Sugar Rush

Dwi Kurnia 🐻‍❄️
Chapter #14

Bab 14 : Harap Dalam Dekap

________________

○○○

Tidak ada benci yang membawa kebahagiaan.

Kecuali hati yang mati dan rasa permusuhan.

________________



....

BIASANYA Mang Teddy berjualan bakso seorang diri, tapi kali ini ternyata sang istri juga berada disana. Wanita berkerudung itu mungkin masih merasa khawatir mengingat suaminya itu belum lama sembuh, jadi Teh Marti ikut membantu untuk meringankan sedikit beban sang suami. Sesampainya disana, ternyata sudah ada Liam, Esa, dan Arjuna yang telah selesai makan dan masih mengobrol santai disana. Sebenarnya, Erina sudah tau sebab melihat motor ketiga pria itu telah terparkir diluar warung.

"Kalian disini juga?" ucap Erina.

"Erin? Iya. Tapi kita udah selesai. Masih pengen nongkrong aja," ucap Liam.

Erina mengangguk mengerti.

"Oy! Kencan lo berdua? Nempel mulu!" celetuk Arjuna.

"Udah kayak perangko. Ya, gak, Jun?" ucap Esa.

"Yoi!" ucap Esa.

Erina memutar kedua bola mata malas mendengar penuturan kedua temannya. Ia lebih memilih untuk menghampiri Mang Teddy yang sedang membuat pesanan siswa lain.

"Siang, Mang! Gimana kabarnya? Mang Teddy beneran udah sembuh?" tanya Erina.

"Alhamdulillah, Neng! Mamang masih diberi kesempatan untuk kembali sehat sama Yang Maha Kuasa," ucap Mang Teddy.

"Alhamdulillah. Syukur, deh, Mang! Mamang nggak tau aja kalau Erina udah kangen banget sama bakso buatan Mang Teddy," ucap Erina.

"Memangnya iya? Tiga anak itu juga bilang hal yang sama ke Mamang," ucap Mang Teddy sembari melihat Esa, Liam, dan Arjuna yang masih mengobrol. "Kemarin juga ada beberapa anak yang bilang begitu. Mamang bahkan nggak pernah berpikir kalau bakso Memang ini ternyata ngangenin," lanjutnya.

"Bakso Mang Teddy, 'kan, memang juara. Kalau buat Erina, nomor dua setelah masakan Ibu Erina," ucap Erina.

"Ah! Neng Erin bisa aja," ucap Mang Teddy.

"Hehe. Erin pesan bakso dua porsi, ya! Sama Es teh manis dua," ucap Erina.

"Siap! Nggak usah pakai gula nggak papa, Neng?" ucap Mang Teddy.

"Yah... Kenapa, Mang? Gulanya habis, ya?" tanya Erina.

"Kan, udah ada Neng! Neng-nya sendiri aja, 'kan, udah manis," gombal Mang Teddy.

"Ah! Mang Teddy juga! Bisaan Mamang teh!" ucap Erina.

Walaupun Mang Teddy berkata seperti itu, Teh Marti bukanlah tipikal wanita yang akan gampang cemburu. Ia bahkan ikut tersenyum ketika suaminya berkata seperti itu. Hidup selama lebih dari dua puluh tahun bersama sang suami, sangat cukup untuk membuat Teh Marti mengenal betul sosok pria itu. Kalimat semacam itu hanyalah sebuah gurauan yang tak perlu dibawa serius. Lagipula, Teh Marti sendiri juga acap kali bergurau dengan pelanggan lain guna membangun suasana dan menjadikan mereka lebih akrab.

"Hehe... Ditunggu, ya, Neng Erin!" ucap Mang Teddy.

"Oke, Mang!" ucap Erina yang kemudian menghampiri ke empat temannya.

"Cabut gak, Sa, Am? Takut ganggu pasangan baru," ucap Arjuna.

Nampaknya, Arjuna memang tipikal manusia yang sangat suka dipukul akibat mulutnya yang banyak omong dan asal ceplos.

"Kepala keras, nih! Gepok pakai mangkok bakso kayaknya juga nggak bakal berasa sakit," ucap Erina yang sudah mulai kesal.

Arjuna terkekeh pelan.

"Perkataan adalah do'a. Gue lagi do'ain lo siapa tahu jadian beneran, 'kan?" ucap Arjuna.

"Lebih baik lo berdo'a buat diri sendiri supaya cepat sadar dari kebiasaan lo yang suka koleksi mantan," ucap Erina.

"Wah! Kalau itu namanya menghapus masa-masa indah anak SMA. Masa-masa gini itu enaknya menikmati hidup. Nanti kalau udah lulus udah beda lagi. Mikirnya juga udah kerja-kerja mulu. Cari duit. Susah senang-senangnya. Nah, mumpung sekarang masih bisa, ya, dinikmatin, dong!" ucap Arjuna.

Pesanan bakso dan es teh manis milik Erina dan Dama datang diantar Teh Marti.

"Silakan!" ucap istri Teh Marti.

"Terimakasih, Teh!" ucap Erina.

"Sama-sama, Neng!" balas Teh Marti.

Selagi keduanya sibuk menambahkan saos dan segala macam kedalam mangkok bakso, Liam buka suara.

"Levina udah pulang? Tadi ada acara klub, 'kan? Sorry gue nggak datang. Dua cecunguk ini keburu nyeret gue kesini," ucap Liam.

"Nggak papa. Gue ngerti, kok! Levina sebenarnya tadi bareng gue, tapi sekarang udah pulang. Dianter Arcel!" ucap Erina.

"What?!! Nggak salah dengar, nih, kuping gue? Arcel yang itu, 'kan? Yang biasa kena jurus kalau udah berhadapan sama betina galak satu itu," ucap Arjuna.

"Dikira samsak kali itu anak," celetuk Esa.

"Levina bilang dia mau karena Arcel udah bantu bagiin brosur waktu jam istirahat tadi," jelas Erina.

"Gue mencium bau-bau sinetron. Lo tau, 'kan, benci jadi cinta istilahnya," ucap Arjuna.

"Bagus, dong! Toh, Arcel itu keliatannya baik. Nggak kayak lo!" ucap Erina.

"Lah... Gue, mah, memang pejantan idaman banyak wanita. Salah gue karena terlahir ganteng dan punya otak cerdas," ucap Arjuna.

"Kecerdasan lo kepakai cuma buat bikin cewek-cewek jadi kayak orang gila karena suka sama lo," ucap Erina.

Fokus Arjuna kini teralihkan pada pria didepannya. Semenjak tadi, Dama menjadi satu-satunya orang yang sama sekali tak bersuara. Dilihat-lihat, Dama ini memang sangat tampan. Sepertinya, pria itu juga salah satu idaman banyak wanita disekolah sebelumnya. Biasanya, mata dan hati anak-anak cewek paling tajam dan peka kalau sudah melihat yang jernih begini.

"Dam! Ngomong-ngomong, lo pernah pacaran?" tanya Arjuna.

"Pernah," ucap Dama.

"Cantik?" tanya Arjuna lagi.

"Cantik itu relatif nggak, sih? Cantik itu akan terpancar dengan sendirinya melalui sikap dan perilaku orang itu sendiri," ucap Dama.

Arjuna menganggukkan kepala.

"Kalau tipe cewek lo yang kayak apa?" tanya Esa.

"Mmmmm... Rambut panjang, hidung mancung, jidat yang lebar, punya mata yang lebar juga, sama lebih pendek dari gue," ucap Dama.

Esa dan Arjuna saling pandang. Kemudian menatap Erina yang baru saja memasukan bakso kedalam mulut. Erina menatap balik mereka berdua.

"Apa?" tanya Erina.

"Tipe cewek lo kenapa mirip sama Erina? Lo tau? Itu poni Erina kalau disibakin udah kayak lapangan bola," ucap Esa.

Lihat selengkapnya