
Levina memejamkan matanya sejenak. Kemudian menatap Arcelo ganas. Seolah ingin memakannya hidup-hidup kalau saja ia seorang kanibal. Tidak tahu saja kalau kesabaran Levina yang setipis tisu itu masih dibelah dua.
"Turun lo!" teriaknya.
"Aduh... Apa sih, Sayang? Iya ini turun," ucap Arcelo.
"Lepas helm lo!" perintah Levina.
"Kenapa, sih?"
"Lepas gue bilang!"
"Iya. Ok. Gue lepas. Gue turutin apa mau lo, Beb!"
Melihat Arcelo sudah melepas helm, Levina segera mengambil ancang-ancang. Melayangkan Jurus Dollyo Chagi pada telinga kanan Arcelo tanpa ragu-ragu. Sebenarnya tidak terlalu keras juga -bagi Levina, namun mampu membuat yang terkena mengaduh kesakitan sembari menutup telinganya yang terasa panas.
"Lev! Gila lo! Sakit, nih, kuping gue!" teriak Arcelo.
"Gue udah kasih peringatan, ya, sebelumnya. Lagian lo kagak ada kapoknya ngejar-ngejar gue. Pinggirin motor lo atau gue kasih juga yang sebelah kiri?!"
"Aish... iya-iya! Kalau bukan karena gue sayang sama lo, udah abis lo dalam pelukan terhangat gue," omel Arcelo sembari memakai kembali helmnya dan mengendarai motornya meninggalkan Levina.
Melihat hal itu membuat Levina tersenyum meremehkan.
Hadi melongo melihat kelakuan Levina yang persis seperti ayam betina saat melihat anak-anaknya diganggu. Sensitif dan mudah marah.
"Cih... Mulut aja digedein. Tulang lembek kaya agar-agar gitu pakai segala belagu," ujar Levina setelah kembali duduk dikursi penumpang.
"Jalan, Pak!"
"Wah... Mbak keren sekali tadi. Saya baru pertama kali lihat Mbak bisa segarang tadi," kata Hadi yang melihat Levina melalui kaca spion bagian dalam mobil.
"Jalan sekarang, Pak! Atau Bapak mau juga?" ucap Levina.
"Eh? Engga, deh, Mbak! Saya masih pengen sehat. Hehe," ucap Hadi yang kemudian melajukan mobilnya tanpa ingin kembali memancing amarah sang majikan.
....
Suasana dikelas 11-1 sudah cukup ramai. Gadis yang tengah berkutat dengan buku paket itu mengernyit heran tatkala melihat Levina yang baru datang membanting tas ke atas meja dan duduk dengan kesal dikursinya.
"Lo kenapa? Pagi-pagi udah manyun aja," ucap Erina.
"Arcelo emang nggak ada kapoknya, ya! Udah gue bilang beribu-ribu kali kalau gue nggak suka sama dia. Masih aja dia ngejar-ngejar gue!" jawab Levina.
"Padahal Arcel ganteng, kok! Lo yakin nggak suka sama dia?" kata Erina.
"Hah? Apa? Gue nggak salah denger, nih? Ganteng darimananya ya ampun! Tulang lembek kaya gitu lo bilang ganteng? Mata minus lo nambah?" ucap Levina tak habis pikir.
Erina menutup mulut rapat.
"Nih, ya, Rin! Dengarin baik-baik! Sampai kapan pun gue nggak bakalan suka sama dia. Never!"