Sugar Rush

Dwi Kurnia 🐻‍❄️
Chapter #12

Bab 12 : Realita Cinta

________________

○○○

Ada hati yang tidak bisa dengan mudah mau berdamai.

Ada kalanya luka tak mau lekas menghilang.

Dan ada rindu yang juga ingin segera dilepaskan.

Terjebak dalam ruang kesedihan, mungkin itu adalah sebuah hukuman.

________________


....

CUACA siang itu benar-benar tak mendukung. Di jam pulang sekolah, hujan turun dengan begitu deras. Para siswa-siswi yang terjebak hujan lantaran tak membawa payung masih berada diteras depan sekolah.

Erina yang baru saja sampai diteras depan sekolah cemberut menatap hujan yang turun. Erina melirik jam tangan dipergelangan tangannya, dan menatap kembali hujan seolah tidak sabaran.

Setelah menunggu cukup lama, hujan belum juga reda, namun tidak sederas sebelumnya. Erina menyiapkan diri untuk berlari. Namun baru satu hentakan kaki, semua yang Erina rasakan bagaikan slow motion. Tangannya ditarik kebelakang hingga wajahnya membentur dada seorang pria. Dan satu lagi, salah satu tangan pria itu berada tepat di pinggangnya. Saat Erina mendongak keatas, ia melihat Dama yang kini juga menatapnya. Mereka bertatapan selama beberapa saat.

"Lo mau hujan-hujanan? Lo pikir tubuh kecil lo itu bisa nangkal sakit atau gimana?" tanya Dama.

Erina beralih menatap pergelangan tangannya yang digenggam Dama. Erina mendelik dan segera melepaskan tangannya seraya menjauh. Ia terlihat gugup dan malu. Sesekali Erina mengalihkan pandangan kearah lain.

"Itu- Gue enggak mungkin nunggu berjam-jam lamanya sampai hujan benar-benar reda. Lagipula... halte dekat, kok!" jawab Erina.

"Dekat yang akan buat kamu basah kuyup karena hujan itu enggak bisa dibilang deket."

Erina menghela napas pelan sembari menatap hujan yang tak kunjung reda.

"Lo suka hujan?" tanya Dama.

"Mmmm... Biasa aja, sih! Gue bisa suka sama hujan dan nggak suka sama hujan. Suka atau nggak sama hujan, tergantung sama kondisi dan suasana hati. Kalau lo?"

"Gue benci hujan," jawab Dama.

Erina menatap Dama. Menerka-nerka, apa gerangan yang membuat Dama membenci hujan. Bahkan dari sorot mata yang sendu itu? Erina tak yakin. Erina kemudian memandang jauh ke depan. Persis seperti yang Dama lakukan.

"Setiap orang punya alasan kenapa mereka suka atau enggak sama hujan. Ada memori yang mungkin melekat dengan hujan. Entah itu sedih atau bahagia. Kalau kesedihan itu membuat dia benci hujan, bisa jadi memori itu menjadi hal yang teramat menyakitkan. Dan kalau yang melekat pada hujan itu adalah memori kebahagiaan, tentu hal itu membawa kegembiraan," ucap Erina.

Dama memandang dengan pandangan yang semakin menerawang jauh ke depan.

"Memori yang selalu dan yang paling melekat diotak gue saat hujan itu adalah ketika gue melihat dengan mata kepala gue sendiri orang yang paling gue sayang terkapar bersimbah darah ditengah jalan. Kaki gue lebih memilih melangkah mundur daripada maju buat ngelihat kondisinya. Gue benci bau hujan karena ada bau anyir yang merebak bersamaan dengan air hujan. Diantara banyaknya orang yang berkerumun, gue yang memutuskan untuk maju walaupun langkah kaki rasanya berat. Ketakutan gue benar terjadi. Nyokap udah enggak bernyawa saat itu," ucap Dama ketika mengenang memori pahitnya setiap hujan turun.

Erina yang mendengar itu menjadi kian simpati. Ia mungkin akan kembali berlagak memberi semangat dengan kata-kata yang dirinya saja sedang menderita dengan apa yang terjadi padanya. Ia kembali teringat akan pembicaraannya dengan Dama dilapangan dekat komplek.

"Terus, apa ada cara untuk memaafkan seorang pembunuh yang dia adalah Ayah kandungnya sendiri?" tanya Dama.

"Dan yang dibunuh itu... adalah istri dari sosok yang disebut Ayah selama ini?" tanya Dama lagi.

"Enggak semua orang punya ruang dihatinya untuk memaafkan. Dan enggak semua orang percaya kalau dia bisa berdamai dengan keadaan," lanjut Dama.

"Nyokap lo pasti udah bahagia diatas sana. Gue enggak akan pernah bosan bilang ke elo untuk mengingat hal yang baik-baik. Lo pernah bilang tentang seorang Ayah yang membunuh istrinya sendiri. Kalau itu adalah Bokap lo, gue cuma berpesan untuk jangan terlalu membenci bokap lo. Gue tau gue nggak pantas buat bilang ini karena gue juga nggak tau kesakitan macam apa yang selama ini hinggap dihati lo. Tapi disisi lain, coba pikiran kalau Bokap lo mungkin juga sangat merasa bersalah atas kejadian yang sama sekali nggak gue tau seperti apa dan gimana persisnya. Diposisi ini, gue nggak memihak siapapun. Tapi, gue lebih menekankan ke hal yang lebih membawa ke arah positif. Hal baik yang kita lakukan pasti juga akan membawa kehidupan yang baik, 'kan?" ucap Erina.

Dama hanya diam menatap Erina. Lagi-lagi waktu seakan melambat. Mereka saling tatap untuk waktu yang cukup lama disaat tetes air hujan yang jatuh ke tanah belum juga menandakan akan segera berhenti.


....

Mobil yang dikendarai Wirawan, pria paruh baya berusia lima puluh dua tahun itu berhasil terparkir digarasi. Terlihat istrinya Sintia, tengah berdiri diteras rumah menyambut kepulangannya. Wirawan kemudian keluar dari mobil dengan membawa tas kerjanya.

Saat Wirawan sampai diteras rumah, ia melihat Esa yang berpakaian rapi dan memakai jaket hitam keluar dari dalam rumah.

"Esa? Kamu mau kemana lagi? Kamu, 'kan, baru pulang," tanya Sintia.

"Esa izin mau kerumah Erina, Mah! Erina ngajak nonton sekalian Esa mau nginep dirumah Erina. Boleh, ya?" jawab Esa.

"Kenapa sampai nginep segala? Kamu lagi nggak mau berbuat macam-macam, 'kan?" tanya Wirawan.

"Ya ampun, Pah! Su'udzon amat sama anaknya. Memangnya apa, sih, yang bakal Esa lakuin? Lagipula, disana nggak cuma ada Esa sama Erina, tapi juga ada Ajun, Levina sama Liam. Kalau nggak percaya, Papa boleh, kok, telepon Liam buat mastiin," kata Esa.

"Ya sudah. Sana!" ucap Wirawan.

"Awas aja kalau kamu macam-macam!" ucap Sintia.

"Nggak akan. Ya udah. Esa pamit! Assalamu'alaikum!" pamit Esa sembari mencium tangan kedua orang tuanya.

"Wa'alaikumussalam."

Wirawan dan Sintia menatap kepergian Esa yang meninggalkan halaman rumah mengendarai sepeda motor.

"Gimana operasinya, Pah?" tanya Sintia.

"Operasinya gagal, Mah! Sayang sekali anak itu tidak bisa bertahan setelah menerima jantung baru," ucap Wirawan.

"Mungkin itu jalan yang terbaik, Pah! Dia udah enggak merasa sakit lagi," kata Sintia.

Wirawan, seorang Dokter Ahli Bedah Jantung itu sudah berkali-kali bertemu dengan pasien yang menemui ajal mereka. Dan hari ini, ia kembali bertemu dengan pasien yang tak sanggup bertahan setelah satu bulan menerima jantung baru. Sebagai seorang Dokter, Wirawan tentu merasakan kesedihan. Saat ia berusaha memberikan penanganan terakhir pada pasien, dibalik pintu itu ada keluarga pasien yang menunggu dengan harap cemas. Berita melegakan tentu membuat Wirawan juga merasakan hal yang sama. Namun jika itu adalah berita duka, mau tak mau Wirawan tetap harus mengatakan walaupun hal itu memang menyakitkan untuk disampaikan.


....

Sesampainya Esa dirumah Erina, ternyata Arjuna dan Liam juga baru datang dengan mengendarai motor masing-masing.

"Eeeiittsss!!! Motor baru, nih!" celetuk Esa pada Arjuna yang datang dengan sebuah motor vespa darling 50s berwarna navy. Vespa klasik yang dikeluarkan tahun 1964.

"Nggak baru juga. Ini gue beli motor bekas. Model lama. Motor impian gue dari lama ini," ucap Arjuna.

Lihat selengkapnya