________________
○○○
Setiap orang selalu mencari titik bahagia.
Walau hanya sekejap, nyatanya banyak membawa harap.
________________
....
"Iya, Om! Jadi boleh, 'kan?" tanya Liam.
Bel sekolah telah berbunyi semenjak beberapa menit yang lalu. Dan kini, hanya ada Erina dan keempat temannya dikelas 11-1. Mereka sedang memperhatikan Liam yang sedang berbicara ditelepon. Erina adalah satu-satunya yang terlihat cemas.
"Iya, Om! Baik, Om!" ucap Liam yang kemudian menutup telepon.
"Jadi gimana?" tanya Erina tak sabaran.
"Boleh."
"Yeay! Thanks, Am!" seru Erina.
"Sama-sama!" balas Liam.
"Gue heran sama Bokapnya Erina, dia kalau sama Liam luluh banget dibanding sama anak sendiri," celetuk Arjuna.
Esa mengangguk setuju.
"Kalau bukan Liam yang mintain ijin, belum tentu Erina boleh pergi. Jujur sama gue, Am! Lo pakai mantra apa? Jimat dari dukun mana? Sampai-sampai Bokap Erina yang udah kayak dosen killer itu bisa luluh. Cuma sama lo doang, loh...." ucap Arjuna.
"Ya mungkin karena orang tua gue sama orang tua Erina yang udah temenan sejak lama. Jadi, Om Arya percayain Erina ke gue," jelas Liam.
"Bisa juga, sih! Tapi itu belum menjawab rasa penasaran gue. Kaya ada sesuatu yang ngeganjel," ucap Arjuna.
"Ngeganjel pantat lo! Masuk akal lah, ucapan Liam itu. Itu karena pertemanan kedua orang tua mereka yang udah dekat banget. Apalagi mereka sering terlibat bisnis bareng. Sok serius lo!" ucap Levina.
"Udah nggak usah ribut. Kita pergi sekarang aja, yuk!" ajak Liam.
Erina mengangguk senang. Mereka kemudian meninggalkan ruang kelas.
Anak-anak lain menunggu didepan sekolah selagi Liam mengambil mobil yang terparkir. Tak butuh waktu lama untuk menunggu, mobil Liam datang dan mereka segera masuk ke dalam mobil. Jalan beraspal yang mereka lalui itu cukup lengang. Suara musik yang cukup keras memenuhi ruang kecil itu. Lagu Sheila On 7 - Hujan Turun membuat mereka ikut bernyanyi. Liam yang memegang kemudi menatap temannya yang ada dibelakang dari kaca spion dan tersenyum lebar. Disampingnya duduk Erina yang juga ikut bernyanyi.
....
Mereka berlima sampai di mall. Ketiga pria itu hanya mengekor mengikuti kedua gadis itu belanja. Tidak. Lebih tepatnya, Levina yang belanja banyak barang. Ketiga pria itu bahkan harus membawakan barang belanjaan Levina. Esa dan Arjuna lah yang terlihat lebih banyak membawa paper bag dari berbagai brand ternama ketimbang Liam. Liam hanyalah membawa sekitar tiga paper bag. Hampir semua toko pakaian maupun alas kaki Levina masuki. Sekedar melihat-lihat atau benar-benar membelinya. Arjuna yang justru semakin jengah melihat Levina yang terus memilih-milih pakaian dengan dibantu Erina. Padahal, niat awal mereka pergi bersama, 'kan, untuk menghabiskan waktu dengan melakukan hal-hal yang membuat mereka senang. Bukan malah menjelma menjadi bodyguard sekaligus babu dadakan begini.
Selesai melakukan transaksi, Levina memberikan paper bag itu untuk Arjuna bawa. Kemudian, tunggang langgang memasuki toko lain. Begitu seterusnya. Hingga Arjuna yang tak tahan lagi mulai meluapkan kekesalannya.
"Lev! Kapan selesainya? Kita berasa kek babu bawain barang lo! Lo nggak lihat tangan kita udah penuh sama barang belanjaan lo?" ucap Arjuna kesal.
Esa dan Liam mengangguk setuju.
Levina yang berjalan didepannya itu menghentikan langkah dan berbalik mendekati mereka. Menatap mereka satu persatu dengan intens.
"Yakin berhenti disini? Padahal gue punya hadiah buat kalian. Jam tangan keluaran Vontifex model terbaru. Ada ditas gue. Tapi, kayaknya kalian udah kecapekan, deh! Ya udah, kita stop, ya! Padahal masih ada dua toko lagi yang belum gue lihat. Dan itu berarti, jam tangan kalian hangus. Sayang banget..." ucap Levina yang pura-pura sedih.
"A-apa? Vontifex? Haha? Bercanda lo?! Siapa bilang kita berhenti disini? Padahal gue cuma nanya doang loh, tadi! Lo bilang masih ada dua toko lagi, 'kan?! Ayo! Kalau perlu, nanti biar gue yang bawain semua barang-barangnya!" ucap Arjuna penuh semangat yang kemudian berjalan lebih dulu.
"Gas, Jun!!" seru Esa menyusul Arjuna.
"Salah jalan!" seru Levina.
"Oh! Ok!" ucap Arjuna yang langsung mundur dan berbelok ke kiri diikuti Esa.
Levina tersenyum penuh kemenangan. Saat bertatap mata dengan Erina, keduanya tertawa puas karena telah berhasil mengerjai Arjuna dan Esa.
Puas berbelanja, mereka kini berada diarea timezone. Berbagai macam permainan mereka coba. Bahkan mereka sampai adu memasukan bola basket ke dalam ring. Mereka juga bermain pump it up dengan kelima-limanya ikut bermain dengan lincah. Tembak-tembakan, permainan capit, dan masih banyak lagi. Mereka tampak bersenang-senang tanpa henti. Tak lupa mengabadikan momen kebersamaan mereka di Photobox yang tersedia disana. Berbagai gaya mereka tampilkan, mulai dari yang imut sampai paling konyol sekalipun.
....
Selesai dari mall, mereka menuju ke tempat karaoke yang biasa mereka datangi. Salah satu ruangan karaoke ditempat karaoke itu menjadi satu-satunya ruangan yang paling berisik. Semua yang ada diruangan itu benar-benar heboh dan mewujudkan bentuk dari kesenangan yang sebenarnya. Kelima anak berseragam sekolah itu tengah bernyanyi bersama-sama membawakan lagu yang lagi-lagi lagu Sheila On 7. Tak heran sebab kelimanya adalah Sheilagank. Levina dan Arjuna bahkan sampai berduet menyanyikan lagu Sehila On 7 berjudul Terlalu Singkat dimana bagian lalala pada lagu itu kelimanya bernyanyi bersama sembari berangkulan.
Selesai karaoke, mereka memutuskan untuk berjalan kaki menuju food street yang letaknya tak jauh dari tempat karaoke. Mereka berjalan diarea food street, menjajal makanan kaki lima yang mereka inginkan. Apapun jajanan yang dijual disana, seolah mereka tidak bisa untuk tidak mencicipinya.
Hingga Levina yang tak memperhatikan jalan sebab keasikan makan sambil bersenda gurau itu menabrak pria bertubuh kurus dimana baju lengan pendek yang dikenakan pria itu menampilkan tato yang hampir penuh disebelah tangan saja.
"Eh! Lo buta?! Kalau jalan liat-liat, dong!" teriak Preman itu.
"Maaf, Pak! Saya nggak sengaja," ucap Levina.
"Pak Pak! Memangnya gue Bapak lo?! Gue nggak mau tau! Sekarang lo bayar ke gue!" ucap si Preman nyolot.
"Loh! Kok bayar, sih?! Saya, 'kan, udah minta maaf!" ucap Levina tak terima.
"Ya gue nggak mau tau! Lo bayar atau gue habisin lo sekarang juga!" ucap Preman itu.
Liam bergerak menengahi antara Levina dan preman itu.
"Tunggu-tunggu! Maafin teman Saya, ya, Mas! Biar Saya yang bayar. Berapa, Mas?" ucap Liam sambil merogoh saku celana seragamnya.
Levina menarik pundak Liam untuk menjauh.
"Kok jadi lo yang bayar, sih? Nggak!" ucap Levina.
"Oh! Jadi lo nggak mau bayar?!" ucap Preman itu.
"Ya Saya nggak mau bayar, Mas! Sampai kapan pun juga nggak bakalan mau. Toh, Saya udah minta maaf. Dan buat apa juga Saya harus bayar ke Mas? Memang Masnya jualan? Memang Saya punya hutang sama Mas? Kalau Mas nggak mau maafin, ya, udah! Toh, Saya nggak rugi apapun," ucap Levina.
"Dasar cewek kurang ajar!" ucap Preman itu yang kemudian melayangkan kepalan tangan pada wajah Levina.
Namun, Levina berhasil menghindar dengan membungkuk dan meninju perut preman itu hingga preman itu mundur dan memegangi perutnya. Teman-temannya bahkan dibuat terkejut. Oke. Mereka paham Levina adalah penyandang sabuk hitam dalam bela diri Taekwondo, namun tak menyangka jika Levina akan membalas preman itu tanpa rasa takut sedikitpun.
"Gue sopanin malah ngelunjak, ya! Lo pikir gue takut apa sama lo?!" ucap Levina.
Teman-teman Levina mencegah Levina agar tak menyerang lagi.
"Lev! Udah! Nggak usah cari gara-gara. Lagian apa susahnya, sih, bayar?" ucap Arjuna.
"Apa lo bilang? Apa susahnya? Ya sayang lah duit jerih payah orang tua gue buat bayar ke orang yang kerjaannya cuma malakin doang!"
"Bacot!" seru Preman itu yang kembali mencoba menyerang Levina lagi.
Levina mencengkram tangan yang hampir meninjunya dan segera memelintirkan tangan itu ke belakang tubuh sang preman, lalu menendang pantat si preman dengan kakinya sekuat mungkin hingga si preman jatuh tersungkur.
"Udah-udah! Kenapa jadi kelahi gini, sih?" ucap Esa frustasi.
Ternyata, Erina dan teman-temannya yang tak menyadari sekitar telah didatangi dua preman lain. Hanya Esa yang melihat kedatangan dua preman yang badannya lebih besar berotot itu.
"Mampus!" celetuk Esa.
Mendengar perkataan itu, teman-temannya melihat kemana gerangan Esa memandang dan menemukan dua preman lain bertubuh tinggi dan besar. Salah satu preman bertubuh cungkring yang sempat jatuh itu pun sudah bangkit kembali. Terlihat ketiga preman dalam satu kubu tersenyum meremehkan.
"Nggak ada cara lain. Kita harus kabur," bisik Liam.
Teman-temannya yang mendengar hal itu mengangguk pelan dan menunggu aba-aba.
"Satu..." ucap Liam nyaris tak terdengar.
"Dua...."
"TIGA!! KABUR!!" teriak Liam.
Mereka berlima lantas berlari menghindari ketiga preman yang terus mengejar mereka.
"WOY! JANGAN LARI KALIAN! BERHENTI!" teriak salah satu preman.
Mereka berlima terus berlari sekuat tenaga. Menjauh sejauh mungkin hingga ketika preman telah tertinggal jauh dibelakang. Dan dalam pelarian mereka, mereka tertawa bahagia.
....
Kedua netra berwarna coklat pekat itu menatap pada mentari yang bersinar keemasan. Merasa terlalu sayang jika dilewatkan, Erina yang memang baru pulang dari sekolah itu segera mengambil ponsel dari saku seragamnya dan mengabadikan momen. Ia tak sengaja melihat Dama yang tengah meraih sesuatu didahan pohon, berada tak jauh dari rumah mereka.
"Dama? Lo ngapain?" tanya Erina.
"Eh?! Ini. Gue lagi bantuin anak kucing. Dari tadi meong-meong mulu. Ternyata karena enggak bisa turun," jawab Dama
"Mana?"
Dama menunjuk anak kucing usia sekitar tujuh bulan didahan pohon. Dama kemudian mengulur tangannya lebih keatas lagi untuk meraih anak kucing. Anak kucing yang diturunkan itu disambut gembira oleh Erina.